Lipsus - Waspadalah Terhadap Predator Seksual

id lipsus, - waspadalah, terhadap predator seksual

 Lipsus - Waspadalah Terhadap Predator Seksual

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Kisah sejumlah predator seksual mencabik-cabik hati para orang tua. Mereka seakan memata-matai calon mangsanya dan menyelinap di setiap jengkal kehidupan para bocah.

"Ada beberapa faktor penyebab kejahatan seksual terhadap anak itu menjadi menggila di berbagai wilayah tanah air. Pertama adalah inflasi media porno yang tidak terkontrol, bahkan hingga beredar dengan mudah ke jejaringan media sosial yang kian digemari berbagai kalangan," kata pengamat hukum dari Universitas Islam Riau (UIR), Syahrul Akmal Latif di Pekanbaru, Selasa (6/5).

Norton Cybercrime Report bahkan mencatat, pada 2013 ada sebanyak 1,5 miliar jiwa anak berbagai negara di dunia menjadi korban media sosial, bahkan ada yang melakukan tindak kejahatan karenanya.

Jika harus dibagi, setiap hari ada 1,5 juta anak di berbagai negara, termasuk Indonesia, menjadi korban jejaringan sosial (dunia maya) dan per detiknya itu ada 18 orang anak.

"Tahun ini bisa dimungkinkan meningkat jumlahnya karena teknologi dunia maya yang terus berkembang begitu pesat tanpa diimbangi dengan kontrol yang baik," katanya.

Kondisi demikian tentunya menurut Syahrul sudah sangat mengkhawatirkan dan harus menjadi perhatian berbagai pihak, khususnya pemerintah.

Terlebih, kata dia, Indonesia menjadi salah satu negara tujuan utama bagi pemasaran ragam media sosial yang diciptakan negara-negara maju.

Kondisi itu yang kemudian, kata dia, menyebabkan kalangan anak dengan bebas dan leluasa memanfaatkan beragam situs terlarang yang dikirim lewat media-media sosial.

"Bisa jadi itu adalah permainan atau game yang dapat menyebabkan lemahnya pola perfikir sehat mereka, atau juga situs film porno yang pada akhirnya menyebabkan banyak kalangan anak terlibat kejahatan seksual di usia dini," katanya.

Masa Depan Anak

Faktor lainnya menurut dia adalah kelalaian terhadap masa depan anak, baik dari orang tua, pendidik atau guru, serta sebagai lembaga pemerhati sosial yang kini tidak pernah peduli dengan dunia anak-anak.

Ketika kasus pelecehan seksual terhadap anak TK di Jakarta Internasional School (JIS) menjadi perbincangan di berbagai media, baru kemudian mereka pun berteriak menyuarakan permusuhan terhadap predator seks yang terus menggila.

Bagiamana Simon menggarap puluhan bocah ingusan di usiannya yang tergolong produktif? "Itulah tanda predator seks begitu leluasa memangsa para korbannya."

Hanya dengan seorang Simon, sekitar 95 bocah tak berdosa menjadi korban. "Dan mereka itu dikhawatirkan akan menjadi Simon-simon masa depan," katanya.

Itu seperti kisah tiga kakak beradik berumur belasan tahun di Pekanbaru yang menjadi peranakan predator. Mereka telah menelan lebih enam korban balita.

Polresta Pekanbaru menangani kasus kejahatan seks dengan tersangka tiga bersaudara kandung yang telah mencabuli sedikitnya enam anak-anak di Kota Pekanbaru, Riau dan dua pelaku masih berumur belasan tahun bahkan satu di antaranya berumur 9 tahun.

"Mereka (pelaku) adalah kakak-beradik," kata Kapolresta Pekanbaru, Kombes Pol Robert Haryanto.

Robert mengatakan ketiga tersangka Ai (18), Ro (15), dan At (9). Namun, polisi baru berhasil meringkus tersangka Ai.

Menurut dia, enam korban kejahatan seks itu merupakan tetangga pelaku yang tinggal dalam satu kawasan rumah petak kontrakan di Kecamatan Tampan, Pekanbaru.

