Menunggu Kebangkitan Kinerja Sektor Properti Nasional
Sambungan dari hal 1 ...
Ia mencontohkan, di Manado juga direncanakan pembangunan proyek jaringan serat optik yang akan menjadikan Manado sebagai gerbang internasional kedua di Indonesia setelah Batam yang secara langsung akan menjadikan Sulut sebagai lokomotif kawasan teknologi informasi untuk kawasan Indonesia Timur.
Beragam rencana pembangunan tersebut, ujar dia, pada perkembangannya akan mengangkat sektor properti termasuk subsektor komersial, akomodasi, perdagangan, dan hunian.
"Belum lagi kawasan ekonomi khusus yang telah dicanangkan pemerintah untuk menggerakkan basis ekonomi di masing-masing wilayah," katanya.
Ali juga mengingatkan, harga tanah yang sudah terlalu tinggi di wilayah Jawa khususnya Jabodebek-Banten memberikan peluang bergesernya arah perkembangan properti ke wilayah lainnya.
Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia triwulan III-2015 mengindikasikan adanya perlambatan pertumbuhan harga properti residensial (bangunan untuk tempat tinggal) di pasar primer.
Hal tersebut tercermin dari Indeks Harga Properti Residensial pada triwulan III-2015 yang tumbuh sebesar 0,99 persen (qtq) atau 5,46 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat 1,38 persen (qtq) atau 5,95 persen (yoy).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, perlambatan pertumbuhan harga terjadi pada semua tipe rumah dengan perlambatan terbesar terjadi pada rumah tipe kecil (1,02 persen, qtq).
"Melambatnya kenaikan harga diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan IV-2015," ujar Tirta di Jakarta, Rabu (11/11).
Pelambatan kinerja properti juga tercermin dari pertumbuhan penjualan properti residensial pada triwulan III-2015 yang sebesar 7,66 persen (qtq), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 10,84 persen (qtq).
Pelambatan penjualan terutama terjadi pada rumah tipe besar. Menurut Tirta, perkembangan tersebut sejalan dengan melambatnya pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR).
Hasil survei juga menunjukkan bahwa pembiayaan pembangunan properti residensial masih bersumber dari dana internal pengembang. Sebagian besar pengembang (59,33 persen) menggunakan dana sendiri sebagai sumber pembiayaan usahanya. Sementara itu, sumber pembiayaan konsumen untuk membeli properti masih didominasi oleh pembiayaan perbankan (KPR).
"Sebanyak 75,5 persen responden masih memanfaatkan KPR sebagai fasilitas pembiayaan dalam pembelian properti residensial, khususnya pada rumah tipe kecil," kata Tirta.
Optimistis
Sejumlah korporasi seperti PT PP Properti Tbk juga tetap optimistis seperti menargetkan pendapatan prapenjualan (marketing sales) pada tahun 2015 ini mencapai Rp2 triliun atau naik 58 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp1,3 triliun.
"Target itu didukung oleh positifnya hasil pemasaran dalam sembilan bulan terakhir ini. Hingga kuartal III 2015 pendapatan prapenjualan mencapai Rp1,2 triliun. Angka tersebut lebih tinggi 45 persen secara tahunan," ujar Direktur Utama PP Properti Tbk Taufik Hidayat di Jakarta, Selasa (10/11).
Ia menambahkan bahwa pada tahun 2016 mendatang, perseroan memproyeksikan pendapatan prapenjualan sebesar Rp2,6 triliun dengan mengandalkan sejumlah proyek untuk memperoleh target itu.
Begitu pula hanya dengan perbankan, seperti Bank Central Asia (BCA) yang akan tetap fokus pada segmen "secondary" kredit pemilikan rumah atau KPR seiring dengan prospek properti pada 2016 mendatang masih positif.
"BCA fokus pada "secondary" KPR. BCA punya target pasar KPR agak berbeda, BCA juga tidak banyak di kredit pemilikan apartemen (KPA), tetapi "landed house" dan kami merasa prospek tetap akan baik di 2016 mendatang," ujar Wakil Direktur BCA Eugene Keith Galbraith di Jakarta, Senin (9/11).
Ia mengemukakan bahwa setiap bulannya jumlah "run off" atau pengurangan "oustanding" karena pelunasan atau pembayaran angsuran oleh nasabah mencapai Rp1,3 triliun atau Rp15 triliun dalam satu tahun. "Outstanding KPR BCA saat ini sekitar Rp40 triliun-Rp45 triliun," paparnya.
Meski prospek ekonomi 2016 membaik, Eugene Keith Galbraith mengatakan bahwa perseroan tidak akan menurunkan rasio pencadangan untuk tetap menjaga kehati-hatian dalam penyaluran pinjaman karena kondisi global yang masih bergejolak hingga tahun depan.
Menurut dia, menjaga rasio provisi sangat penting di masa mendatang, karena global masih akan penuh dengan tantangan, dan perseroan akan terus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghadapi tantangan itu.
Dalam membantu meningkatkan kinerja properti nasional, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch mengatakan bahwa penurunan tingkat suku bunga acuan oleh Bank Indonesia diharapkan bakal membantu menggairahkan kembali sektor properti.
"Kondisi (sektor perumahan) ini akan semakin baik bila Bank Indonesia menurunkan BI Rate untuk mendorong sektor properti," kata Ali Tranghanda.
Menurut dia, meski diprediksi secara umum pasar properti akan bergerak naik pada semester II tahun 2016 mendatang, tetapi kenaikan itu dinilai tidak bakal setinggi periode 2009-2012.
Ia mengemukakan, pengamatan di lapangan memperlihatkan gairah perbankan dalam melakukan akad kredit dan umumnya didominasi segmen menengah sampai bawah.
"Optimisme pasar properti dan pergerakan pasar ini akan dipertaruhkan di tahun 2016," katanya.
Peneliti ekonomi LIPI Agus Eko Nugroho menilai pelonggaran moneter melalui penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia belum tentu akan mendorong ekspansi dunia usaha dan perekonomian karena industri perbankan menganggap konsumsi domestik masih lesu.
Menurut Agus di Jakarta, Senin (9/11), meskipun "BI Rate" turun, perbankan masih sulit menurunkan suku bunga kredit karena data ekonomi terkini menunjukkan peningkatan tingkat pengangguran terbuka dan masih lemahnya kinerja ekspor.
"Bunga deposito mungkin akan terdampak dari "BI Rate", namun untuk bunga kredit, perbankan masih lihat risiko dan potensi profitnya," ucapnya.