Sekelumit Cerita Tentang Divisit Listrik Riau

id sekelumit cerita, tentang divisit, listrik riau

Sekelumit Cerita Tentang Divisit Listrik Riau

"PLN ni, bikin naik darah aja. Dah mau empat jam mati lampu, tak jelas apa masalahnya. Makin kacau PLN ini, semakin lama"

Pekanbaru (Antarariau.com) - Terhitung pekan lalu, satu unit mesin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, mulai kembali dioperasikan.

"Hingga pukul 18.00 Wib kemarin (Kamis, 4/11), telah kami operasikan satu unit dengan beban 18,1 Mega Watt (MW)," ucap Manajer SDM dan Umum PLN Wilayah Riau dan Kepri, Dwi Suryo Abdullah.

Laporan diterima pihaknya saat itu menyebutkan, ketinggian air di bendungan PLTA telah mencapai 55,25 meter kubik per detik.

Dengan elevasi air bendungan untuk pembangkit terletak di Desa Merangin, Kecamatan XIII Koto Kampar tercatat 73,53 meter di atas permukaan laut/mdpl.

Sementara, syarat ketinggian air dalam mengoperasikan mesin turbin listrik minimal 73,5 meter mdpl.

"Kita cuma manfaatkan tiga centimeter saja. Kalau air berada pada posisi 73,5 mdpl, maka operasi satu unit mesin ini harus kita stop lagi," ucapnya.

Ketiga unit mesin turbin di PLTA Kota Panjang, mampu menghasilkan daya listrik total 114 MW atau masing-masing unit turbin menyumbang 38 MW.

Beroperasinya satu unit mesin turbin itu, setelah satu bulan lebih terhenti akibat debit air di bendungan Sungai Kampar kian menyusut.

Peristiwa ini tercatat baru pertama kali terjadi, di saat fenomena El Nino mempengaruhi sebagian besar wilayah Indonesia.

"Sudah 19 tahun PLTA hadir, tapi baru pertama kali ini mesin turbin tak bisa berfungsi," kata Asisten Manajer Operasi dan Pemeliharaan Sektor Pembangkit Pekanbaru, Syahminan Siregar.

Awal PLTA

Sejarah mencatat pada tahun 1979, PT PLN merencanakan pembangunan bendungan untuk memanfaatkan aliran Sungai Batang Mahat dan Sungai Kampar Kanan.

Tepatnya 28 Februari 1997, resmi PLTA Koto Panjang beroperasi pada zaman Gubernur Riau Soeripto dan Bupati Kampar Saleh Djasit.

Di awal peresmian, wilayah catchman area atau tangkapan air sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) tercatat 3.300 kilometer per segi/km2.

Namun tahun 2015, tangkapan air cuma 882 km2. Berkurang 2.418 km2 atau menjadi hilang sekitar 75 persen.

"Tidak berfungsi PLTA sebagai mana mestinya, karena rusaknya water catchman area," ucap Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Riko Kurniawan.

Menurutnya, kerusakan catchman area telah menyebabkan air langsung masuk ke dalam bendungan, sehingga rawan melimpah terutama di musim hujan.

Pada awal tahun ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kampar mencatat, pembukaan pintu bendungan PLTA setempat terjadi pada Sabtu (6/1).

Pintu bendungan dibuka karena tingginya curah hujan terutama di bagian hulu Sungai Kampar, sehinga tercatat 2.341 kepala keluarga menjadi korban banjir.

Tercatat pada Ahad (17/1), banjir kedua jauh lebih besar. Air meluap hingga bagian hilir sungai, sehingga merendam 27 desa pada delapan kecamatan di Kampar.

"Jika pintu air tidak dibuka, maka dikhawatirkan tanggul akan jebol. Kalau tanggul jebol, justeru banjir lebih parah lagi," tutur Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Kampar, Muhammad Nasir.

Kerusakan tangkapan air, juga telah memicu terjadi laju sedimentasi. Kini kondisi waduk PLTA, sedang mengalami pendangkalan karena material terbawa air dan mengendap.

"Kita sudah kerjasama dengan Universitas Riau. Ini, terkait dengan pemantauan masalah lingkungan dan meneliti proses sedimentasi," papar Syahminan Siregar.

Tanggung jawab bersama

Wilayah resapan air PLTA Koto Panjang miliki total seluas 3.000 km2 dengan hulu berada di Kabupaten Pasaman, Sumbar.

Tetapi disayangkan, resapan air baik di Riau atau Sumbar, sebagian besar telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan tanaman karet.

Aktivitas penebangan liar pun, masih terjadi hingga kini. Parahnya lagi, terjadi pembiaran oleh pemerintah setempat terutama di Kabupaten Kampar dan Provinsi Riau.

"Pemerintah telah salah urus dan belum serius perbaiki aliran Sungai Kampar," ucap Ketua Forum DAS Kampar, Mahfud Siregar.

Padahal tahun 2010, Pemprov Riau telah petakan empat DAS yakni Kampar, Indragiri, Rokan, dan Siak mengalami kerusakan akibat pembukaan areal perkebunan.

"Kondisi empat DAS itu, sangat memprihatin. Ini, tidak bisa lepas dari kegiatan di daerah hulu sungai," terang Kabid Sosial Budaya Bappeda Provinsi Riau Tien Mastina, ketika itu.

Hingga kini, pemadaman bergilir terus terjadi karena Riau mengalami defisit listrik capai 300 MW, dari total kebutuhan sempat sentuh 600 MW di waktu beban pucak.

Data terakhir, sejumlah pembangkit di Riau miliki daya total 301 MW. Meski pasokan daya ditutupi dari sistem interkoneksi Sumatera Bagian Tengah, tetapi belum maksimal.

"PLN ni, bikin naik darah aja. Dah mau empat jam mati lampu, tak jelas apa masalahnya. Makin kacau PLN ini, semakin lama," ujar warga Pekanbaru, Ucok (45), pekan lalu.

Semua pihak baik di Riau dan Sumbar seharusnya bisa bersinergi memperbaiki DAS Kampar, sembari penegakkan hukum terus dilakukan oleh polisi hutan/Polri demi wilayah tangkapan air.

Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2016

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.