Pekanbaru (ANTARA) - Masih segar dalam ingatan kita persis di bulan yang sama tahun 2021 lalu. Antrean panjang kendaraan baik roda dua maupun roda empat terjadi di setiap Stasiun Pengisian Bahar Bakar Umum (SPBU) yang ada di Pekanbaru untuk memperebutkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium.
Antrean mengular terjadi akibat adanya pengurangan kuota BBM bersubsidi jenis premium kala itu. Namun antrean itu tidak berlangsung lama karena kebijakan pengurangan premium dibarengi dengan peluncuran program langit biru, yakni penjualan pertaliteseharga premium.
Langkah itu ternyata mumpuni membawa perubahan pola konsumsi di masyarakat yang tadinya menggunakan premium kini beralih ke non subsidi jenis pertalite.Pertamina tak lagi menjual Premium di SPBU kecuali penugasan pada daerah tertentu.
Seperti mengulang, kali ini biosolar juga nyaris mengalami hal yang sama. Ibarat minyak goreng, sejak sebulan terakhir biosolar diperebutkan oleh kendaraan mulai dari roda empat hingga truk gandeng. Mereka rela menanti berjam-jam demi menikmati subsidi pemerintah tersebut, padahal Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Swasta Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Riau Tuah Laksamana Negara mengatakan, Pemprov sudah punya aturan siapa saja yang berhak atas barang tersebut.
Ia mengatakan, seluruh pengusaha SPBU sudah diberi tahu tentang syarat perdagangan biosolar ke masyarakat mengacu kepada Surat Edaran Gubernur No 272/SE/DESDM/2021 tentang Pengendalian Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Jenis Minyak Solar Bersubsidi di Riau. Diantaranya kendaraan dinas, jenis truk industri tidak dibenarkan menggunakannya.
Namun penerapannya di lapanganbelum ada. Terbukti kala ada pengurangan kuota dari pemerintah, mereka yang telah nyaman dan terbiasa memakai BBM murah itu rela antre berlama-lama.
"Kita akan sosialisasikan surat edaran gubernur yang terbaru ini ke seluruh anggota Hiswana yang pengusaha SPBU," katanya di Pekanbaru, Sabtu.
Kuota berkurang
Banyaknya antrean biosolar di semua SPBU diakui Pertamina akibat adanya pengurangan kuota biosolar untuk wilayah Riau tahun 2022 sebesar 7-9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
"Kuota biosolar tahun 2022 bagi Riau sebesar 794.787 kiloliter sedangkan realisasi 2021 sekitar 824.000 kiloliter, lebih kecil 4 persen dibandingkan realisasi 2021,"sebut Section Head Communication dan Relation PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut Agustiawan.
Diakuinya, pengurangan itu telah membuat antrean kendaraan memanjang di sejumlah SPBU di Provinsi Riau, seperti di perbatasan Riau-Sumatera Utara dan daerah lainnya.
Pengamat Ekonomi Unri Dahlan Tampubolon mengungkapkan kondisi ini terjadi saat ekonomi mulai menggeliat karena adanya pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) maka dibutuhkan jumlah biodiesel yang lebih banyak dibanding tahun lalu karena industri dan transportasi kembali normal.
"Sementara kuota yang diterima berkurang, wajar kalau ada gap antara kebutuhan yang terus naik dengan suplai yang dikurangi," katanya.
Selain itu, dia menilai ini juga dampak sejak Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag tentang Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO), ada kewajiban eksportir olein untuk menjual 20 persen ke domestik, malah sudah 30 persen, dan menetapkan DPO harga CPO domestik sekitar Rp9.300 per kg, sementara harga patokan sudah Rp17.340 per kg untuk CPO ekspor.
Berarti selisih Rp8.000 harus ditanggung oleh produsen olahan CPO, termasuk fatty acid methyl ether (FAME) untuk bahan biodiesel maupun minyak goreng. CPO untuk biodiesel, harga jual pertamina Rp14.436, berarti produsen biodiesel harus menjual di bawah harga tersebut. Sedangkan harga bahan baku saja sudah jauh di atas itu.
"Selisih harga beli Pertamina dengan harga ekonomi, ditutupi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari kutipan pungutan ekspor (PE). Semakin besar nilai ekspor, semakin besar akumulasinya, semakin tinggi harga minyak mentah dunia semakin tinggi harga solar dan biodiesel. Maka cadangan dari BPDPKS akan berkurang menutupi selisihnya," ulasnya.
Sehingga industri olein termasuk biodisel yang terintegrasi dari kebun (hulu) hingga produk akhir (hilir), bisa memasok CPO nya yang dari DMO 20-30 persen karena yang 70-80 persen mereka ekspor. Dengan harga Rp9.300 ke industri mereka sendiri atau dalam kelompoknya.
