Oleh Endang Sukarelawati
Malang, (Antarariau.com) - Cabang olahraga sepak bola tidak pernah surut dari hiruk pikuk olahraga dunia, bahkan sampai kini masih menjadi olahraga rakyat yang mampu menjadi magnet luar biasa bagi pencintanya.
Tidak hanya di Tanah Air, di belahan dunia pun, sepak bola seolah menjadi cabang olahraga yang terus "meraksasa", dan klub-klub ternama dunia pun rela mengeluarkan dana fantastis hanya untuk membeli seorang pemain.
Namun, bagaimana dengan kondisi persepakbolaan di Tanah Air yang terus bergolak? Alih-alih membeli pemain mahal, justru sebaliknya, sejumlah klub, tak terkecuali klub-klub ternama harus berurusan dengan pemain yang gajinya masih belum terbayar hingga beberapa bulan karena klub tengah dirundung krisis finansial.
Tidak hanya finansial yang membuat banyak klub terpuruk. Masih relatif banyak hal yang membuat persepakbolaan di Tanah Air tak juga mampu menorehkan prestasi gemilang seperti beberapa puluh tahun silam, yang sempat mengenyam kerasnya persaingan di kancah Piala Dunia. Namun, kini masa kejayaan persepakbolaan di Tanah Air itu harus terkubur seiring dengan berjalannya waktu.
Bahkan, dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini, kompetisi resmi (reguler) seperti liga yang menjadi ajang bagi pemain untuk mengasah kemampuan, keterampilan, termasuk penghasilan untuk menghidupi keluarga juga harus dihentikan karena menumpuknya persoalan persepakbolaan yang tak kunjung tuntas. Akhirnya, manajemen klub maupun pemain yang harus memutar otak untuk menghasilkan uang demi tetap mengepulnya asap dapur.
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pada saat pembukaan Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) yang digelar di Malang lima tahun lalu, juga mengingingkan dunia sepak bola Indonesia bisa bangkit dan menjadi "Macan Asia". Alih-alih bisa menjadi Macan Asia, kondisi persepakbolaan di Tanah Air justru makin meruncing dan puncaknya pembekuan PSSI oleh FIFA.
Akan tetapi, secara perlahan pemain dan manajemen klub yang semula harus putar otak menghasilkan uang demi mengepulnya dapur, bahkan tak sedikit pemain profesional di liga tertinggi Indonesia (LSI) harus bermain antarkampung (tarkam), kini mulai ditinggalkan dan kembali merumput di ajang yang lebih baik, yakni turnamen resmi yang digelar oleh penyelenggara profesional meski bukan di bawah naungan PSSI.
Bergulirnya turnamen demi turnamen seolah memberikan harapan baru perkembangan dan keberlangsungan dunia sepak bola di Tanah Air. Sukses turnamen Piala Kemerdekaan yang diikuti sejumlah klub Divisi Utama menginspirasi banyak pihak untuk menghidupkan turnamen selama kompetisi resmi digulirkan.