Pekanbaru, (Antarariau.com) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Kerinci memvonis bersalah terhadap perusahaan kelapa sawit Malaysia PT Adei Plantation and Industry dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tahun 2013 di Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Achmad Hananto, pengadilan menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp1,5 miliar kepada anak perusahaan grup Kuala Lumpur Kepong (KLK) yang bermarkas di Malaysia itu.
Selain itu, perusahaan juga dikenakan pidana tambahan sebesar Rp15 miliar untuk pemulihkan kerusakan lingkungan akibat kebakaran seluas sekitar 40 hektare di daerah Desa Batang Nilo Kecil, Kabupaten Pelalawan.
Sedangkan, pada sidang yang berbeda untuk perkara yang sama dengan terdakwa Danesuvaran selaku General Manager PT Adei, Majelis Hakim menjatuhkan vonis bersalah dengan hukuman satu tahun penjara, denda Rp2 miliar subsider dua bulan kurungan. Namun, Danesuvaran tidak ditahan meski telah diputus bersalah.
Dalam sidang dengan terdakwa korporasi, pihak perusahaan diwakili oleh Tan Kei Yoong selaku Regional Director PT Adei.
Hakim Achmad Hananto menyatakan PT Adei terbukti bersalah karena melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan, sesuai dengan dakwaan Pasal 99 ayat 1 Undang-Undang (UU) No.32/2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun, hakim menilai dakwaan Pasal 98 ayat 1 UU Lingkungan Hidup terkait unsur kesengajaan oleh perusahaan dalam melakukan pembakaran tidak terbukti. Hakim menilai dalam persidangan didapatkan fakta dari saksi bahwa kebakaran berasal dari lahan yang dikuasai oleh warga lalu merambat ke lahan produktif perusahaan di blok 19, 20, dan 21.
"Unsur melakukan dengan sengaja dibakar tidak kuat," katanya.
Tidak Ditahan
Dalam persidangan dengan terdakwa General Manager PT Adei Danesuvaran, Majelis Hakim yang diketuai oleh Donovan Pendapotan juga menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 99 ayat 1 UU Lingkungan Hidup karena malakukan kelalaian.
"Terdakwa lalai menjaga lahan daerah aliran sungai yang merupakan areal konservasi. Harusnya terdakwa aktif mengontrol jangan sampai digarap pihak ketiga," kata Donovan.
Hanya saja, hakim dalam pertimbangkannya menilai unsur kebakaran yang mengakibatkan polusi udara melampaui baku mutu ambien tidak bisa terpenuhi. Alasannya, rumus "seiler dancrutzen" yang digunakan oleh saksi ahli Prof Bambang Hero ahli kebakaran hutan dan lahan untuk menghitung baku mutu ambien masih diperdebatkan dan karena hal tersebut ilmiah, maka hakim tidak bisa putuskan mana yang benar dan salah.
Selain itu, hakim juga menyatakan unsur dakwaan bahwa terdakwa dengan sengaja melakukan pembakaran lahan tidak terpenuhi karena dalam fakta persidangan dapat dibuktikan bahwa PT Adei memiliki menara pemantau api, membeli peralatan tambahan agar pemadaman lebih cepat dilakukan, dan punya sistem "zero burning" dalam operasionalnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan mengajukan banding ke Mahkamah Agung terhadap putusan terhadap . Sebabnya, putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan JPU yang menuntut terdakwa Danesuvaran dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp5 miliar.
"Kita banding," tegas JPU Banu Laksmana.
Hanya saja, terpidana Danesuvaran terlihat tidak langsung ditahan meski diputus bersalah. JPU Banu mengatakan Danesuvaran baru akan ditahan ketika proses hukum sudah mengikat "incracht" setelah ada hasil putusan banding dari Mahkamah Agung.
"Kita menunggu sidang putusan dari MA. Kalau sudah ada putusan baru incracht dan bisa ditahan," kata Banu kepada wartawan.
Sementara itu, pihak PT Adei menyatakan pikir-pikir terhadap putusan pengadilan.