Menciptakan Bisnis Yang Berdamai Dengan Alam

id menciptakan bisnis, yang berdamai, dengan alam

Menciptakan Bisnis Yang Berdamai Dengan Alam

Antara Foto

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Fenomena harimau sumatera liar bernama Bonita di Provinsi Riau menjadi pembuka mata bahwa manusia tidak sendirian di alam ini, dan semua perbuatan akan ada konsekuensinya yang akan dijawab oleh alam itu sendiri. Tidak ada yang menyangka, seekor Bonita bisa berprilaku berbeda dari spesiesnya dan bahkan memangsa dua orang warga.

Teror Bonita tidak terlepas dari tindakan manusia yang mengubah bentang alam terutama untuk kepentingan bisnis. Satwa itu sudah lebih dulu ada di hutan yang menjadi habitatnya, dan ketika manusia datang untung berusaha, seringkali melupakan mereka masih bergantung pada ekosistemnya. Karena itu, setiap perubahan yang terjadi pada ekosistem, akan menimbulkan konsekuensi yang seringkali berakhir buruk bagi kedua pihak yaitu satwa dan manusia.

Organisasi perlindungan satwa WWF (World Wildlife Fund) menyerukan perusahaan industri kehutanan dan kelapa sawit di Provinsi Riau agar benar-benar serius menerapkan kebijakan untuk melindungi kelestarian satwa dilindungi yang terancam punah.

Hal itu penting karena sekitar 75 persen dari habitat asli harimau dan gajah Sumatera berada di kawasan konsesi, kata Humas WWF Program Riau, Syamsidar, kepada Antara di Pekanbaru, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan ada puluhan perusahaan kehutanan dan sawit yang konsesi mereka sebenarnya juga merupakan habitat satwa dilindungi. "Kalau ditanya berapa banyak perusahaan yang harus menerapkannya, seharusnya semuanya. Menimbang 70 persen habitat gajah dan harimau itu berada di kawasan konsesi," kata Syamsidar.

Menurut dia, semangat perusahaan untuk memperbaiki kinerja sebenarnya ada. Namun, semangat itu tidak dibarengi dengan implementasi yang maksimal.

Syamsidar menyontohkan, salah satu bentuk implementasi adalah dengan pencegahan dan penanganan konflik gajah seperti menerapkan "flying squad" untuk patroli pengamanan dan penanganan konflik.

"Sejauh ini ada dua yang adopsi, yakni RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) dengan implementasi langsung, yakni punya flying squad," kata Syamsidar.

PT RAPP adalah perusahaan industri kehutanan yang bergerak di bisnis bubur kertas dan kertas. Satu perusahaan lain yang sudah menerapkan kegiatan serupa adalah perusahaan kelapa sawit, namun bentuknya dengan memfasilitasi Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo untuk implementasinya.

Dulu gajah yang dipelihara oleh RAPP hanya terfokus mengusir gajah-gajah liar yang memasuki perkebunan masyarakat serta lahan perkebunan mereka. Namun, kini gajah dimiliki anak perusahaan APRIL Grup itu sudah dilatih dengan sejumlah ketangkasan. Singkat cerita, gajah Flying Squad RAPP sudah bisa memberikan hiburan bagi masyarakat.

Gajah-gajah terlalith itu ditempatkan di Estate Ukui Kecamatan Ukui, yang menjadi pusat pelatihan Gajah Flying Squad RAPP di Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan. Jarak tempuh dari ibu Kabupaten Pelalawan, yakni Kecamatan Pangkalan Kerinci, tidak kurang dari dua jam tiba. Masyarakat juga bisa menikmati ekowisata disekitar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) itu.

Melindungi Habitat Satwa

Syamsidar mengatakan Masih rendahnya keperdulian perusahaan untuk menerapkan kebijakan manajemen yang melindungi habitat satwa bisa memunculkan konflik yang merugikan kedua pihak. Hal ini kini menjadi sorotan karena masih tingginya konflik seperti gajah dan manusia, dan yang terakhir adalah kasus fenomena harimau Sumatera liar bernama Bonita yang kerap berkeliaran di perusahaan kelapa sawit di daerah Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, dan telah menewaskan dua orang warga.

Pada prinsipnya, lanjut Syamsidar, perusahaan harus melindungi wilayah habitat satwa atau jelajah satwa yang masuk dalam habitatnya. Itu merupakan bagian dari kajian mikro sebelum perizinan diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan.

Yang artinya, ketika perusahaan sudah mendapatkan izin, maka harus melindungi kawasan tersebut dan satwa di dalamnya. Namun, yang terlihat impelentasi untuk perlindungan itu masih kurang. Karena itu, untuk mengawal bagaimana perusahaan bisa implementatif dalam melaksanakan kebijakannya, WWF membuat panduan BMP (Better Management Practise) seperti untuk gajah, harimau dan orangutan.

"Kesimpulannya, gajah dan harimau itu lebih banyak hidup di luar kawasan konservasi, tapi di konsesi yang sudah terkotak-kotak," ujarnya.

Dengan demikian, satwa dilindungi itu untuk bertahan hidup juga memanfaatkan konsesi yang dikelola oleh perusahaan.

"Maksudnya, sebagian kelompok satwa itu menjelajah dari kawasan konservasi hingga ke konsesi disekitarnya karena dulunya merupakan bentang habitat (mereka). Sebagian memang benar-benar hidup di kawasan konservasi tersebut," kata Syamsidar.