Beijing (ANTARA) - Harga minyak naik di awal perdagangan Asia pada Jumat pagi, karena pasar mempertimbangkan kemungkinan penurunan produksi OPEC+ yang mendukung harga selama akhir pekan di tengah sentimen positif atas kebijakan moneter AS dan RUU plafon utang Washington.
Minyak mentah berjangka Brent naik 13 sen atau 0,18 persen menjadi diperdagangkan di 74,41 dolar AS per barel pada pukul 01.15 GMT. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 15 sen atau 0,21 persen, menjadi diperdagangkan di 70,25 dolar AS per barel, menyusul penurunan harga minyak mentah selama dua hari berturut-turut, dikutip dari Reuters.
Pasar diyakinkan oleh sinyal potensi jeda kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve serta pengesahan RUU dari Dewan Perwakilan Rakyat yang menangguhkan plafon utang pemerintah AS, kemungkinan mencegah gagal bayar negara yang membawa bencana.
RUU plafon utang AS saat ini sedang menunggu persetujuan Senat, yang menurut Pemimpin Mayoritas Demokrat Chuck Schumer akan tetap bersidang pada Kamis (1/6/2023) malam waktu AS hingga disahkan.
Sentimen pasar juga didukung oleh data stok minyak mentah AS pada Kamis (1/6/2023) dari Badan Informasi Energi, yang mengindikasikan bahwa impor minyak mentah telah melonjak minggu lalu.
Perhatian investor sekarang tertuju pada pertemuan 4 Juni mendatang dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, yang secara kolektif disebut OPEC+.
Para menteri dari negara-negara penghasil minyak utama akan memutuskan apakah akan memangkas produksi lebih lanjut untuk mendukung pendapatan pemerintah.
Pengurangan lebih lanjut dalam produksi OPEC+ setelah pemotongan mengejutkan mereka sebesar 1,16 juta barel per hari pada April akan menjadi bullish untuk harga minyak mentah.
Sinyal tentang pemotongan tersebut bervariasi, dengan laporan Reuters dan analis dari bank termasuk HSBC dan Goldman Sachs menunjukkan bahwa pemotongan produksi lebih lanjut tidak mungkin terjadi dan blok tersebut akan mengadopsi pendekatan "tunggu dan lihat".
Pengamat pasar lain telah menunjuk data manufaktur yang lemah dari China dan AS sebagai pendukung kasus pemotongan OPEC+.
Di AS, Institute for Supply Management (ISM) mengatakan pada Kamis (1/6/2023) bahwa PMI manufakturnya turun menjadi 46,9 bulan lalu dari 47,1 pada April, bulan ketujuh berturut-turut PMI bertahan di bawah ambang batas 50, menunjukkan kontraksi dalam aktivitas manufaktur di konsumen minyak terbesar dunia.
Data manufaktur dari China melukiskan gambaran beragam, dengan PMI manufaktur China dari Caixin/S&P Global pada Kamis (1/6/2023) lebih baik dari perkiraan kontras dengan data resmi pemerintah hari sebelumnya yang melaporkan aktivitas pabrik pada Mei telah menyusut ke level terendah dalam lima bulan.
Baca juga: Harga minyak naik di awal Asia setelah anjlok jelang voting plafon utang AS
Baca juga: Harga minyak jatuh karena kesulitan kesepakatan utang AS dan prospek OPEC+
Berita Lainnya
Menteri ESDM Bahlil sebut kenaikan PPN 12 persen tak pengaruhi harga BBM
19 December 2024 16:58 WIB
Prof Haedar Nashir terima anugerah Hamengku Buwono IX Award dari UGM
19 December 2024 16:35 WIB
NBA bersama NBPA hadirkan format baru untuk laga All-Star 2025
19 December 2024 16:16 WIB
PPN 12 persen, kebijakan paket stimulus dan dampak terhadap ekonomi
19 December 2024 15:53 WIB
Pertamina Patra Niaga siap lanjutkan program BBM Satu Harga di 2025
19 December 2024 15:47 WIB
BNPT-PBNU sepakat terus perkuat nilai Pancasila cegah ideologi radikalisme
19 December 2024 15:38 WIB
Maskapai Garuda Indonesia tambah pesawat dukung operasional di liburan
19 December 2024 15:19 WIB
Kemenekraf berkolaborasi untuk bantu promosikan produk kreatif
19 December 2024 14:52 WIB