Pekanbaru (ANTARA) - Pelecehan seksual (mengutip dari Winarsunu, 2008), adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seks yang dilakukan sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya, bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan.
Pelecehan seksual merupakan perilaku pendekatan yang berkaitan dengan seks yang tak diinginkan, baik verbal (sentuhan fisik), atau nonverbal (melalui perkataan kotor), sedangkan korbannya kendati secara umum perempuan (anak-anak, remaja dan dewasa, red) namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Korban pelecehan seksual bisa jadi adalah laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama.
Dan kasus ini, tercatat tidak hanya di Indonesia juga di sejumlah negara di dunia, yang terus menjadi keprihatinan mendalam di kalangan orang tua, pemerintah, LSM, pengamat, dan komunitas.
Belajar dari masih maraknya kasus pelecehan seksual pada anak yang terjadi di Indonesia khususnya Riau, telah menggerakkan Ali Syahbansa (21), Najla Syafura (21), dan Epen (20) membentuk komunitas yang bergerak pada pendidikan dan konseling seks dini untuk ibu dan anak-anak.
Mereka menamai komunitas itu dengan “Sex Education For Children and Moms“ (Safe Moms). Komunitas ini berawal dari perkumpulan biasa sejak tahun 2017 dan resmi dibentuk menjadi komunitas pada Januari 2020 dengan memiliki 12 anggota pelatih dengan berbagai latar belakang organisasi dan komunitas.
“Orang-orang yang menjadi pelatih dalam edukasi bukan sembarangan, karena beberapa pelatih atau relawan berasal dari berbagai latar belakang seperti Forum Anak, Forum Genre BKKBN, Mahasiswa Berprestasi (MAPRES), Bujang Dara,” kata Ali Syahbansa.
Mereka memiliki misi untuk mencerdaskan dan meningkatkan kepedulian masyarakat dengan memberikan pengetahuan seks dini kepada ibu dan anak dalam rangka mengedukasi dan menekan kasus pelecehan seksual pada anak-anak di Riau, khususnya Pekanbaru.
Ali mengatakan, kasus pelecehan seksual pada anak di Kota Pekanbaru dan sekitarnya yang dilaporkan kepada Safe Moms seperti di Rumbai korban 15 anak, Rumbai satu kasus, Tenayan Raya dua kasus, dan Rimbo Panjang satu kasus sehingga pengetahuan bagaimana melindungi alat reproduksi itu perlu diberikan.
Pengetahuan “seks dini” yang diberikan berupa pengenalan alat reproduksi, bagian tubuh yang boleh diperlihatkan dan tidak, bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain, dan bagaimana melindungi diri dari oknum (pedofil) yang diduga akan melakukan pelecehan seksual.
Sadar akan pentingnya pengetahuan tentang seks dini, itu, maka mendorong ketiganya berambisi untuk terus menggencarkan edukasi kepada ibu dan anak-anak di 70 tempat seperti sekolah, yayasan, panti asuhan, kelompok disabilitas dan kelompok ibu PKK tahun 2020.
Kelompok ibu PKK menjadi sasaran dalam edukasi oleh Safe Moms karena, ibu merupakan sekolah pertama dan lebih dekat dengan anak mereka. Selain itu kelompok disabilitas juga menjadi sasaran mereka karena kelompok ini juga rentan jadi korban pelecehan seksual karena keterbatasan fisik yang mereka miliki.
Tina (23) pengurus panti asuhan Yayasan Lembaga Bakti Muslim Indonesia (YLBMI) mengatakan gerakan komunitas Safe Moms patut diapresiasi dan didukung terus, karena edukasi yang menjadi bagian dari gerakan pendidikan di luar sekolah ini mungkin tidak pernah digelar di dalam kelas kalaupun ada itu namun sangat sedikit.
Menurutnya lagi, orang-orang yang pernah menjadi korban pelecehan seksual ada kemungkinan menjadi pelaku dan menjadi mata rantai yang tidak putus. Karenanya keberadaan komunitas Safe Moms, diharapkan dapat menjadi contoh untuk masyarakat lainnya dalam menggalakkan perlindungan anak secara tegas sebagai usaha untuk memutus mata rantai kasus pelecehan seksual.
