Sangat sedikit seniman Riau yang tunak dan bertungkus lumus dengan tari tradisi. Kebanyakan mereka latah dan mengikuti selera pasar. Para seniman kerap mengombinasikan gerak satu tari dengan tari lain sehingga tercipta sebuah gabungan tari yang berbeda. Bukan mempertahankan apa yang sudah ada dan melekat dalam khasanah budaya Melayu. Akibatnya tari tradisi mulai terlupakan. Bahkan masyarakat pun rancu mana tari tradisi dan mana tari kreasi. Padahal tari tradisi merupakan identitas suatu daerah, yang tidak dipunyai daerah lain. Drs Hirfan Nur MSn lelaki kelahiran Pekanbaru 40 tahun lalu berbeda dengan kebanyakan seniman yang latah itu. Ia tetap setia dengan tari tradisi, khususnya Zapin. Berawal dari kegalauan hati, ketika menghadiri sebuah pertunjukan tari, ia kemudian sadar bahwa ia harus bergelut di seni tari tradisi yang murni. "Waktu itu, ketika menghadiri sebuah pertunjukan tari. Ada seorang pengunjung yang berceletuk bahwa dari musik yang dimainkan saja berasal dari Sumatera Barat (Minangkabau-red). Hal itu yang mengilhami saya, untuk kembali menggali budaya lokal," ceritanya. Usahanya tak sia-sia, berbagai penghargaan didapatnya seperti Anugerah Budaya sebagai koreografer dari Walikota Pekanbaru, Anugerah seni dari Gubernur Riau hingga Satya Lencana X dari Presiden. Tradisi lokal, lanjutnya, akan tergerus dan perlahan-lahan akan terlupakan, jika tidak ada yang berusaha mempertahankannya. Padahal mempertahan tradisi sama halnya dengan mempertahankan marwah. Dulu, ketika ada sebuah pesta perkawinan. Masyarakat setempat tidak perlu lagi meminta sanggar untuk membawakan sebuah tari Zapin. "Karena hampir seluruh masyarakat setempat bisa membawakan tari Zapin," ungkap lelaki yang tengah menempuh gelar doktor di Universitas Selangor Malaysia ini. Zapin pada mulanya merupakan tari yang dibawakan lelaki Melayu. Zapin merupakan tarian yang dibawakan dari Arab, dan hanya dibawakan lelaki. "Sekarang, coba lihat. Sangat sedikit sekali lelaki yang bisa membawakan tari Zapin. Jangankan lelaki, perempuan Melayu saja saat ini sudah tidak bisa membawakannya lagi," jelasnya. Lelaki yang akrab disapa BI (Bang Irfan) itu mengatakan lunturnya nilai budaya Riau, disebabkan tidak kuatnya benteng budaya lokal akibat banyaknya pendatang ke Riau. Demi melestarikan tari Zapin, sejak beberapa tahun yang lalu, Bang Irfan mulai mengenalkan tari Zapin kepada anak-anak. Tujuannya tak lain, agar anak-anak mencintai kembali nilai tradisinya. Dengan bekerjasama dengan guru-guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang terdapat di Pekanbaru. Bang Irfan melatih anak-anak usia dini. Ia juga melatih guru-guru PAUD dibawah bendera BI Productions, dengan harapan guru tersebut akan mengajarkannya kembali pada muridnya. "Jika dikenalkan sejak dini, maka si anak tidak mungkin lupa. Karena sejak kecil sudah ditanamkan dalam benaknya," ujar BI yang sudah berkesenian sejak usia 16 tahun ini. Perjuangannya, tak sia-sia, saat ini saja hampir 189 PAUD yang terdapat di Pekanbaru mengajarkan anak didiknya tari Zapin tradisi. Dan harapannya untuk mempertahankan nilai tradisi semakin besar. Ia mengatakan sebenarnya perhatian Pemerintah Provinsi dan Daerah cukup besar, tetapi lagi-lagi, pemerintah belum bisa sepenuhnya memberi batasan dalam berkesenian. "Misalnya saja, kostum yang dikenakan tidak boleh ketat dan tipis. Apalagi saat ini banyak baju tari yang menggunakan bahan borkat, padahal itu nyata-nyata bukan tradisi Melayu," ucap BI. Dengan usahanya melatih Zapin kepada anak-anak usia dini, di masa datang, ia mengharapkan setiap orang yang berkesenian di Riau untuk tidak malu dengan nilai-nilai tradisi. "Kalau bukan kita yang bangga, siapa lagi," tutup dia.