Cinta terkadang membuat manusia gelap mata, hingga "salah kaprah". Cinta juga terkadang membuat pandangan tak nyata menjadi nyata. Cinta bahkan membuat seseorang tak harus berfikir logika.
Setidaknya itu lah yang dialami sejumlah oknum kalangan elite di lembaga kerakyatan, pemerintahan dan swasta di Provinsi Riau. Ketiga lembaga ini menjadi "jembatan gantung" bagi empat orang yang tengah mengikat "cinta segitiga" mereka meski akhirnya berakhir tragis.
Kisah kalangan elite para pejabat Provinsi Kaya Minyak ini tak beda jauh dengan kisah tragedi pada film bergenre horor berjudul Affair yang mulai "mewarnai" belantika perfilman Tanah Air sejak tahun 2010 lalu. Mereka terjerat cinta segitiga hingga harus mengakhiri hidup dalam sebuah percintaan yang mematikan.
Berbeda dengan film "Affair, dimana sang pemeran utama romantika di peragakan Reta (Sigi Wimala) dan Santi (Garneta Haruni) serta Daniel (Dimas Aditya). Kisah romantika "cinta segitiga" satu ini justru diperagakan oleh empat pemeran utama yang bermuasal dari kalangan elite, diantaranya dua legislatif, satu pegawai pemerintahan daerah dan seorang lagi dari pihak perusahaan swasta.
Mereka adalah M. Faisal Aswan dari Partai Golkar dan Moh Dunir dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sama-sama berada pada Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau.
Sementara dua pemeran utama lainnya masing-masing Eka Dharma Putra selaku Kepala Seksi Pengembangan Sarana dan Prasarana pada Dinas Pemuda dan Olah Raga Riau, dan seorang staf PT Pembangunan Perumahan (PP) Persero, Rahmat Syahputra.
Jika "Affair" di sutradarai oleh kawakan Nayato Fio Nuala, namun romantika satu ini berjalan meski tanpa pamandu utama. Ibarat air melaju melewati hambatan-hambatan kecil hingga akhirnya tertahan di kawasan yang datar.
Setidaknya perumpamaan itu lah yang digambarkan seorang pengamat hukum dari Universitas Islam Riau (UIR) Dr Syahrul Akmal Latif untuk kasus gratifikasi atau sogok proyek lapangan tembah Pekan Olah Raga Nasional (PON) ke XVIII/2012 di Riau yang melibatkan dua anggota DPRD Riau, seorang pegawai negeri sipil (PNS) dan pihak swasta.
Ia berpandangan, kasus gratifikasi yang menjerat keempat tersangka yang kini masih dalam penyidikan dan pengembangan lembaga "super body" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lepas dari jalinan "cinta segitiga" yang harmonis di kalangan elite koruptor.
Jelasnya, M. Faisal Aswan dan M Dunir (anggota dewan) serta Eka Dharma Putra (PNS) dan Rahmat Syahputra (swasta) ditetapkan sebagai tersangka suap atau gratifikasi atas proyek lapangan tembak senilai lebih Rp40 miliar serta pembahasan peraturan daerah (perda) tentang penganggaran PON oleh tim penyidik KPK pada Kamis (5/4) lalu.
Penetapan itu dilakukan setelah tim penyidik KPK yang turun langsung ke "Kota Bertuah" Pekanbaru memeriksa 13 orang saksi, termasuk tujuh anggota DPRD Riau selama lebih dari 24 jam.
Tim KPK sendiri menangkap 13 orang tersebut sesaat seusai DPRD Riau menggelar paripurna pembahasan revisi Perda Penganggaran PON XVIII 2012 pada Selasa (3/4) lalu.
Dalam sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPRD Riau Djohar Firdaus dibahas dua agenda, pertama yaikni pengesahan revisi Perda Nomor 6 tahun 2010 tentang pengikatan dana anggaran kegiatan tahun jamak untuk pembangunan venues PON XVIII yang berisi tujuh proyek dengan total biaya Rp382,9 miliar.
Agenda kedua adalah Perda Nomor 5 tahun 2008 tentang Stadiun Utama PON XVIII Rp900 miliar yang telah habis masa berlakunya sejak tahun 2011.
Dalam revisi Perda Nomor 6/2010, DPRD Riau menyetujui penambahan anggaran untuk venues cabang olah raga menembak sebesar Rp19 miliar dari semula Rp44,3 miliar. Jumlah itu membengkak dari usulan awal yakni Rp9 miliar sehingga total biaya untuk venue menembak Rp63 miliar.
Setelah agenda pengesahan revisi perda disetujui, sebanyak 45 dari jumlah 55 anggota DPRD Riau yang ketika itu mengikuti sidang paripurna, DPRD Riau kemudian melanjutkan pembahasan rencana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Perda No 5/2008.
Revisi Perda Stadion Utama PON Riau itu mengusulkan penambahan anggaran Rp218 miliar dari biaya semula Rp900 miliar, sehingga total biaya stadion PON membengkak menjadi Rp1,118 triliun.
