Siak Hijau dan komitmen masa depan gambut

id Siak, hijau, gambut, kopi, liberika, karhutla

Siak Hijau dan komitmen masa depan gambut

Foto udara salah satu arena aksi partisipatif masyarakat bersama CIFOR untuk pencegahan karhutla dan restorasi gambut di Kampung Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak. (ANTARA/HO-CIFOR)

Siak (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau berakibat pada rusaknya ekosistem gambut di daerah tersebut. Salah satunya terjadi di Kabupaten Siak yang memiliki lahan gambut lebih dari 50 persen luas daerahnya.

Untuk melakukan restorasi tidaklah mudah, perlu partisipasi masyarakat dan dukungan pemerintah. Pemerintah Kabupaten Siak sudah mengeluarkan Peraturan Daerah "Siak Hijau" terkait komitmennya untuk melakukan pembangunan berkelanjutan.

Kepala Sekretariat Siak Hijau yang juga Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Siak, Wan Muhammad Yunus mengatakan langkah penting Siak Hijau sudah dimulai sejak 2017.

"Saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla datang ke Siak dan kita buat peraturan bupati dulu yang berisi tujuan dan indikator yang akan dicapai. Terakhir, kita sudah buat Perda nomor 4 tahun 2022 tentang Siak Hijau sehingga lebih kuat secara regulasi," katanya.

Terkait dengan peraturan tersebut, Pemda telah membentuk tim pelaksana dan sekretariat Siak Hijau, roadmapserta rencana aksi daerah. Program tersebut masukke dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Dalam rencana ini memuat transfer anggaran untuk desa berbasis ekologi, peraturan bupati tentang koordinasi pencegahan karhutla, dan kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar.

Akan tetapi, untuk percepatan pemulihan ekologi membutuhkan kerja sama berbagai pihak. Masyarakat perlu berpartisipasi dengan dibantu pihak lain seperti dari non-goverment organization/NGO atau lembaga swadaya masyarakat untuk mendukungnya.

Sejumlah NGO yang tergabung dalam Sodagho Siak memiliki program di Siak. Sejumlah upaya dilakukan untuk melakukan divertifikasi tanaman di atas gambut selain sawit.

Biasanya proyek tersebut melakukan sekat kanal dan membuat demplot komoditas tertentu. Namun begitu, hal ini menjadi tantangan tersendiri karena komoditas yang ditanam belum memberikan nilai ekonomi ataupun pasarnya belum ditemukan. Sebab, selain melestarikan lingkungan, keberlangsungan hidup masyarakat juga harus dipertimbangkan.

Pendekatan yang berbeda dilakukan Center of International Forestry Study (CIFOR) atau Pusat Studi Kehutanan Internasional. Dalam upaya mendukung restorasi gambut, CIFOR melakukan Riset Aksi Partisipatif (RAP). Artinya CIFOR tidak menentukan komoditas apa yang ditanam, namun berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat.

Indonesia Deputy Country Coordinator CIFOR, Prof. Dr. Herry Purnomo saat kunjungan lapang di Siak, 28-30 November, mengatakan riset aksi ini merupakan riset aksi restorasi gambut berbasis masyarakat. Kegiatan dilakukan pada lahan bekas kebakaran lahan dengan mengembangkan model bisnis masyarakat.

"Ada embung disekat kanal lalu ada tanam berdasarkan keinginan masyarakat. Jadi, ini sifatnya partisipatif. Kita diskusikan komoditas di gambut itu apa dan bagaimana peluang pasarnya. Kita buat arena aksi, bukan demplot," kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor ini.

Peneliti Senior CIFOR ini menegaskan bahwa pihaknya bukanlah penyuluh untuk menentukan tanaman apa yang baik ditanam selain sawit. Namun solusi didiskusikan bersama-sama apa yang bagus untuk perubahan iklim. Hal itu sesuai dengan tema diskusi "Mengapa Masyarakat Penting dalam Pencegahan Kebakaran dan Restorasi Lahan Gambut: Menuju FOLU Net Sink 2030 dan Pemulihan Ekonomi Pasca COVID-19" . Kegiatan ini hasil kerja sama dengan Pusat Studi Bencana Universitas Riau, Pemkab Siak, Sodagho Siak yang didukung Temasek Foundation dan Singapore Cooperation Enterprise.

Dia menyebut RAP dilakukan di dua kampung (desa) di Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, yaitu Kampung Penyengat dan Kayu Ara Permai. Ada sejumlah kelompok tani dengan aspirasi berbeda dilihat dari pasarnya yang bagus, dan secara regulasi sesuai dengan pemerintah. "Kita bereksperimen bersama masyarakat, kalau gagal kita coba lagi, bahkan ada yang dicabut sambil memonitor berapa emosi bisa diserap demi berkontribusi untuk Folu Net Sink 2030," ungkapnya.

