Indonesia Dililit Hutang, Ini Tanggapan Pengamat Ekonomi

id indonesia dililit, hutang ini, tanggapan pengamat ekonomi

Indonesia Dililit Hutang, Ini Tanggapan Pengamat Ekonomi

Pekanbaru (Antarariau.com) - Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas, Benny Dwika Leo Nanda berpendapat Indonesia bisa berhutang hanya dibawah tiga persen Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai Undang-undang Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003 untuk mencapai kesejahteraan.

"Untuk mencapai kesejahteraan kini sulit dilakukan pemerintah, ditambah susahnya sekarang mendapatkan sumber pinjaman luar negeri pada dan diprediksi kesulitan tersebut akan terus berlanjut," kata Benny dihubungi dari Riau, Senin.

Pendapat demikian disampaikannya terkait tindakan pemerintah melakukan pemangkasan anggaran belanja sebesar Rp50,6 triliun pada April 2016, dan Rp137,6 triliun pada Agustus 2016, dan ada kemungkian akan memotong untuk ketiga kalinya di akhir tahun jika program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak berhasil.

Menurut Benny, pemangkasan anggaran tersebut menimbulkan konsekwensi pemerintah terpaksa melakukan penghematan anggaran belanja negara pada berbagai sisi. Ini juga akan berdampak langsung kepada pendapatan negara, dan perolehan PDB Indonesia.

"Untuk meningkatkan pendapatan negara tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain menambah hutang luar negeri kendati kesejahteraan itu sulit dicapai. Jika kondisi ini tidak segera teratasi dimungkinkan suatu saat nanti pemerintah Indonesia terancam "default" seperti dialami Yunani tahun 2015," katanya.

Ia mengatakan, setiap belanja pemerintah dan pemerintah daerah, mempunyai dampak ganda (multiflier effect) terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah kerena banyak bidang usaha yang tergantung secara langsung dan tidak langsung terhadap belanja pemerintah.

"Di lain pihak kebutuhan konsumsi pemerintah masih tetap tinggi, sehingga memaksa pemerintah dan pemerintah daerah mencari pemasukan pendapatan negara dari sumber-sumber lain termasuk menaikan nilai pajak di dalam negeri,"katanya.

Namun akibatnya, katanya lagi, PDB Indonesia akan langsung turun drastis ketika masyarakat akan melakukan pengeremen atau menghentikan konsumsi secara mendadak. Ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan "stall" atau bahkan minus, dan rasio jumlah pinjaman dengan PDB melonjak dengan drastis.

Ia merujuk pada sepuluh tahun terakhir pemerintah RI memacu pertumbuhan PDB Indonesia, pada tahun 2006 PDB Indonesia berada pada 364 miliar dollar AS meningkat 2,5 kali lipat ke angka 917,76 milyar dollar tahun 2012. Namun setelah itu perlahan-lahan PDB menurun dan sampai ke angka 851,77 milyar dollar AS atau 93,9 persen pada tahun 2015.

"Pada saat itu untuk memacu PDB, Pemerintah menaikan gaji PNS, Polri, TNI dan pejabat negara setiap tahun, dan membagi uang tunai (BLT) kepada masyarakat. Akibatnya memang ekonomi tumbuh, produktifitas meningkat, dan hutang pemerintah, swasta, dan masyarakatpun bertambah. Sebagai bukti dampak kebijakan pemerintah dan keinginan untuk mencapai kesejahteraaan dalam waktu singkat,"katanya.

Namun hutang yang dibentuk pada zaman orde baru adalah investasi. Keadaan ini berubah menjadi kebutuhan akan konsumsi, masyarakat berlomba dominan membeli produk impor berteknologi tinggi. Neraca perdagangan dalam dan luar negeri Indoneisa mengalami defisit. Realisasi neraca anggaran belanja negarapun defisit dan semakin dalam.

"Naif memang kekurangan anggaran belanja masyarakat dan pemerintah tersebut ditutupi dengan berhutang,"katanya.

Sejalan dengan bertambahnya PDB, dan tumbuhnya ekonomi, inflasi menjadi tinggi. Bunga bank dalam negeripun menjadi tinggi, karena kebutuhan akan uang untuk konsumsi yang tinggi. Rupiah terdevaluasi terhadap dollar AS, harga barangpun meningkat. Mirisnya justru Pemerintah mendapat keuntungan semu dari peningkatkan pendapatan negara dari pajak.

Pada sisi lain justru masyarakat dan pemerintah masih tetap fokus terhadap konsumsi barang dan jasa ketimbang melakukan investasi untuk masa depan. Dunia pariwisata berkembang dengan pesat saat itu, namun lebih banyak berasal dari wisatawan domestik, akibatnya subsidi membengkak dan gaya hidup masyarakat berubah. Mereka tumbuh, hidup, dan berkembang dalam "kesejahteraan semu" saja.

"Kesejahteraan memang tercapai tapi dengan hutang dan menjual masa depan untuk kesejahteraan atau kenikmatan masa kini," katanya.