Dua korban adalah bocah laki-laki, dan sisanya perempuan yang semuanya berumur berkisar 3-10 tahun. Bahkan, dua korban di antaranya adalah kakak-beradik yang berusia 6 dan 10 tahun.

"Dari hasil visum menunjukkan kerusakan pada organ vital perempuan dan luka pada dubur anak laki-laki," katanya.

Ironi Orang tua

Mulai dari bagaimana memantau perkembangan atau pertumbuhan anak, menurut pemerhati Syahrul Akmal Latif, untuk ke depan sebaiknya para orang tua lebih memaksimalkannya dan jangan hanya mengandalkan guru.

Ironi lain dalam masa-masa maju saat ini adalah, guru yang tadinya memiliki peranan ganda baik sebagai pengajar maupun pendidik, kini terasa mulai terpisahkan menjadi dua profesi berbeda.

Jika dahulu para guru menjadi pahlawan bagi generasi penerus bangsa karena selain mengajar juga memberikan pendidikan dengan juga pengawasan ekstra di lingkungan sekolah tanpa pamrih. Namun, di zaman sekarang, tidak sedikit guru yang hanya mementingkan materi, terbukti dengan kurikulum dan buku yang terus dikomersialkan, kemudian biaya pendidikan yang kian tak terjangkau.

"Mungkin tidak, namun faktanya predator memangsa bocah-bocah di rumah para pendidik. Seperti JIS," katanya.

Faktor lain penyebab "beranak-pinaknya" para predator itu adalah ketika orang tua sudah tidak perduli, maka ada pihak atau orang yang perduli. "Mereka itulah pelaku kejahatan seksual yang baru dilahirkan," katanya.

Jadi menurut dia, dapat dikatakan bahwa para penjahat seksual itu menjadi ada dan terus bertambah banyak, karena mereka yang justru mengontrol mangsa-mangsa mereka, bukan malah orang yang harusnya memberikan perlindungan.

Segalanya Materi

Kalaulah dahulu, kata kata Syahrul, kejahatan itu diredam dan dikontrol oleh adat budaya, norma dan sopan santun serta rasa sosial yang begitu tinggi, sekarang justru dipercayakan pada materi, dan segalanya dianggap soal uang.

Atau keterbatasan materi menjadi faktor lainnya predator seks berkembang biak bagai kuman dalam daging, katanya.

Hal itu terlihat jelas di setiap persimpangan jalan, pusat keramaian, dan tiap emperan toko di Kota Pekanbaru yang selalu dipenuhi dengan para bocah penjual koran, mengamen dan bahkan mengemis.

Artinya adalah, pengawasan alamiah telah berubah dengan situasi modern di mana uang menjadi segala-galanya, tanpa sadar, "robot" yang disewa untuk menjaga anak itu malah justru memusnahkan masa depan mereka.

"Adat budaya dan norma kehidupan orang tua telah tidak lagi dianggap sebagai bemper penyangga masa depan anak sehingga orang bebas melakukan apa saja," kata dia.

Makanya kemudian kebanyakan orang tua kaya raya menempatkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah mahal sehingga mereka berfikir anak akan terkawal dan terpantau tingkah lakunya dengan baik.

Lain hal dengan keluarga kurang mampu yang melepas anak-anak mereka berkeliaran bahkan dieksploitasi menjadi peminta-minta, pengamen dan penjual koran di jalanan.

"Jika mengeksploitasi saja sanggup, dan itu apa bedanya dengan menjual tubuh mereka untuk mendapatkan materi. Jadilah santapan empuk predator seks," katanya.

Sudah saatnya, semua pihak sadar bukan karena uang predator seks itu musnah, melainkan kembali lagi mengutamankan adat budaya dan norma kehidupan serta sosial yang sempat hilang.

Orang tua mulai menjaga anak di lingkungan rumah dan sekitar wilayah permainan, para guru kembali pada fungsi ganda, pengajar sekaligus pendidik yang terus mengawasi mereka di pakarangan sekolah. Maka itu menjadi racun bagi predator seks untuk tidak lagi berkembang biak.