Hidangan cacing laut nan autentik dari Lombok, NTB

id Berita hari ini, berita riau antara,cacing laut

Hidangan cacing laut nan autentik dari Lombok, NTB

Seorang warga memasak gulai nyale di Desa Pengembur, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Selasa (18/2/2025). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Lombok Tengah (ANTARA) - "Ini ada nyale panjang dan banyak," celetuk Arsyad Wijaya, sembari memperlihatkan cacing laut berwarna merah jambu kepada cucu perempuannya yang kegirangan bergelantungan di lengan kiri.

Pria berusia 51 tahun itu berjalan perlahan di atas pasir dengan kondisi air laut yang perlahan surut menjauhi bibir pantai. Dia memasang mata jeli mengamati setiap pergerakan nyale yang berenang lincah di permukaan laut menggunakan sorot lampu senter.

Arsyad yang pertama kali menangkap nyale pada tahun 1995 tersebut mengatakan warga hanya menangkap nyale yang berukuran sekitar 20-50 sentimeter, sedangkan cacing laut pendek dan berwarna agak transparan yang disebut nyale aik dibiarkan begitu saja, tidak ditangkap karena jenis itu mudah rusak.

Pada 18 Februari 2025, saat langit mulai tampak kemerahan di ufuk timur, ribuan orang menyemut di Pantai Tampah yang berlokasi di Desa Mekarsari, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Mereka sibuk menangkapi cacing laut menggunakan sorok atau jaring kecil untuk kemudian diolah menjadi berbagai hidangan. Nyale yang muncul setahun sekali adalah kuliner istimewa bagi sebagian besar penduduk di wilayah selatan Pulau Lombok.

Kegiatan menangkap cacing laut (Bahasa Sasak, bau nyale) merupakan suatu pesta rakyat yang dilakukan secara beramai-ramai. Aktivitas berburu nyale dilakukan pada tanggal 19 dan 20 setiap bulan ke-10 dalam kalender Sasak, biasanya Februari atau Maret pada kalender masehi.

Pada 2025, kegiatan menangkap nyale dilakukan pada 18 dan 19 Februari. Setiap tiga tahun sekali, cacing laut itu muncul ke permukaan laut sebanyak dua kali pada bulan 10 dan 11 kalender Sasak. Kemunculan nyale ganda dua kali setahun diproyeksikan terjadi pada tahun 2026.

Bila tidak sempat berburu nyale saat fajar, warga bisa membelinya di pasar-pasar tradisional dengan harga Rp50 ribu untuk satu toples ukuran sekitar 250 gram. Kemunculan setahun sekali itulah yang membuat harga nyale jauh lebih mahal ketimbang panganan protein lain, seperti daging sapi, ayam, dan ikan.

Rempah sederhana

Abdul Manaf (58 tahun) berjalan terhuyung di atas pasir halus berwarna krem di Pantai Tampah. Pria yang memakai kaos berkerah itu tampak lesu karena hasil tangkapan nyale hari itu hanya sekitar 100 gram.

Manaf berburu nyale secukupnya untuk mengobati rasa rindu terhadap kuliner legendaris cacing laut tersebut. Olahan favoritnya adalah nyale pes yang dimasak tanpa bumbu, hanya dibungkus daun kelapa atau daun pisang, kemudian dipanggang sampai kering.

Penduduk suku Sasak di wilayah selatan Pulau Lombok mengolah nyale dengan rempah sederhana, yakni bawang merah, bawang putih, dan cabai. Tidak ada rempah lain, seperti jahe, lengkuas, kunyit, daun salam, atau serai yang dipakai saat memasak nyale.

Rempah sederhana itu membuat rasa nyale tetap terasa gurih dan punya aroma terumbu karang yang begitu kuat tercium. Peralatan memasak nyale dibasuh di pintu air yang mengarah langsung ke sawah agar menyuburkan tanaman padi.

Nyale sebanyak satu kilogram bila ingin dimasak gulai hanya butuh santan dari satu butir kelapa, bawang merah dan bawang putih sekitar seperempat kilogram, dan cabai. Semua bumbu itu diiris, lalu ditumis hingga harum.

Setelah tumisan rempah matang, lalu dimasukkan santan kelapa dan diaduk satu arah agar kuah tidak pecah saat dimasak. Jika kuah sudah mendidih, nyale beserta garam dan vetsin dimasukkan. Proses menggulai nyale hanya butuh waktu sekitar 30 menit dan tanda nyale matang adalah warnanya berubah hitam.

Jika ingin membuat nyale goreng, maka nyale harus terlebih dahulu digulai. Gulai nyale itulah yang digoreng sampai garing di atas wajan tanpa minyak. Olahan nyale dimakan bersama nasi dan sambal bawang.

Menurut Lalu Wacana, dalam buku bertajuk "Nyale di Lombok" yang terbit tahun 1982 mengungkapkan beberapa orang mengolah nyale menjadi masin untuk bahan bumbu masak. Fungsinya sebagai pengganti terasi dalam masakan.

Nyale yang baru ditangkap dimasukkan ke dalam bumbung bambu. Besar bumbung beragam yang kalau diisi air volumenya antara 3 sampai 5 liter. Bumbung diisi nyale sampai sepersembilan bagian.

Bumbung yang berisi lima liter air digarami dengan kurang lebih setengah kilogram. Setelah itu ditutup rapat dan dilak dengan kapur sirih. Olahan masin mampu bertahan hingga bertahun-tahun.

Penganan nyale biasanya dijadikan lauk-pauk dalam acara selamatan yang diadakan bagi keluarga, usai kegiatan penangkapan nyale. Setiap keluarga menggelar selamatan kecil dengan memasak nyale sebagai lauk-pauk utama.

Nyale bukan sekadar makanan, melainkan berfungsi pula sebagai kelengkapan acara selamatan dan pupuk penyubur tanaman. Olahan nyale selalu dirindukan oleh penduduk suku Sasak yang mendiami wilayah selatan Pulau Lombok.

Sumber protein

Nyale merupakan cacing laut yang masuk ke dalam kelas polychaeta. Hewan laut bernama latin Eunice viridis itu punya warna beragam, seperti merah, hijau, cokelat, kuning, maupun putih.

Warna nyale dipengaruhi oleh warna alga atau ganggang yang menjadi makanan utama mereka. Keberadaan nyale berfungsi sebagai pengendali ledakan populasi alga di dalam sebuah ekosistem perairan laut.

Sejumlah warga sedang menangkap nyale yang mengambang ke permukaan laut untuk melakukan pemijahan di Pantai Tampah yang berlokasi di Desa Mekarsari, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Selasa (18/2/2025). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Pada 2020, Universitas Muhammadiyah Mataram pernah melakukan uji kuantitatif kandungan protein menggunakan metode kjeldahl terhadap nyale yang berada di kawasan Pantai Kuta, Lombok Tengah.

Hasil penelitian ilmiah yang dilakukan Suhardatan Hani tersebut menyimpulkan bahwa rata-rata kandungan protein nyale yang berada di Pantai Kuta sebesar 37,38 persen.

Jumlah protein melimpah itulah yang membuat tidak semua orang bisa memakan nyale. Alergi yang dialami setiap orang beragam, mulai dari kulit gatal, diare, hingga badan terasa panas.

Kegiatan perburuan yang tidak terkendali dapat mengancam populasi nyale. Meskipun bisa menjadi sumber pangan alternatif yang kaya protein, masyarakat harus bijaksana menangkap nyale agar populasi alga tetap terkendali dan tidak menimbulkan masalah lingkungan di masa depan.

Editor: Masuki M. Astro