Saatnya Kecilkan Keran Impor Gula Rafinasi

id saatnya kecilkan keran impor gula rafinasi

Saatnya Kecilkan Keran Impor Gula Rafinasi

Oleh Juwita Trisna Rahayu

Jakarta, (Antarariau.com) - Ketersediaan gula dalam negeri sudah cukup banyak diguyur oleh gula impor, terutama gula kristal rafinasi.

Terlalu besar dibukanya keran impor mengakibatkan gula yang harusnya untuk industri makanan dan minuman, bocor hingga ke pasar konsumsi rumah tangga.

Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia sebelum dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo, impor gula 2014 mencapai 3,7 juta ton, sementara produksi mencapai 2,6 juta ton dan kebutuhan gula domestik termasuk untuk industri 5,7 juta ton.

Neraca perdagangan gula 2014 juga mengalami defisit pada 2014, yakni 1,8 miliar dolar AS, lebih tinggi dari 2013, yakni 1,7 dolar AS.

Saat ini pabrik gula rafinasi berjumlah 11 unit dengan kapasitas industri 4,3 juta ton dan produksi gula rafinasi tiga juta ton.

Kemendag mengungkapkan kebutuhan gula nasional 2015 masih kekurangan 3,5 juta ton artinya perkiraan kebutuhan nasional 2015 adalah 5,3 juta ton.

Kebutuhan tersebut, di antaranya kebutuhan konsumsi langsung GKP (rumah tangga) nasional 2,8 juta ton, industri makanan dan minuman (bahan baku) nasional 3,1 juta ton dan kebutuhan industri MSG dan konsumsi industri khusus (farmasi dan lainnya) 307 ribu ton.

Direktur Impor Kemendag Thamrin Latuconsina menuturkan tujuan kebijakan impor adalah mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula, meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan menjaga pasokan gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari impor.

"Kebutuhan gula, terutama "raw sugar" (gula mentah) sebagai bahan baku industri belum dapat terpenuhi dari sumber produksi dalam negeri," katanya.

Produktivitas tebu Indonesia cukup rendah, hanya 72 ton per hektare, masih jauh dari potensinya 120 ton tebu per hektar

Total areal luas usaha tani dan perkebunan tebu sekitar 450 ribu hektar, dilaksanakan oleh ratusan ribu petani dan 13 perusahaan dengan 62 pabrik gula dengan mayoritas terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera, khususnya Provinsi Lampung.

Rata-rata rendemen industri gula Indonesia masih 7,2 persen, cukup jauh dari potensi aktualnya sembilan persen.

Akibatnya, dari 65 pabrik gula di Indonesia kapasitas 205 ribu ton tebu per hari (TCD), produktivitas gula di Indonesia 5,2 ton gula per hektar, amat jauh dari potensinya 10 ton gula per hektare.

Selain itu, Thamrin menyebutkan permasalahan lain adalah berkurangnya lahan tebu dan tidak tersedianya varietas bibit unggul tebu serta kondisi beberapa pabrik gula berbasis tebu milik BUMN yang sudah tidak optimal yang menyebabkan inefisiensi produksi (mesin berusia lebih dari 100 tahun, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah serta banyaknya rembesan gula kristal rafinasi ke pasar gula kristal putih.

Tindak Tegas

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil sangat mendukung pembatasan impor gula rafinasi yang seringkali bocor ke pasar konsumsi.

"Ada 11 pabrik gula rafinasi itu bukan lagi industri makanan dan minuman, tapi mesin penggulung petani gula dalam negeri," katanya.

Arum menyebutkan kebutuhan dalam negeri sebanyak 2,2 juta ton, namun izin impor mencapai lima juta ton, artinya ada kelebihan tiga juta ton.

"Yang cukup menyedihkan, mengapa pemerintah memberikan izin gula rafinasi berbahan dasar gula mentah impor di atas lima juta ton. Ini yang menyebabkan keterpurukan harga gula dalam negeri," katanya.

Untuk itu, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan harus dilaksanakan, yakni penyimpangan tata niaga gula diberikan sanksi tindak pidana ekonomi.

"Kepres itu dasarnya Perppu Nomor 8 Tahun 1962 dan diatur dalam Perppu Nomor 21 Tahun 1959, sanksinya dua penjara seumur hidup atau hukuman mati," katanya.