Namun pembahasan pembentukan panitia khusus (Pansus) terkait revisi Perda Nomor 5 tahun 2008 itu terganjal sejumlah interupsi anggota DPRD Riau yang menyatakan revisi itu bertentangan dengan Perda Dasar Nomor 7 tahun 2007 tentang pembentukan dana cadangan PON Riau, sehingga revisi seharusnya dilakukan seiringan.
Dalam kemelut berbagai rencana pembangunan proyek fasilitas penunjang pagelaran PON Riau yang rencananya akan dilaksanakan pada September 2012 mendatang itu lah diindikasikan adanya jalinan "cinta segitiga" yang melibatkan anggota dewan, pihak pemerintahan dan swasta dalam perebutan proyek bermasalah.
Namun "cinta segitiga" tersebut berakhir tak seromatis seperti yang di khayalkan para pemeran utama. Dimana pada Selasa (3/4) itu, sekira pukul 17.00 WIB, tim KPK akhirnya menangkap "basah" anggota DPRD Riau dari Fraksi Partai Golkar M Faisal Aswan di kediamannya di Jalan Aur Kuning, Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru hingga kemudian tertangkap Moh Dunir dan seorang PNS dan pihak rekanan/swasta.
Hubungan antara para pejabat legislatif, eksekutif dan pihak swasta ini menurut pandangan pakar hukum bagaikan rantai yang saling erat berhubungan hingga mampu memutarkan roda dan mencapai tujuan sesungguhnya.
"Klimaks" tersebut menurut Syahrul adalah hasil dari jalinan cinta, bisa berupa proyek yang menghasilkan banyak hadiah (gratifikasi), atau bisa juga menghasilkan sebuah keuntungan langsung dari manipulasi data (korupsi).
Jalinan "cinta segitiga" di kalangan elite kaum koruptor itu lah yang menurut pengamat hukum Syahrul kerap merepotkan garda terdepan penegak hukum antikorupsi.
"Bisa jadi, pengungkapan kasus dugaan gratifikasi proyek fasilitas penunjang Pekan Olah Raga Nasional (PON) ke XVIII/2012 di Provinsi Riau oleh KPK ini hanya sebagian kecil dari sejumlah ikatan "cinta segitiga" yang sebenarnya telah lama terjalin," katanya.
Hal ini jelas terlihat, dari contoh kasus ini. Dimana pemeran adegan "cinta segitiga" tidak hanya dari satu kelembagaan, melainkan tiga unsur, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Pemerintah Daerah (Pemda) dan kontraktor atau pihak swasta.
"Mereka ini lah para pelaku 'cinta segitiga' yang sepantasnya mempertanggungjawabkan segala tindakan merugikan negara dan rakyat," katanya.
Menurut Syahrul pula, pengungkapan kasus gratifikasi yang melibatkan dua wakil rakyat seorang pihak rekanan/swasta berikut eksekutif itu masih belum mencapai pada "klimaksnya".
"Masih banyak kasus lain yang mungkin jauh lebih besar kerugian negaranya. Terlebih dana PON Riau yang mencapai triliunan rupiah. Sungguh tidak logis," katanya.
Sedari dulu menurut Syahrul, sebenarnya juga telah jelas terlihat, bahwa "cinta segitiga" antara pihak oknum pemerintah, angota DPRD dan pihak swasta ini berjalan dengan begitu harmonis tanpa disadari para penegak hukum dan banyak kalangan.
"Hal ini yang menyebabkan selalu lolosnya mereka dari ranah tindak pelanggaran hukum menyangkut korupsi dan gratifikasi yang menyebabkan banyak proyek terbengkalai bahkan amburadul," katanya.
Dalam kisah romantisnya, demikian Syahrul, "cinta segitiga" kalangan koruptor elite ini juga kerap berjalan dengan seimbang, meski sebenarnya selalu saja terjadi "perselingkuhan".
Hal ini bisa terjadi menurutnya, karena antara tiga oknum lembaga ini yang kerap berhasil menjalankan peranannya sesuai dengan fungsinya masing-masing, di tambah lagi dengan kekuatan administrasi dan kebijakan yang mereka miliki.
"Tetapi hari ini, kita melihat 'cinta segitiga' antara eksekutif, legislatif dan pihak swasta di Provinsi Riau berlahan mulai terkuak kehancurannya, hingga harus berakhir tragis," katanya.
Meski bertindak dengan tidak insidentil, katanya KPK terbukti telah berhasil mengungkap skandal "cinta segitiga" kalangan elite itu.
Satu hal yang juga harus dipahami adalah, demikian Syahrul, saat ini KPK sebagai lembaga 'super body' telah dipandang sebagai penyebab dari 'keretakan cinta segitiga' kalangan elite yang telah lama terjalin.
Jadi tidak menutup kemungkinan, KPK akan menjadi musuh bersama bagi kalangan elite yang merasa 'risih' dengan kehadirannya.