Catatan Akhir Tahun - Hutan Riau Di Titik Nadir

id catatan akhir, tahun -, hutan riau, di titik nadir

Seorang pengendara motor melewati deretan truk besar yang mengangkut ratusan kayu bulat di jalan lintas timur Sumatra di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, belum lama ini. Pengendara itu terlihat sangat kerdil, bahkan kedua tangannya diyakini tak cukup besar untuk memeluk sebatang kayu yang ada di truk tersebut. "Truk yang melintas sekarang ini lebih banyak mengangkut kayu dari hutan. Saya sudah lama tak melihat lagi truk mengangkut kayu sebesar itu sejak masa illegal logging di Riau tahun 2005," kata si pengendara itu, sambil menggeleng-gelengkan kepala karena takjub melihat deretan truk kayu itu. Titik awal karut-marutnya sektor kehutanan di Riau bisa ditarik mundur ke akhir 2008. Brigjen Hadiatmoko, selaku Kapolda Riau waktu itu, menghentikan proses penyidikan (SP3) terhadap kasus pembalakan liar yang melibatkan perusahaan besar. Alhasil, 13 perusahaan yang diduga terlibat lolos dari jerat hukum. Perang terhadap pembalakan liar, yang selama dua tahun dirintis oleh Kapolda Riau semasa Brigjen Sutjiptadi, seakan menguap tanpa hasil akhir. Kejadian tersebut membawa nasib hutan Riau pada 2009 seakan berada di titik nadir, yang menunjukkan bagaimana pengelolaan sektor kehutanan di Indonesia sangat sarat kontroversi dan masih jauh dari prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Khusus untuk Riau, pengelolaan sektor kehutanan juga mengalami kemunduran terparah yang pernah terjadi sejak era desentralisasi. Dalam kurun waktu 10 bulan sejak Maret lalu, sekitar 318.360 hektare (ha) hutan alam di Provinsi Riau berubah fungsi menjadi kebun akasia untuk hutan tanaman industri (HTI). Jumlah tersebut melampaui perkiraan para pegiat lingkungan mengenai luasan hutan di Riau yang hilang tiap tahun, yakni sekitar 160 ribu ha. Ironisnya, alih fungsi hutan besar-besaran tersebut mendapat legitimasi dari Departemen Kehutanan (Dephut). Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Riau, alih fungsi ratusan ribu hektare hutan alam tersebut berlandaskan pada 24 Rencana Kerja Tahunan (RKT) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) pada tahun 2009. Potensi kayu yang berada di areal RKT hutan alam tersebut sangat besar karena mencapai 12,28 juta meter kubik. RKT untuk perusahaan tersebut dikeluarkan oleh Dephut di akhir masa jabatan Malem Sambat Kaban, bekas Menteri Kehutanan di kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009). Pada 1986, total luas hutan alam Riau mencapai 4,6 juta ha. Namun ketika Dinas Kehutanan Riau melakukan penghitungan kembali pada 2005, sedikitnya 1,5 juta ha hutan alam sudah gundul karena perambahan. Luas hutan Riau yang sebelumnya mencapai 4,6 juta hektare itu, belum dikurangi dengan pembukaan konsesi untuk 66 perusahaan pemegang HTI seluas 1,74 juta ha, dan 11 perusahaan pemegang HPH seluas 674.557 ha. Selain itu, masih ada lagi pembebasan lahan pinjam pakai untuk kepentingan industri. Dengan demikian, sisa hutan alam di Riau kini diperkirakan kurang dari dua juta ha. Namun, kondisi itu kemungkinan makin menciut karena belum termasuk dari pengurangan yang diakibatkan penerbitan RKT tahun ini. Kontroversi Secara keseluruhan, Dephut telah menerbitkan 30 RKT pada tahun ini untuk menebang sekitar 23 juta meter kubik kayu, baik dari hutan alam dan kayu akasia dari hutan tanaman industri. Jumlah tersebut menimbulkan pertanyaan karena kebutuhan untuk bahan baku dua perusahaan bubur kertas di Riau, yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), hanya sekitar 16 juta meter kubik. Kebutuhan kayu untuk keperluan lain misalnya untuk kebutuhan pabrik industri kayu lapis di Riau diperkirakan hanya sekitar dua juta meter kubik. Berarti masih ada kelebihan sekitar lima juta meter kubik yang tidak jelas peruntukannya. Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli Yusuf mengatakan pihaknya tidak bisa berbuat banyak untuk mengontrol laju kerusakan hutan alam tersebut. Sebabnya, Dephut kini mengambil alih kewenangan untuk dapat menerbitkan RKT meski tanpa disetujui Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau selaku perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. "Saya tidak pernah mengeluarkan RKT di hutan alam," katanya. Menurut dia, penerbitan izin RKT kini tidak lagi wajib ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan Riau seperti sebelumnya karena bisa diambil alih oleh Dirjen Bina Produksi Departemen Kehutanan, setelah terbitnya Permenhut P.14/Menhut-II/2009. Peraturan tersebut merupakan revisi dari Kepmenhut No P.62/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, yang membuat pengelolaan hutan kembali dipegang penuh pemerintah pusat. Zulkifli Yusuf tidak memungkiri bahwa peraturan tersebut dikeluarkan Dephut karena dirinya tak kunjung menerbitkan RKT di Riau setelah adanya SP3 kasus pembalakan liar pada akhir tahun 2008. Sejak kasus pembalakan liar mencuat sekitar tahun 2007, Dinas Kehutanan Riau memang menghentikan pemberian izin RKT untuk perusahaan. Namun, ia beralasan hal itu dilakukannya karena masih ada puluhan izin HTI yang bermasalah karena berada di kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Bahkan, ada juga konsesi HTI yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi alam. Salah satu izin bermasalah seperti yang ada di areal perluasan PT RAPP. Menurut Zulkifli, kawasan RAPP tumpang tindih dengan lima kawasan konservasi antara lain Suaka Margasatwa (SM) Rimbang Baling, SM Tasik Pulau Padang, SM Danau Pulau Besar, dan Taman Nasional Tesso Nilo. Luas areal perluasan PT RAPP di dalam izin disebutkan 350 ribu ha dari semula 235 ribu ha. Namun, setelah diukur di lapangan oleh Dinas Kehutanan Riau, total luas ternyata berlebih karena mencapai 357 ribu hektar. Yang menjadi masalah lain karena sebagian areal perluasan PT RAPP masuk ke wilayah Kabupaten Indragiri Hulu. Menurut Zulkifli, pemerintah setempat tidak memberikan rekomendasi untuk termasuk dalam areal pencadangan. Selain itu, lebih dari 20.000 ha areal merupakan kawasan hutan produksi konversi yang tak boleh dijadikan kawasan HTI sebelum ada perubahan peruntukan. Ia mengaku tidak mau mengambil risiko yang dapat membuatnya tersangkut masalah hukum di kemudian hari. Apalagi, telah ada tiga mantan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau yang kini berstatus sebagai tersangka karena tersandung kasus pelepasan kawasan hutan untuk HTI. "Tapi kalau ini sudah keputusan pusat, apa daya saya?" katanya. Menuai Protes Kebijakan pelepasan hutan alam yang kontroversial itu akhirnya menimbulkan serangkaian aksi protes. Protes paling gencar dilakukan aktivis Greenpeace yang pada tahun ini melakukan aksi pemblokiran di properti milik PT RAPP di hutan rawa gambut Semenanjung Kampar dan pelabuhan ekspor IKPP, yang melibatkan puluhan pegiat lingkungan dari berbagai macam negara. Bahkan, Greenpeace juga berencana untuk menggugat Permenhut tentang penerbitan RKT oleh Dephut tersebut. Rangkaian protes juga dilakukan oleh warga di 13 desa terhadap pemberian zin HTI untuk PT Sumatera Riang Lestari (SRL), masih dari grup RAPP, di Pulau Rangsang, Kabupaten Meranti. Sebabnya, penebangan sekitar 1.000 ha hutan alam untuk