Korban potensial pelaku
Epen (20) sapaan akrabnya yang juga anggota Forum Anak Kabupaten Kampar itu mengatakan, berdasarkan penelitian banyak fakta membuktikan bahwa sebagian besar korban pelecehan seksual (balita, anak SD, hingga SMA,red) kelak berpotensi menjadi pelaku, lebih akibat trauma yang mereka alami, membekas secara mendalam sehingga menurut pandangan mereka trauma itu bisa hilang ketika melakukan hal yang sama pada korban lainnya.
Sedangkan pelakunya, katanya lagi, masih berdasarkan fakta, adalah orang-orang terdekat anak seperti keluarga, paman, tetangga, atau rekan kerja orang tuanya (pedofil), sementara itu aksi pelecehan itu cenderung terjadi pada anak perempuan pada bagian tubuh sensitif seperti area dada, bibir disentuh hingga dicium.
"Kalangan anak menggapi sentuhan berbau pelecehan itu, sebagai tanda kasih sayang, namun justru tindakan demikian adalah pelecehan seksual, sehingga keberadaan Forum Anak akan mampu memberikan pendampingan karena menjadi media pelopor dan pelapor kasus-kasus kejahatan terhadap anak," katanya.
Selain itu, Forum pun memberikan penegasan pada anaka bahwa ketika seseorang menyentuh area sensitif mereka, jangan hanya diam saja, selain itu, orang dewasa sudah seharusnya melindungi bukan menghancurkan mereka, karenanya aktivitas anak harus tetap diawasi oleh orang tua.
Pentingnya Mengawasi Anak
Kepala Dinas Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), Mahyuddin, mengatakan orangtua berperan besar dalam melindungi anak-anaknya dari kemungkinan terjadinya pelecehan seksual pada anak.
“Hal ini tertera dalam UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa negara, pemerintah dan masyarakat berkewajiban menyelenggarakan perlindungan anak,” katanya
Salah satu bentuk perlindungan yang dapat diupayakan adalah mengawasi setiap aktivitas anak. Anak-anak masa kini lebih maju karena adanya internet, dengan itu ia bisa melakukan apa yang dia mau dan ingin tahu.
Menurutnya keberadaan internet saat ini membuat anak mudah mencari segala informasi secara otodidak, termasuk tentang pendidikan seks dini. Disinilah peran orantua diperlukan, mengawasi kegiatan anak mencari informasi agar tidak salah dan melampui batas sesuai umurnya.
Orangtua harus mampu mengontrol dan mengajarkan anak dalam menggunakan internet sehat dan bertanggung jawab demi memperoleh wawasan yang terbaik. Hal ini juga sebagai bentuk melindungi anak dari terpaan informasi yang mengandung pornografi dan porno aksi.
Selain mengawasi, orangtua juga berperan besar mendidik acara secara langsung dengan memberikan keterbukan informasi bagaimana anak harus melindungi dirinya sendiri dari orang sekitarnya dalam mencegah terjadinya pelecehan seksual.
Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Pekanbaru, tercatat sebanyak 130 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama tahun 2019. Sebanyak 33 kasus diantaranya pencabulan terhadap anak di bawah umur.
Mahyudin menjelaskan, 130 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut tersebar pada 12 kecamatan. Namun kasus tertinggi terjadi di Kecamatan Tampan, mencapai 20, Tenayan Raya, 17 kasus, di Payung Sekaki dan Kecamatan Rumbai masing-masing 14 kasus.
Sedangkan untuk pencabulan terhadap anak di bawah umur, juga merata terjadi di kecamatan Pekanbaru di antaranya, Tampan masih rekor tertinggi dengan 9 kasus. Kemudian di urutan kedua Kecamatan Rumbai 7, selanjutnya Kecamatan Tenayan Raya 6 kasus, Marpoyan Damai 3, Sail dan Limapuluh masing-masing 2 kasus, Sukajadi, Senapelan, Pekanbaru Kota dan Payung Sekaki masing-masing 1 kasus.