"Persoalannya adalah pada industri olein yang orientasi ekspor tapi tidak terintegrasi dengan hulunya. Mereka harus menjual oleinnya 20 persen ke domestik dengan harga yang ditetapkan Kementerian energi sementara, hulunya (penghasil CPO) tidak ada yang mau jual ke mereka pada harga Rp9.300," ungkapnya.
Larang ASN gunakan biosolar
Menyikapi antrean pengisian biosolar di SPBU Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mengeluarkan larangan bagi kendaraan dinas di lingkungan setempat menggunakan Bahan Bakar Minyak bersubsidi terutama jenis biosolar.
Sekretaris Daerah Provinsi Riau SF Hariyanto bahkan mengingatkan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk tidak menerima bukti pembayaran pengisian BBM menggunakan biosolar, kecuali kendaraan untuk pelayanan umum.
"Mobil plat merah tidak boleh mengisi biosolar, edaran ini sudah kami sampaikan ke OPD agar tidak menerima bukti pembayaran BBM biosolar," kata SF Hariyanto.
Dikatakan dia, kebijakan ini juga menindaklanjuti Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 191 Tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM.
Lebih lanjut, SF Hariyanto mengatakan permasalahan kelangkaan biosolar di sejumlah SPBU perlu segera ditindaklanjuti. Apalagi sebentar lagimemasuki bulan suci Ramadhan, dimana kegiatan angkutan barang sangat tinggi.
"Teknisnya akan dirapatkan lagi nanti kita ajak Forkopimda, dan usulkan saran salah satunya penjagaan polisi di SPBU pengawasan kendaraan," ujarnya.
Revisi kontrak transportasi
Salah satu solusi yang bisa dilakukan oleh pemilik usaha transportasi angkutan barang atas langkanya biosolar, Anggota Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia wilayah Riau Arsyadjuliandi Rachman angkat bicara, ia mendorong asosiasi transportasi angkutan barang setempat untuk melakukan negosiasi ulang kontrak kerjasama dengan industri pemberi kerja dengan menggunakan harga BBM non subsidi.
Imbauan ini juga sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya penyaluran biosolar tidak tepat sasaran yang selama ini diduga banyak dilakukan oleh truk industri yang beroperasi di Riau.
"Kita coba tawarkan jalan keluar dari hulu agar solar bersubsidi ini tepat sasaran. Kalau harga kontrak angkutan dengan industri itu sudah menggunakan komponen biaya BBM industri. Saya pikir bisa meminimalisir penggunaan solar bersubsidi," kata Arsyadjuliandi Rachman di Pekanbaru, Jumat.
Anggota Komisi II DPR RI ini menjelaskan, sesuai dengan aturan pemerintah truk roda enam dan lebih tidak boleh lagi mengisi biosolar. Faktanya, ribuan truk besar yang beroperasi di Riau, sebagai mitra dari industri besar mulai dari kehutanan, perkebunan, pertambangan serta minyak dan gas serta industri besar lainnya seperti semen, besi, pabrik, juga transportasi industri lainnya menikmati biosolar.
Hal ini disinyalir erat kaitannya dengan nilai kontrak pengangkutan bersama industri yang ditekan sedemikian mungkin, sehingga diyakini masih menggunakan ongkos BBM bersubsidi. Terbukti di lapangan banyak terjadi truk besar berburu solar bersubsidi di SPBU karena harganya jauh lebih murah.
Apalagi, tambah Gubernur Riau tahun 2016-2018 ini, harga komoditas industri besar di Riau ini sedang sangat bagus. Jadi, memungkinkan untuk negosiasi ulang harga angkutan yang tidak menyedot BBM bersubsidi.
"Karena memang, hampir 60 persen dari biaya jasa angkutan itu untuk BBM," katanya.
Kalau asosiasi tidak bisa bernegosiasi dengan industri tadi, maka bisa minta pemerintah untuk memediasi karena memang tujuannya agar solar bersubsidi itu memang bisa dipakai oleh masyarakat umum yang lebih berhak.
Walaupun diakuinya tidak akan menghilangkan 100 persen penggunaan solar bersubsidi oleh truk yang tidak berhak tadi, maka harus diikuti dengan pengawasan yang ketat.
"Untuk itu, kita harus sama-sama ikut mengawasi kalau kendaraan kendaraan industri tadi tidak boleh menikmati solar bersubsidi. Ini harus diawasi bersama," ujarnya.
Sampai kapan pemindahan pola konsumsi masyarakat dari subsidi ke non subsidi ini akan terjadi? Akankah pemerintah membuat kebijakan program langit biru lainnya sebagai stimulus merangsang pengguna BBM murah beralih ke yang lebih berkualitas dan terbiasa meninggalkan yang bukan haknya. Mari kita nantikan.