Aktivis: Vonis Asral Rahman Diharapkan Berefek Domino

id aktivis vonis asral rahman diharapkan berefek domino

Pekanbaru, 5/11 (ANTARA) - Sejumlah aktivis lingkungan mengharapkan vonis terhadap bekas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Asral Rahman, di Pengadilan Tindak Pindana Korupsi memiliki dampak efek domino untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas mafia kehutanan.

"Putusan kasus Asral Rahman harus berefek domino pada kasus lain yang ditangani KPK," kata Direktur Eksekutif Walhi Riau, Hariansyah Usman, kepada ANTARA di Pekanbaru, Jumat.

Hariansyah mengatakan itu untuk menanggapi putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Jumat, yang memvonis Asral Rahman dengan hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta. Asral dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus penerbitan izin usaha pemanfaatan hutan di Kabupaten Siak dan Pelalawan dalam kurun waktu 2002 hingga 2005.

Menurut Hariansyah, penegakan hukum untuk memberantas mafia kehutanan jangan hanya berhenti pada vonis satu tersangka karena kasus yang melibatkan Asral tidak berdiri sendiri, atau ada rentetan yang melibatkan pelaku lainnya. Ia mencontohkan, seorang kepala derah dan dua bekas Kepala Dinas Kehutanan Riau yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka sejak tahun 2008, namun hingga kini kasusnya belum diproses ke pengadilan. Mereka adalah Bupati Siak Arwin AS, sedangkan dua bekas kepala dinas adalah Syuhada Tasman dan Burhanudin Husin, yang terakhir hingga kini masih menjabat Bupati Kampar.

Contoh tidak tuntasnya penegakan hukum dalam kasus korupsi kehutanan di Riau, lanjutnya, juga dapat dilihat dalam kasus bekas Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jafaar. Dalam persidangan, Azmun "berkicau" bahwa kejahatan gratifikasi yang dilakukannya juga turut melibatkan Gubernur Riau dan pejabat di Kementerian Kehutanan.

"Namun, sayangnya, pengakuan Azmun tidak ditindaklanjuti dan seakan menguap. Jika pemerintah berkomitmen memberantas mafia kehutanan dan memberi efek jera kepada pelaku, maka seharusnya semua pelaku utama juga diseret ke pengadilan," ujarnya.

Hal senada juga diutarakan Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Susanto Kurniawan, bahwa KPK jangan terkesan "tebang pilih" dalam pemberantasan mafia kehutanan di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau.

"Kalau dilihat kasus Asral Rahman, sebenarnya itu adalah rentetan yang juga dilakukan dua tersangka mantan kepala dinas kehutanan lainnya," kata Susanto.

Ia juga mengatakan, KPK juga jangan menghentikan pengusutan pada pejabat yang melanggar proses perizinan rencana kerja tahunan dalam sektor kehutanan. Menurut dia, KPK juga harus menindak tegas pemberi gratifikasi yang mendapatkan izin bermasalah dari para tersangka.

"Jangan hanya penerima gratifikasi yang dihukum, seharusnya pemberinya juga harus dipenjarakan," katanya.

Majelis Hakim menjatuhi hukuman kepada Asral berupa pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan. Selain denda, Asral juga diminta membayar uang pengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp1,544 miliar dan hukuman bakal ditambah satu tahun apabila hartanya tidak mencukupi.

Tervonis tercatat sudah mengembalikan uang ke KPK sebesar Rp600 juta, sehingga sisa yang harus dibayar sekitar Rp944 juta.

Rahman dijerat dengan pasal memperkaya diri sendiri dan orang lain karena menerima hadiah atau imbalan atas penerbitan izin rencana kerja tahunan untuk lima perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri (HTI), yakni PT Bina Daya Bintara, PT Seraya Sumber Lestari, PT Balai Kayang Mandiri, PT Rimba Mandau Lestari, dan PT National Timber and Forest Product.

Kerugian negara akibat penerbitan izin di Kabupaten Pelalawan sebesar Rp587,6 miliar dan di Kabupaten Siak sekitar Rp301,6 miliar.

Masalahnya, izin tersebut diajukan pada wilayah hutan alam yang dilarang untuk dikonversi menjadi perkebunan. Perusahaan lantas memberikan imbalan kepada Asral sebesar Rp994 miliar dan Bupati Siak Arwin AS sebesar Rp550 juta.