Pekanbaru, (Antarariau.com) - Sosiolog dari Universitas Riau Dra. Risdayati MSi mengatakan, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami perempuan Provinsi Riau masih tinggi.
"Padahal ketika perempuan mendapat kekerasan dari pasangannya dampak paling buruk adalah anak berupa gangguan psikisnya, dan dikhawatirkan ketika dia melihat itu, kelak dia berpotensi menjadi pelaku lagi dan anak menjadi korban lagi,"kata Risdayati di Pekanbaru, Jumat.
Pendapat demikian disampaikannya terkait memperingati hari perempuan Internasional tahun 2018 yang seharusnya disambut dengan kegembiraan namun faktanya masih banyak ketimpangan dialami perempuan, di bidang hukum, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kekekerasan dalam rumahtangga.
Menurut dia, tingginya kasus KDRT di Riau antara lain dipicu oleh pola pikir bahwa seorang istri harus patuh pada suami tanpa pertimbangan kendati prilaku suami cenderung berbuat jahat terhadp istrinya. Anak harus diberi penjelasan bahwa diamnya sikap ibu itu salah, dan ibunya harus melawan jika perlakuan suami sudah tidak masuk akal.
Miris memang, kata mantan Ketua Pusat Studi wanita UNRI tahun 2009-2012, kasus kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi kendati payung hukum sudah banyak seperti UU perkawinan melindungi, UU anti KDRT, UU tenaga kerja, UU Perlindungan anak, UU perkawinan dan Perda Provinsi Riau Perlindungan Hak Perempuan.
Sementara itu, kata peneliti tentang gender dari FISIP UNRI inicara memandang kasus perspektif perempuan itu masih sangat berbeda, cara orang hukum, dan cara orang agama, sehingga kasus tersebut berjalan terus dan mengakibatkan keprihatinan perempuan.
Risdayati yang juga staf ahli beberapa instansi pemerintah daerah di Riau, mengatakan banyak perempuan membentuk lembaga-lembaga perndampingan berbasis perempuan, yang mencoba mengangkat kasus yang tidak terungkap, karena berkaitan dengan aib keluarga, bisanya mereka sungkan melaporkannya ke kepolisian.
"Data P2TP2A, KDRT tinggi sekali di Riau, namuan penanganannya belum holistik. Misalnya perempuan yang dipukul oleh suami, lalau dimediasi secara hukum dan agama sudah selesai, untuk satu kali saja dan ini akan berpotensi suami mengulangi hal yang sama pada hari berikutnya. Padahal penanganannya itu harus berkelanjutan dan intens terkait psikisnya yang kena, belum suaminya yang diberi pencerahan agama," kata Ridayati yang juga mantan Ketua P2TP2A Provinsi Riau 2010-2017.
Belum holistik karena kurangnya voluntir atau relawan yang rela berjibaku --dengan kualitas SDM yang tinggi-- memberikan pendampingan pada perempuan secara holistik. Keberadaan relawan ini tentunya diberikan uang jasa melalui anggaran pemerintah karena mereka juga punya kehidupan. ***4***T.F011
Berita Lainnya
Refleksi akhir tahun, dua satker Kanwil Kemenkumham Riau sabet predikat WBK
17 December 2024 11:48 WIB
PBB: Krisis Suriah merupakan refleksi kegagalan kolektif kronis upaya perdamaian
06 December 2024 13:16 WIB
Urgensi pengesahan Rancanngan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan, refleksi Hari Tanpa Tembakau Sedunia
31 May 2024 8:54 WIB
Polda Sultra ungkap perdagangan orang dengan modus pijat refleksi di Kendari
20 July 2023 14:30 WIB
Ketua DPRD Kampar Faisal ajak masyarakat refleksi pembangunan secara objektif
06 February 2023 16:54 WIB
Ayushita sebut refleksi diri penting untuk meraih cita-cita dan mimpi
14 April 2022 13:58 WIB
Nadiem Makarim sebut pandemi bawa momen refleksi sistem pendidikan
16 March 2022 15:59 WIB
Inilah arti perempuan merdeka di mata Miss International Kevin Lilliana
06 August 2022 10:47 WIB