Arena aksi di Kampung Penyengat

Kampung Penyengat merupakan salah satu kampung adat di Kabupaten Siak. Kepala Kampung atau di sini disebut Penghulu masih dipegang oleh pejabat, seorang pegawai dari Kecamatan Sungai Apit. Pj Penghulu Kampung Penyengat, Abok Agustinus mengungkapkan bahwa 70 persen warganya merupakan penduduk asli, yakni Suku Anak Rawa.

Pada Arena Aksi 1 di Penyengat, dilakukan penghijauan lanskap di lahan kampung seluas 300 meter persegi yang sebelumnya ditanam nanas oleh masyarakat. Nanas merupakan komoditas unggulan di Sungai Apit yang dipasarkan hingga ke Jakarta. Namun nanas punya cerita kelam karena pernah dibakar saat buka lahan atau pun setelah panen.
Masyarakat Peduli Api bersama CIFOR untuk pencegahan karhutla dan restorasi gambut pada kebun nanas di Kampung Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak. (ANTARA/HO-Bayu Agustari Adha)


Untuk merestorasi lahan di sini dikelola sekaligus diawasi oleh Masyarakat Peduli Api Kampung Penyengat. Ketua MPA, Aseng N, menjelaskan bahwa daerahnya saat ini ditanami tanaman kayu matoa dan kelengkeng sebagai pelindung nanas. Pihaknya melarang pelapahnya dibersihkan dengan cara dibakar dan meminta masyarakat untuk meracun.

"Matoa yang kami tanam umurnya sudah dua bulan. Ini juga sebagai pelindung bagi tanah gambut dari abrasi. Bibit matoa dan kelengkeng yang sudah datang 200 dan 30 bibit, ada yang belum ditanam, karena beberapa waktu lalu banjir. Targetnya 500 bibit," ujarnya.

Selain itu, pada Arena Aksi 2 dilakukan upaya restorasi oleh Majelis Kerapatan Adat Pulau Penyengat Suku Anak Rawa. Ketua MKA Penyengat yang memimpin aksi ini, Kehong membuat uji coba penanaman kelapa hibrida yang dibantu CIFOR. Alasannya, melihat kondisi masyarakat yang membutuhkan kelapa hibrida.

"Kelapa Hibrida ini dua tiga tahun sudah bisa dipanen dan ditanam di pekarangan rumah. Awalnya saya beli sendiri bibit, lalu saya ajukan ke CIFOR bahwa saya ada bukti nyata, kelapa hibrida tumbuh di lahan gambut. Jadi kami tidak ingin Suku Anak Rawa ketinggalan, dan nampaknya masyarakat semangat," kataKehong.

Kehong mengaku sudah memberikan bibit kelapa hibrida kepada 22 kepala keluarga masing-masing dapat tiga atau empat. Dia tidak memberikan bibit kepada yang tak bisa menanam. Ini diharapkan dapat mengangkat ekonomi masyarakat selain nanas.

"Beberapa waktu ini ada hujan tapi masih bisa terkendali, memang ada satu dua yang mati. Tapi saya sudah buktikan yang punya saya, lahan gambut ini sudah cocok dengan kelapa hibrida, tinggal perawatan saja, sekarang sudah ditanam satu tahun, pupuknya juga dibantu CIFOR," ungkapnya.

Selanjutnya, pada Arena Aksi 3 dikelola oleh Karang Taruna diketuai Alexander Simatupang. Model bisnisnya adalah tanaman pisang, pohon kelengkeng dan matoa. Telah ditanam 100 bibit pisang, 80 bibit kelengkeng, dan 10 bibit matoa.

Lahan ini sebelumnya ditanam nanas seluas 300 meter persegi. Sekarang sisa nanas yang sudah dipanen diracun dan tidak akan ditanam nanas lagi. Pada area ini dibuat sekat kanal untuk pengendalian kondisi hidrologi yang menjadi kunci dalam upaya pencegahan karhutla.

Dengan adanya sekat kanal makanan akan ada air yang tergenang sehingga gambut lebih lembab dan karhutla bisa dikurangi. Hal itu bisa dipantau daerah terpengaruhi sekat kanal dan yang tidak. Ada tiga sekat kanal dibangun di Penyengat.

