Rasionalitas Alam Dan Teknis Dalam Kelangkaan Beras

id rasionalitas alam, dan teknis, dalam kelangkaan beras

Rasionalitas Alam Dan Teknis Dalam Kelangkaan Beras

Oleh Roy Rosa Bachtiar

Jakarta, (Antarariau.com) - Kelangkaan beras yang terjadi pada beberapa bulan belakangan yang dicurigai akibat adanya ulah manusia ternyata disanggah oleh sejumlah pengamat dan ahli pertanian di negeri ini.

Mereka menganggap apa yang terjadi saat ini pada komoditas bahan pangan tersebut murni karena faktor alam atau teknis, sehingga berakibat pada kenaikan beras sekitar 10-30 persen di berbagai daerah.

Pengamat pertanian Khudori mengatakan kenaikan harga beras saat ini lebih diakibatkan oleh faktor alam yang menyebabkan mundurnya jadwal panen raya di Indonesia.

"Mestinya Februari hingga Mei kita sudah panen raya, tapi karena hujan datang terlambat, jadwal tanam-panen ikut mundur sekitar satu hingga 1,5 bulan. Musim pacekliknya lebih lama," tutur Khudori, ketika ditemui dalam konferensi pers.

Menurut dia, dengan timbulnya kelangkaan beras sebagai dampak keterlambatan jadwal panen maka harga komoditas tersebut pun ikut merangkak naik.

Padahal, jika panen raya tahun ini dapat berlangsung normal, bisa menghasilkan 65 persen stok beras dari hasil produksi tahunan di Indonesia, ujarnya.

Dia menyayangkan peran pemerintah yang dianggap kurang siap dengan kondisi tersebut, dan tidak melakukan suatu tindakan antisipatif sebelumnya.

Dari hasil pengamatannya, diketahui bahwa jumlah beras yang masuk ke Pasar Induk Cipinang hanya 1.500 ton/hari, padahal pada kondisi normal semestinya mencapai 3.000 ton.

"Penurunan produksinya luar biasa, jadi sesuai hukum "supply and demand" otomatis harga berasnya naik," ucapnya, mencontohkan.

Penghapusan Raskin

Selain itu, terkait wacana penggantian raskin (Beras Miskin) dengan "e-money" juga ikut menyumbangkan dampak terhadap kenaikan harga beras.

Raskin menjadi sandaran hidup bagi 15,5 juta rakyat miskin di Indonesia, dan ketika program tersebut dihilangkan maka masyarakat akan beralih ke pasar, yang berujung pada meningkatnya tekanan eskalasi harga beras, tukas Khudori.

Sependapat dengan hal itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) berpendapat, jika program dihapus raskin akan berdampak buruk pada stabilitas harga beras nasional.

"Penggantian insentif raskin agar digantikan e-money bisa berdampak buruk karena pada dasarnya beras adalah komoditas sensitif di negara ini," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI Herman Khaeron di Jakarta.

Menurut dia, akibat pernyataan yang diumumkan pemerintah tersebut, pelaku bisnis akan menahan stok hingga raskin benar-benar hilang dari pasar dan kemudian akan memainkan harga beras.

Oleh karenanya pemerintah harus lebih bijak dalam mengumumkan sebuah isu kebijakan, karena efeknya akan berimplikasi pada banyak bidang dan pihak yang paling merasakan akibatnya adalah masyarakat.

Lebih lanjut, Badan Urusan Logistik (Bulog) diimbau agar menjalankan peran vitalnya sebagai stabilisator yang mampu menjaga keseimbangan harga beras di lapangan.

"Di waktu panen, Bulog bisa menjadi pintu masuk bagi petani. Namun saat tertentu, Bulog bisa berperan sebagai penyeimbang harga beras. Perannya sangat sentral untuk menjaga stok dan harga," imbuhnya.

Sementara itu, pengamat pertanian IPB Arif Satria mengatakan, program Rraskin yang telah berjalan sejak 2003 itu efektif dalam mengendalikan inflasi dan mampu menjamin ketersediaan pasar bagi petani lokal.

"Apabila raskin dihapus maka bukan hanya ancaman inflasi yang akan terjadi, tapi juga masalah besar bagi petani karena masyarakat bisa bebas membeli beras apa pun dengan e-money", tukas Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB itu.

Arif juga berpendapat, jika pemerintah resmi menghapuskan raskin maka petani harus bersaing dengan produk luar saat MEA, sekaligus menghilangkan peran Bulog sebagai stabilisator harga.

Oleh sebab itu, layak rasanya jika pemerintah tetap mempertahankan raskin sebagai mekanisme perlindungan bagi petani dan masyarakat miskin dalam menghadapi MEA.

Lambatnya Administrasi

Selain dua faktor tersebut, masih terdapat satu permasalahan pada aspek administrasi, sehingga turut memperparah kondisi kelangkaan beras di tengah masyarakat.

Arif berpendapat Bulog tidak bisa disalahkan dalam kasus ini. Kelangkaan beras ini murni akibat keterlambatan, mengingat stok untuk bulan November-Desember 2014 sudah ditarik sejak pertengahan tahun.

Dia menjelaskan, kondisi tersebut terjadi akibat lambatnya proses pengesahan Surat Permohonan Alokasi (SPA) Raskin dari sejumlah pemerintah daerah.

Arif kembali mengingatkan, pemda enggan mengeluarkan SPA akibat adanya wacana perubahan raskin dengan e-money dan verifikasi ulang Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM).

"Seharusnya tidak perlu menunggu SPA. Cukup sambil dilakukan verifikasi ulang, penyaluran beras juga dijalankan. Pemda juga serba takut mengeluarkan SPA itu," ucap Arif lagi.

Salah seorang staf Bulog menyampaikan bahwa penyaluran beras yang terlambat dilakukan dalam beberapa bulan terakhir disebabkan adanya verifikasi SPA yang belum selesai dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah.

"Bulog bisa membagikan beras sehari setelah diberikan perintah, tapi ada keterlambatan SPA oleh sejumlah Pemda. Semestinya SPA kita terima setiap awal bulan," kata Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog Leli Pritasari Subekti.

Akibat dari keterlambatan tersebut, katanya, Bulog belum bisa menyalurkan 300.000 ton beras untuk memenuhi kebutuhan di pasar nasional dalam satu hari.

Dia menjelaskan, keterlambatan verifikasi yang dimaksud ialah masalah administrasi dan pendataan RTSPM.

"Verifikasi ini dilakukan mulai dari tingkat desa, naik ke kecamatan, dan seterusnya hingga ke tingkat pusat," ujar Leli, menjelaskan.

Menurut dia, akibat adanya pengumuman kebijakan penggantian Raskin dengan e-money, menimbulkan keragu-raguan pada Pemda ketika melakukan verifikasi data RTSPM.

"Jika Bulog mengeluarkan beras dari gudang tanpa ada SPA khusus Raskin dan perintah dari Menteri Perdagangan, justru kami yang salah. Karena semua harus berdasarkan perhitungan kebutuhan," tukas Leli.