Dia berharap undang-undang tersebut ditegakkan, sehingga tidak ada lagi indikasi importir ilegal atau bersengkongkol yang tidak mendapatkan izin resmi Kemendag.

Dalam aturan Kemendag, lanjut dia, importir gula mentah untuk kepentingan gula rafinasi adalah produsen yang sudah memiliki kontrak terhadap industri makanan dan minuman, selain itu dilarang melakukan impor tersebut.

"Jangan sampai kita menemukan indikasi penyimpangan terhadap tata niaga baik di dalam negeri maupun di dalam negeri," katanya.

Pasalnya, indikasi konspirasi atau importir ilegal pernah ia temukan pada 2004, namun tidak ada tindakan hukum yang mengenainya.

"Kalau di balik itu ternyata ada "under employees" pasti ilegal, artinya butuh pengawasan yang ketat dan tak ada persekongkolan," katanya.

Revitalisasi pabrik

Selain memasang mata terhadap parktik-praktik impor ilegal, Arum juga meminta pemerintah untuk merevitalisasi pabrik-pabrik gula yang sudah menginjak usia senja.

"Kalau pabrik dibenahi dengan baik dengan kapasitas terpasang saya yakin tiga hingga empat tahun ke depan swasembada gula tercapai," katanya.

Ia meyakini pembangunan atau revitalisasi pabrik sebagai penambahan kapasitas memang diperlukan untuk meningkatkan produksi sesuai dengan gagasan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yakni 100 ribu per hektare dan 10 persen rendemen.

"Untuk mencapai swasembada kan harus meningkatkan kapasitas, kapasitas saat ini baru 213 ton cane per day kalau "full capacity" bisa menghasilkan 2,8 juta ton," ujarnya.

Berdasarkan data Kemendag terkait jumlah pabrik gula tebu berdasarkan kelompok umur, paling banyak ditemukan, yakni pabrik-pabrik tua berumur 100-184 tahun yang mencapai 40 pabrik (64,5 persen).

Pabrik berumur 50-99 terdapat tiga pabrik (4,8 persen), umur 25-49 terdapat 14 pabrik (22,6 persen) dan kurang dari 25 tahun hanya lima pabrik (8,1 persen).

Dari sisi kapasitas giling, sebagian besar pabrik memiliki kapasitas giling dari 2.000-4.000 TCD, yakni sebanyak 29 pabrik disusul oleh 14 pabrik berkapasitas kurang 2.000 TCD, sembilan pabrik berkapasitas 6.000-8.000 TCD, lima pabrik (4.000-6.000)TCD, tiga pabrik lebih dari 10.000 TCD dan dua pabrik (8.000-10.000) TCD.

Jadi, total kapasitas giling dari 62 pabrik tersebut adalah 241.676 TCD dengan rata-rata kapasitas 3.898 TCD per pabrik.

Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan, Thailand memiliki 51 pabrik gula dengan total kapasitas giling 940 ribu TCD rata-rata 18.431 TCD per pabrik, Australia 24 pabrik gula dengan total kapasitas giling 480 ribu TCD rata-rata kapasitas 25.000 TCD per pabrik dan India 684 pabrik gula dengan total kapasitas giling 3,42 juta TCD rata-rata kapasitas 5.000 TCD per pabrik.

Namun, Arum menambahkan bukan hanya membangun pabrik untuk menggenjot produksi, melainkan juga diperlukan perluasan lahan.

Arum mencontohkan dengan kondisi riil saat ini, yakni total lahan tebu seluas 470.000 hektar, masih perlu ditambah 300.000 hektare menjadi 750.000 hektare.

Selain itu, rendemen ditingkatkan menjadi 10 persen dari rata-rata hanya tujuh persen, produktivitas tebu dari 75-80 ton per hektar tingkatkan menjadi 100 ton per hektar.

"Kalau ini dilakukan maka dalam waktu tiga sampai tahun dengan produksi rata-rata 100 ton per hektar kita hasilkan gula 7,5 juta ton dan itu cukup," katanya.

Lintas sektor

Pakar Pertanian Universitas Negeri Lampung Bustanul Arifin menilai strategi pengembangan industri gula nasional melibatkan banyak pemangku kepentingan, maka langkah yang harus ditempuh perlu dilakukan secara lintas sektor.

