Pekanbaru, (AntaraRiau.com) - Pengamat hukum dari Universitas Islam Riau Syahrul Akmal Latif menyatakan kasus pembakaran lahan dan hutan yang berulang terjadi di Provinsi Riau merupakan bentuk kejahatan luas biasa (ordinary crime).
"Bahkan kasus ini lebih berbahaya dari tindak pidana korupsi karena kerugiannya yang begitu dahsyat," kata Syahrul kepada Antara di Pekanbaru, Jumat.
Seperti diketahui, demikian Syahrul, peristiwa kebakaran dengan indikasi kuat merupakan pembakaran lahan yang terjadi di Riau pada 2013 kembali terulang hingga mengakibatkan pencemaran udara yang begitu luas.
Kondisi demikian menurut dia, merupakan peristiwa yang sangat luar biasa sehingga sewajarnya menjadi perhatian bersama untuk diselesaikan dan jangan sampai terulang di kemudian hari.
Menurut Syahrul, peristiwa kebakaran lahan di Riau merupakan tragedi, yang sangat buruk untuk daerah dan menjadi tradisi yang "kekal" bagi kebanyakan masyarakat dan perusahaan perkebunan serta industri kehutanan.
"Kejadian kebakaran yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk kesengajaan ini terjadi akibat adanya ketimpangan masalah kebijakan, khususnya terkait perizinan pengelolaan hutan di Provinsi Riau," katanya.
Syahrul mengatakan, kasus tersebut juga menjadi dilema yang berkepanjangan, aturan yang dibentuk bahkan tidak mampu mengatasi persoalan yang selalu terjadi setiap tahunnya ini.
"Penyelesaiannya bukan masalah aturan, karena sebenarnya telah ada undang undang yang mengatur tentang lingkungan. Tinggal bagaimana menjalarnya untuk menindak tegas para pelaku kejahatan luar biasa itu," katanya.
Sebelumya Polda Riau mengumumkan telah berhasil menangkap 18 pelaku pembakar lahan di sejumlah wilayah kabupaten dan kota di Riau. Seluruhnya merupakan kalangan warga atau bukan perusahaan.
Syahrul mengatakan, sebaiknya aparat penegakan hukum juga menjadikan peristiwa kebakaran lahan di Riau untuk ke depan lebih maksimal dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan, khususnya terkait lingkungan.
Menurut dia, kasus kebakaran atau pembakaran lahan di Provinsi Riau merupakan kasus yang sebenarnya tidak serumit mengungkap kasus-kasus korupsi.
Untuk itu, demikian Syahrul, sebaiknya peristiwa ini menjuadi momen agar kedepan pemerintah pusat dan pemerintah dapat saling "satu suara" mengatasi masalah lingkungan ini.
"Kalau memang ada pembatasan kawasan hutan tanam industri, sebaiknya hal itu benar-benar diterapkan. Jangan 'setengah-setengah' seperti saat ini dimana masih banyak juga perusahaan kehutanan dan perkebunan yang terus saja melakukan perluasan areal," katanya.
Kasus kebakaran lahan menurut dia sebaiknya juga dijadikan sebagai langkah kesadaran penegakan hukum, khususnya Polda Riau yang sebelumnya sempat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus "illegal logging" di Riau.
Untuk diketahui, kata dia, SP3 kasus "illegal logging" seumur-umur baru terjadi di Provinsi Riau sehingga memang menjadi catatan buruk bagi institusi ini.
Siaran pers Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya menyatakan, dikeluarkannya SP3 kasus "illegal logging" yang dilakukan oleh 13 perusahaan kayu di Riau oleh Polda Riau merupakan preseden buruk terhadap upaya penegakan hukum lingkungan hidup.
Lembaga swadaya masyarakat ini juga mengungkapkan, patut diduga kuat adanya konspirasi di balik keluarnya SP3 tersebut.
Pengamat hukum Sahrul Akmal Latif mengharapkan, kasus kebakaran lahan di Riau menjadi "gerbang" untuk aparat kepolisian kembali membuka kasus "illegal logging" yang sebelumnya sempat dihentikan itu.
"Sangat kuat dugaan, kasus kebakaran lahan ini adalah bagian dari kejahatan korporasi. Banyak perusahaan yang memanfaatkan batas-batas wilayah hutan di Riau yang tidak jelas karena belum disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)," katanya.