Budidaya kopi

Di Kampung Kayu Ara Permai RAP juga dilakukan oleh sejumlah kelompok. Pada Arena Aksi 1 dilakukan tanaman kayu hutan Geronggang yang memang asli tumbuh di lahan gambut di sana oleh Kelompok Laskar Konservasi Mandiri. Seorang anggota kelompok, Jumadi Afrizan mengatakan alasan memilih Geronggang karena mudah ditanam, mudah tumbuh dan cepat besar.

"Bibitnya kita dari Bengkalis dan Sungai Alam karena tidak mudah membibitnya. Ada seribuan bibit, kalau kita tanam pada lahan 1 hektare bisa tumbuh sampai 10 ribu batang. Daunnya juga bermanfaat untuk menjaga kelembaban karena tebal. Kalau kita masuk ke pepohonan Geronggang suasananya dingin dan lembab," ujarnya.

Rencananya akan ditanam pada tanah desa seluas 10 hektare, namun yang untuk Geronggang hanya dua hektare. Tanaman itu rencananya bukan untuk ditebang, tapi jadi kayu alam dan tempat wisata. Kebetulan di tempat ini sudah ada ekowisata mangrove Kayu Ara Pantai Bersejarah sehingga bisa juga menjadi tempat penelitian mangrove.

Selain itu, Geronggang yang sudah tumbuh nantinya akan dikembangkan untuk pembibitan. Setelah itu, ditanam pada sisa lahan desa 10 hektare untuk dijual, karena Geronggang dinilai sangat menjanjikan.

"Satu batang 3-4 inchi umur 3-4 tahun bisa dijual Rp35-40 ribu. Kulitnya bisa juga untuk dijadikan perabotan pernis dari getahnya. Dari akarnya juga busa dibikin minyak urut," ungkapnya.

Selain menanam Geronggang pihaknya dalam upaya pencegahan karhutla dan restorasi gambut juga buat tiga buah embung. Embung atau kolam tersebut diisi ikan tawar dan di sekitar akan ditanam pula 18 ribu bibit nanas, 9.900 jahe, dan keladi 6.700 bibit.

Tak hanya kaum adam, CIFOR juga memfasilitasi kelompok wanita tani dalam program diversifikasi komoditas. Persisnya di Arena Aksi 5 ada Kelompok Wanita Tani Permai II Indah yang melakukan budidaya jahe merah, alpukat, dan jambu di pekarangan rumah.

Ketua Kelompok Tani Permai II,Yusniati mendapat bantuan berupa jahe merah, cara pengolahan dan pupuk. Yang sudah ditanam 1.500 bibit jahe, menyusul nanti 60 bibit alpukat, dan jambu. "Hasilnya nanti kami jual ke pasar atau pedagangdatang ke sini. Harganya Rp18-20 ribu per kilogram. Sekarang ditanam sudah dua bulan, nanti dipanen 8 bulan sampai setahun," katanya.

Inovasi baru dilakukan di Arena Aksi 3 oleh Kelompok Tani Permai Bertuah dan Naga Permai. Keduanya bergabung dalam lahan dua hektare untuk budi daya kopi, yang bisa dikatakan pertama di Kabupaten Siak dan kedua di Riau setelah Kabupaten Kepulauan Meranti.

Ketua kelompok Tani Permai Bertuah, Syarifuddin mengatakan pihaknya mencoba menanam kopi karena di wilayah ini masih jarang. Dan kopi yang cocok di lahan gambut ini adalah berjenis Liberika yang ditanam di antara pohon karet pada lahan seluas 2 ha sebanyak 1.900 bibit kopi.

Ketua Kelompok Tani Naga Permai, Yulius menambahkan jika sudah panen targetnya adalah menjual sendiri kopi mentahnya. Selain itu, juga ada rencana ambisius membuat olahan dan barista sendiri berkolaborasi dengan badan usaha milik desa untuk modalnya.

"Nanti panen berbuah umur tiga tahun, dan panen raya umur 4-5 tahun. Ini adalah tanah desa yang terbengkalai. Dulunya pernah terbakar. Kami memilih mananam kopi di lahan desa yang sudah ada naungannya yakni karet daripada di lahan sendiri tanam naungannya lagi susah," katanya.

Sebelum menanam kopi kelompok tani sudah diberi pelatihan yang difasilitasi CIFORdengan mendatangkan ahlinya dari Bogor. Mereka mendapat materi pelatihan tentang cara menanam, merawat, dan memanen.

Berbagai aksi partisipatif ini diharapkan menciptakan ekosistem gambut yang aman dari karhutla. Apalagi dengan partisipasi masyarakat yang aktif yang gunanya tentu untuk masyarakat itu sendiri sehingga tak terjadi lagi karhutla dengan dampak ke berbagai aspek.