"Opsi strategi yang saya tawarkan, yakni "lose-lose" solution atau kalah-mengalah karena industri gula nasional ini melibatkan banyak pemangku kepentingan, salah satunya Kementerian Perdagangan tidak harus terburu-buru memberikan izin baru untuk menambah volume impor gula rafinasi," katanya.

Menurut dia, walaupun secara administrasi tidak ada peraturan yang dilanggar, impor gula rafinasi yang berlebihan ditambah persoalan struktur dan inefisiensi para industri gula telah mengganggu ekonomi industri gula nasional.

"Selain itu juga dipicu oleh rendahnya harga gula di dalam negeri, yang juga disebabkan oleh merosotnya harga gula di pasar dunia, yang seakan insentif khusus peningkatan impor ke Indonesia," katanya.

Dia juga meminta kepada Kementerian Perindustrian untuk lebih mempertimbangkan kapasitas industri gula rafinasi.

"Setidaknya untuk mendukung strategi besar dalam pengembangan industri makanan dan minuman yang selama ini menjadi salah satu andalan industri argo," katanya.

Bustanul juga menyarankan kepada Kementerian Pertanian untuk lebih fokus pada realisasi program-program nyata di lapangan, seperti aplikasi teknologi produksi, teknik budidaya, sampai pembongkaran "ratoon" yang kadang cukup pelik dilaksanakan.

Dia menambahkan, pelaku usaha juga turut serta membahas jalan keluar tersebut secara integratif melalui beberapa asosiasi gula dan sosiasi petani tebu di seluruh Indonesia.

"Kementan enggak usah harus buat rekomendasi-rekomendasi baru, yang penting itu untuk kemudahan lahan baru yang masih terbentur pembebasan tanah," katanya.

Opsi kedua, lanjut dia, yakni pembenahan tata niaga gula dan peta jalan pengembangan industri nasional yang juga perlu dukungan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk membereskan kekuatan industri gula nasional.

"Sekarang saat yang laing tepat untuk segera menata ulang kebijakan perdagangan gula, mengintegrasikannya dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 dan Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) Jangka Panjang 2015-2045," katanya.

Bustanul mengatakan Kementerian Perdagangan perlu membentuk gugus tugas tetap yang mampu menyambungkan perencanaan perdagangan dengan rencana produksi, pengembangan budidaya dan peremajaan kebun tebu dari Kementerian Pertanian dan rencana pengembangan industri gula dari Kementerian Perindustrian.

"Pemerintah telah gencar menargetkan swasembada padi, jagung dan kedelai dalam tiga tahun, swasembada gula seolah dilupakan, hanya sayup-sayup menyebut target empat atau lima tahun," katanya.

Ia juga meminta pemerintah pusat lebih serius memfasilitasi pengembangan industri gula swasta yang terintegrasi dari tingkat kebun tebu ke tingkat pabrik gula tanpa harus mencari alasan sulitnya pembebasan lahan.

Bangun pabrik

Di sisi lain, pemerintah telah menjanjikan akan membangun 10 pabrik gula untuk meningkatkan produksi gula hingga mencapai target pertumbuhan produksi delapan persen pada 2019.

Staf Khusus Menteri BUMN Sahala Lumban Gaol mengatakan pembangunan 10 pabrik gula direncanakan dua hingga tiga tahun mendatang.

Karena itu, lanjut dia, selagi merencanakan pembangunan pabrik gula baru, pemerintah akan melakukan revitalisasi pabrik gula yang dirasa lebih cepat pengerjaannya.

"Dua-duanya arahnya ke sana bagaimana meningkatkan produktivitas apakah kita revitalisasi atau bangun 10 pabrik lalu.

Sahala mengatakan saat ini pihaknya masih merencanakan skema pabrik tersebut seluruhnya berstatus BUMN.

Dia mengatakan dengan demikian, target produksi 10.000 ton can per day (TCD) bisa dicapai pada 2019 yang saat ini hanya mencapai 6.000 TCD.

"Tapi, revitalisasi prioritas pertama kita sebelum membangun pabrik gula. Kita juga dorong petani untuk memakai bibit unggul, meningkatkan produktivitas, sehingga menghasilkan produk yang berkualitas berdaya saing global dan memenuhi kebutuhan dalam negeri," katanya.

Ke depannya, dia menargetkan bisa tercapai swasembada gula hingga tiga atau empat tahun ke depan.