Komnas : Proses Hukum Kasus 'Bioremediasi" Chevron Langgar HAM

id komnas , proses hukum, kasus bioremediasi, chevron langgar ham

Komnas : Proses Hukum Kasus 'Bioremediasi" Chevron Langgar HAM

Bakal Dilaporkan ke Presiden

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan proses hukum terhadap tersangka dan terdakwa kasus korupsi "bioremediasi" PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) merupakan suatu berbuatan melanggar HAM.

Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, dalam pesan elektroniknya kepada Antara di Pekanbaru, Selasa, mengatakan, temuan itu juga telah dipublikasikan secara umum.

Menurut dia, hal itu merupakan hasil penyidikan lembaganya atas proses hukum kasus korupsi dugaan korupsi proyek pemulihan lahan yang tercemar limbah minyak (bioremediasi) Chevron.

Dia mengatakan ada empat kesimpulan hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM atas 11 variabel kejanggalan.

Yang pertama, demikian Natalius, yakni terlanggarnya hak untuk mendapat kepastian dan perlakuan hukum yang sama.

Kedua, lanjut kata dia, terlanggaarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang.

Kemudian yang ketiga, sambung dia, terlanggarnya hak untuk mendapat keadilan dan proses hukum yang adil, jujur, dan berimbang.

"Sementara yang keempat yakni terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena pelanggaran perjanjian perdata," katanya.

Natalius menjelaskan, keempat kesimpulan tersebut merupakan inti dari berkas setebal 400 halaman dari hasil penyikan mendalam yang dilakukan Komnas HAM dengan memanggil terdakwa atau korban, saksi ahli, pihak kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Kami menghasilkan 400 halaman. Ini yang paling tebal, karena Komnas HAM jarang sampai 400 halaman. Paling 'banter' 200 halaman, karena kami memotret, ini merupakan sebuah kejahatan hukum di jaman modern, sesuatu yang sesuangguhnya salah, tapi tetap dilaksanakan," katanya.

Dia kembali menegaskan, setelah mendapat pengaduan dari sejumlah tersangka dan terdakwa, Komnas HAM langsung bekerja melakukan penyidikan secara independen dan imparsial. "Kami tidak dalam perspektif siapapun," katanya.

Dikirim ke Presiden

Berkas setebal itu, demikian Natalius, pekan depan akan dikirimkan ke sejumlah lembaga dan pejabat terkait, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhyonono (SBY), Kerua DPR RI, Marzukie Alie, Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika, Kejaksaan Agung, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI), dan Komisi Yudisial (KY).

"Bila perlu, kami mengantar langsung kepada mereka. Artinya, agar bisa langsung ditindaklanjuti. Ada sesuatu yang bergerak secara visual, bukan hanya bergerak dengan surat yang tidak mempan di republik ini. Itu tanda uapaya komnas HAM nyata dan bisa ditindak lanjuti. Istilahnya kami sudah nyatakan perang terbuka," katanya.

Dari hasil penyidikan, Komnas HAM menyimpulkan, bahwa tersangka dan terdakwa kasus ini hanyalah menjadi korban.

Hal itu menurut dia beralasan karena jikapun ini menjadi kasus korupsi, perusahaan mempunyai 'top manajemen', sehingga siapa seharusnya yang bertanggung jawab. "Kami menyimpulkan, mereka yang menjadi korban, sebenanrkya bukan yang seharusnya bertanggung jawab. Masih ada atasan yang lebih bertanggung jawab," kata dia.

Selain itu, kata Natalius, jika kasus ini diproses secara hukum, maka kenapa pihak lain, seperti KLH dan BP Migas (SKK Migas) tidak ikut diseret ke ranah hukum. Kejanggalan lainnya, kata dia, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, kontraktor tidak harus mengantongi izin dalam mengerjakan proyek bioremediasi.

"Kami juga melihat lokasi sampel, ada 9 SBF (lokasi kerja), tapi yang dijadikan sample cuma dua. Padahal letaknya berjauhan, struktur tanah dan air berbeda. Jadi, ini kami anggap sesuatu yang sangat 'miss'," katanya.

Kejanggalan lainnya, lanjut dia, yakni soal TPH atau kadar penurunan cemaran limbah, dimana sesuai dengan Kepmen KLH Nomor 128 tahun 2003, tidak diatur adanya TPH minimun 7,5 persen. Sementara sebelumnya pihak saksi ahli dari jaksa penuntut bahkan telah dimasukkan ke dalam berkas perkara, menuliskan yang bertentangan. "Jadi proses dinyatakan selesai jika TPH sampai 1 persen."

Dalam proses hukum kasus ini, menurut dia juga terjadi konflik kepentingan, alasannya, saksi ahli dalam kasus ini adalah seseorang yang dua kali ikut tender proyek bioremediasi dan tak berhasil. "Kami punya bukti dan saksi. Jadi kami menilai saksi ahli punya 'conflik of interest' yang besar dalam hal ini," kata dia.

Sementara itu, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Adi Toegariman menghimbau semua pihak menghormari proses hukum kasus CPI dan melihat fakta persidangan. Dalam kasus ini, menurut dia kepada sejumlah wartawan di Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah memvonis dua orang terdakwa, yakni Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Herlan (Direktur PT Sumigita Jaya) masing-masing lima dan enam tahun penjara.

Dari tujuh yang ditetapkan sebagai tersangka, baru dua orang yang sudah divonis, sedangkan tia tersangka lainnya telah menjadi terdakwa dan tengah menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, kemudian dua orang lagi masih bestatus tersangka dan segera menyusul menjadi terdakwa.

Tujuh orang yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka di antaranya lima orang dari pihak Chevron, yakni Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja, dan Bachtiar Abdul Fatah. Dua orang dari pihak kontraktor, yakni, Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Herlan (Direktur PT Sumigita Jaya).

Sementara, Alexiat Tirtawidjaja sampai saat ini masih berada di Amerika Serikat menemani suami yang sedang berobat, dan pihak kejaksaan agung belum melakukan pemeriksaan terhadapnya.