Lipsus: Ketika Harga Diri bangsa Mulai Dipertaruhkan

id lipsus ketika, harga diri, bangsa mulai dipertaruhkan

Lipsus: Ketika Harga Diri bangsa Mulai Dipertaruhkan

Barangkali semua kalangan bangsa ini sepakat menilai bahwa, tidak ada sikap mental yang patut dibanggakan sebagai bangsa Indonesia, karena mayoritas mentalitas dan harga diri bangsa ini 'bobrok'.

Perilaku korup menjadi hal yang lumrah dalam semua aspek dan lini kehidupan, pelanggaran hak-hak orang lain dalam berkendaraan/berlalu-lintas terjadi dimana-mana, plagiarism melanda kalangan akademik (mahasiswa dan dosen), jam karet dalam melaksanakan tugas dan masih banyak lagi.

Pakar Politik dari Universitas Andalas, Syaiful Wahab menilai bahwa semangat kebangsaan kini, di negara ini sudah mulai luntur. Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI seringkali hanya diucapkan dalam acara-acara seremoni belaka, tanpa ada upaya yang serius untuk mengekspresikan atau mewujudkannya, baik dalam sikap maupun tindakan.

"Lihat saja ketidakadilan yang semakin merajalela, korupsi dan eksploitasi terjadi dimana-mana, persatuan yang mulai hancur, tawuran dan konflik etnis dan antar warga tak henti-hentinya terjadi dan masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan kehancuran harga diri dan martabat bangsa," katanya.

Rasa kebangsaan Indonesia mulai dipertaruhkan. Bangsa-bangsa lain mulai menertawakan dan mencemooh perilaku bangsa ini.

Ia mengatakan, bahwa, "nation building" atau rasa kebangsaan pada dasarnya muncul dari adanya kesadaran akan harkat dan marbat suatu bangsa. Pada masa kolonial Belanda dan Jepang, maka kesadaran ini yang mendorong para pendiri bangsa ini 'the founding fathers' bangkit melawan mereka.

Syaiful Wahab yang juga Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP Unand itu mengatakan pada masa itu pendiri bangsa sadar akan harga diri dan martabatnya sebagai manusia dan sebagai bangsa sehingga mereka berani menentang segala bentuk kolonialisme dan imperialisme.

Dan wujud dari harkat dan martabat bangsa Indonesia tersebut dituangkan ke dalam sila-sila Pancasila, dalam pasal-pasal dan ayat UUD 1945, serta disemangati oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

"Untuk membangun nation-building ini tidaklah mudah, tentunya melalui proses yang panjang dan melelahkan, bahkan disertai dengan pengorbanan jiwa dan raga.

Oleh karena itu upaya membangkitkan rasa kebangsaan tidak bisa ditunda-tunda lagi dan ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk membangkitkan kembali rasa kebangsaan.

Pertama, perbaiki mental pribadi dan masyarakat Indonesia, dengan cara memberikan pendidikan karakter. Bangsa ini sangat sangat lemah dalam hal pendidikan karakter, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Bangsa ini lemah sekali dalam mengajarkan sikap-sikap mental seperti kedisiplinan, keterbukaan, kejujuran, akuntabilitas, integritas dan penghargaan pada hak-hak orang lain," katanya.

Inilah wujud harkat dan martabat bangsa yang berimplikasi pada rasa kebangsaan dan bernegara kita.

Dibutuhkan adanya role model atau inspiring person yang dapat dijadikan teladan untuk perubahan mental dan karakter bangsa ini.

Kedua, tanamkan nilai-nilai ke-Indonesiaan dalam semua aspek kehidupan, seperti tata karma dan etika dalam berbahasa, bermasyarakat dan bernegara.

Kendati memang katanya memandang bahwa "Local wisdom" bangsa ini sudah mulai tergerus, tidak punya akar budaya, dan cenderung meniru etika dan nilai-nilai bangsa lain.

Demokrasi liberal yang berasal dari Barat disalin habis sehingga cenderung menjadi anarkisme, karena liberalism bukanlah nilai dan etika yang berakar pada budaya bangsa ini. Dalam bidang sosial budaya misalnya, "stereo-type" budaya global menjadikan bangsa ini tidak lagi mempunyai identitas.

Gaya hidup, dan interakasi social tidak lagi mempunyai nuansa Indonesia, masyarakat ini lebih bangga menggunakan symbol-simbol dan identitas budaya asing ketimbang identitas Indonesia.

Padahal Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika itu murni produk bangsa Indonesia dan dibangun dari identitas bangsa, tetapi belakangan ini kita lupa untuk memaknai dan mewujudkannya.

Ketiga, perlu adanya pemimpin yang memliki integritas dan komitmen untuk menegakkan nilai-nilai kebangsaan.

"Cara ini perlu ditempuah karean saat ini para elit/pemimpin bangsa baik tingkat nasional dan tingkat daerah banyak yang muncul instans, tidak memiliki integritas dan spirit kebangsaan yang baik," katanya.

Mereka muncul menjadi elit/pemimpin semata-mata dikarenakan memiliki uang, hubungan nepotisme atau kekerabatan tetapi bukan karena kemampuan dan integritas, apalagi spirit kebangsaan.

Karenanya ketika mereka memimpin bangsa atau daerah tidak pernah sekalipun berpikir untuk mewujudkan pilar-pilar kebangsaan tersebut. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana menumpuk kekayaan dan menikmati kekuasaan dengan segala 'privilege'nya.

"Sebaiknya semua kita memang harus perlu tahu lebih dahulu apa itu rasa kebangsaan untuk membangkitkannya," katanya.