kebun akasia dapat mengakibatkan Pulau Rangsang tenggelam. Karakteristik hutan yang berada di kawasan gambut, apabila dibuka dengan pembuatan kanal akan mengalirkan kandungan air juga melepas kandungan karbon sehingga permukaan tanah amblas. Namun, perusahaan tetap terus beroperasi karena merasa telah mengantongi rekomendasi bupati dan gubernur sehingga suara penolakan warga seakan senyap. Pakar Lingkungan dari Universitas Riau, Prof. Adnan Kasry menilai alih fungsi hutan di Provinsi Riau yang mayoritas berada di kawasan gambut, menjadi salah satu bukti untuk mempertanyakan kembali komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak pada pemanasan global. "Saat Presiden Yudhoyono terus menyuarakan komitmen untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan di berbagai forum internasional, kenyataannya kerusakan hutan alam dan kawasan gambut dalam skala besar terus terjadi," katanya. Ia menjelaskan, pendapatnya tersebut mengacu pada pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kerap menyuarakan komitmen bahwa Indonesia akan mereduksi emisi sebesar 26 persen pada 2020. Hal tersebut pertama diutarakan Presiden Yudhoyono pada saat pertemuan KTT G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, dan kembali disampaikan pada KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, awal Desember lalu. Ia mengatakan luas kawasan gambut di Riau diperkirakan mencapai 1,6 juta ha, dan termasuk nomor tiga yang terdalam dari kawasan gambut yang tersisa di Indonesia. Hal tersebut menjadikan hutan Riau memiliki keunikan karena menjadi cadangan karbon alami terbesar, yakni mencapai 76 persen. Namun, ia menilai kawasan cadangan karbon alami di Riau kini makin terancam musnah karena proses penerbitan izin alih fungsi hutan yang tidak transparan dan diduga kuat penuh manipulasi. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Bustar Maitar mengatakan pengelolaan sektor kehutanan selama tahun 2009 belum menunjukkan perbaikan dan tidak ada bedanya dengan pemerintahan presiden sebelumnya. "Kekeliruan yang kerap terjadi dan makin terbuka karena sektor kehutanan ditempati oleh orang-orang politik, dan diduga kuat hanya membuat sektor kehutanan menjadi mesin uang," kata Bustar. Bustar mengatakan harapan terhadap kepemimpinan baru di sektor kehutanan sempat tersirat saat Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang secara lisan meminta aktivitas RAPP di Semenanjung Kampar untuk dihentikan, sebagai respon dari aksi Greenpeace di kawasan hutan rawa gambut itu. Saat itu Menteri juga meminta agar dibentuk tim khusus yang langsung melakukan cek di lapangan. Namun, Bustar menyayangkan karena pernyataan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tidak diwujudkan di lapangan karena proses penanaman akasia di hutan Semenanjung Kampar terus berlanjut. Selain itu, ia juga menyayangkan bahwa tim yang diturunkan Dephut datang secara diam-diam dan tidak menyertakan kalangan independen seperti dari pemuka masyarakat dan LSM lingkungan lokal dalam tim tersebut. Bahkan, Greenpeace juga menilai kedatangan tim tersebut tidak independen karena mereka ternyata difasilitasi oleh perusahaan selama melakukan kerja. Karena itu, Bustar mengkhawatirkan pengelolaan sektor kehutanan di periode kedua pemerintahan Presiden Yudhoyono belum menunjukkan hasil, terutama dalam melaksanakan komitmen untuk mengurangi emisi GRK. Bahkan, ia juga menilai bahwa pembenahan sektor kehutanan di 100 hari masa pemerintahan Presiden Yudhoyono penuh dengan angka merah. "Saya pikir pengelolaan sektor kehutanan masih jauh dari profesional, apalagi berkelanjutan," ujarnya.