Wisata Religi Ke Masjid Air Tiris Kampar

id wisata religi, ke masjid, air tiris kampar

Wisata Religi Ke Masjid Air Tiris Kampar

Masjid Jami Air Tiris di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, kelihatannya sangat kontras dengan beragam bangunan modern di sekelilingnya.

Bangunan berkonstruksi rumah panggung dengan dinding seluruhnya terbuat dari kayu terlihat coklat berkilat-kilat bermandikan sinar mentari saat adzan Ashar berkumandang di hari keempat puasa Ramadhan 1435 Hijriah.

Para jamaah langsung berbondong-bondong memasuki masjid yang terletak di Desa Tanjung Berulak, Kelurahan Air Tiris, Kecamatan Kampar itu. Saat bulan suci Ramadhan tiba, banyak umat Muslim mengunjungi "rumah" Allah itu sebagai tempat tujuan wisata religi guna menghabiskan waktu menunggu saat berbuka puasa.

"Biasanya kami berangkat siang dan shalat Ashar di Masjid Air Tiris, untuk menunggu berbuka puasa," kata seorang pengunjung dari Kota Pekanbaru, Andika Permana.

Perjalanan dari Kota Pekanbaru menuju Masjid Air Tiris memakan waktu sekitar 30 menit. Pengunjung yang pertama kali melihatnya pasti langsung melihat kemiripan atapnya yang berbentuk limas bersusun tiga mirip seperti Masjid Demak di Jawa Tengah.

"Atapnya memang dibuat seperti Masjid Demak, tapi cerita di belakangnya yang menarik karena konon orang yang membangunnya punya ilmu sakti karena tidak pernah melihat masjid Demak dan hanya memejamkan matanya untuk menggambarkan bentuk yang nyaris serupa," kata penjaga masjid, Amirudin Khotib.

Pendirinya Masjid Jami Air Tiris adalah Datuk Ongku Mudo (OM) Songkal, seorang pemuda desa setempat yang pandai ilmu agama karena pernah mendalami Islam di Sumatera Barat.

Bangunan itu terlihat masih kokoh, meski sudah berusia lebih dari seabad. Seluruhnya dinding dan tiang penyangga masjid terbuat dari kayu yang menopang bangunan seluas sekitar 30x30 meter itu. Dari atapnya yang terbuat dari seng dan dindingnya dikelir warna coklat tua.

Tiang kayu berbentuk persegi masjid menjulang setinggi 20 meter yang jumlahnya ada 24 tiang. Masjid ini berbentuk rumah panggung di mana lantainya berjarak sekitar 1,25 centimeter dari permukaan tanah.

"Seluruh tiang penyangga disambung mengandalkan pasak, dahulu tidak ada paku untuk membangun masjid ini," ujarnya.

Ukiran di tiap dinding masjid menghias apik bergambar bunga dan tanaman, yang terlihat merupakan perpaduan khas Melayu dan Tiongkok. Ada dua mimbar yang terbuat dari kayu, untuk khatib dan imam.

Mimbar imam lebarnya 90 centimeter, dan khatib lebarnya 110 centimeter. Keduanya dibuat di Singapura, wakaf dari seorang warga dari Malaysia bernama Engku Said.

"Sampai sekarang mimbar itu masih dipakai, tapi tak jelas berapa usianya," ujarnya.

Ia mengisahkan, masjid tersebut merupakan bentuk nyata budaya gotong-royong sesama umat Islam. Alkisah, sang pendirinya masjid Datuk OM Songkal pulang dari menuntut ilmu di Sumatera Barat bersedih karena melihat pasar Usang di kampung itu tidak memiliki masjid yang layak untuk beribadat. Padahal, tempat tersebut sangat ramai sebagai pusat perekonomian saat itu karena berada di tepi Sungai Kampar.

Pembangunan masjid secara gotong royong pun dimulai sekitar tahun 1898 dan selesai tahun 1901. Pembangunan melibatkan 24 kenagarian disana. Awalnya, bangunan itu hanya berupa "noguh" (mushola) berukuran 6x8 meter.

Seluruh warga yang dikoordinir oleh Ninik Mamak Nan Dua Belas atau penghulu di Kenagarian Air Tiris dan Datu OM Songkal, bahu-membahu mendirikan masjid itu secara swadaya. Bukti dari gotong royong warga tercermin dari tiang penopang masjid yang berjumlah 24 buah, artinya masing-masing 24 kenagarian menyumbang satu tiang. Seluruh ukiran bunga dan tumbuhan yang menghias dinding masjid itu juga berjumlah 24 motif, yang mencerminkan keberagaman masyarakat kala itu.

Beragam kisah unik, bahkan sedikit berbalut mistik, selalu melekat dengan keberadaan Masjid Jami Air Tiris. Konon kabarnya, penjajah Belanda pernah beberapa kali ingin membakar masjid itu tapi selalu gagal.

Bahkan, ia mengatakan masjid tersebut tak pernah kebanjiran saat Sungai Kampar meluas meski rumah panggung di sekelilingnya sudah terendam.

Kisah menarik lainnya dari masjid itu adalah arah kiblat masjid tersebut tak pernah mengalami perubahan, saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada pertengahan Juli 2010 sempat mengimbau seluruh masjid untuk menera ulang arah kiblat menyesuaikan dengan letak geografis masing-masing karena diduga arah kiblat berubah salah satunya akibat terjadi gempa. Bahkan, pada sekitar tahun 2000 sekelompok peneliti dari "Guinness World Record" yang berasal dari dalam dan luar negeri sempat memuji keakuratan arah kiblat Masjid Jami Air Tiris.

Para peneliti itu mengecek arah kiblat pakai alat seperti kompas, dan mereka takjub dan memuji kehebatan para pendiri masjid ini yang dahulu kala bisa begitu presisi menentukan arah kiblat dan sampai sekarang arah kiblat masih tetap sama.

Namun, kisah unik yang selalu menjadi perbincangan saat bicara tentang Masjid Air Tiris adalah keberadaan batu "kepala kerbau". Batu itu secara kasat mata memang berukuran sebesar kepala binatang dan dua ujungnya meruncing seperti tanduk kerbau.

Amirudin Khotib mengatakan, batu tersebut awalnya disangka hanya batu biasa sumbangan warga setempat untuk menjadi penopang tiang utama masjid. Namun, anehnya batu tersebut selalu berpindah tempat sendiri tanpa bantuan manusia.

"Batu itu membuat kehebohan, karena terus berpindah sendiri. Seorang datuk mengatakan tetap gunakan batu tersebut karena nantinya akan bermanfaat, dan akhirnya batu itu ditempat di kolam air wudhu.

"Setelah diletakan di kolam air wudhu, batu itu tidak pindah-pindah lagi. Hanya berputar-putar sendiri terkadang menghadap utara dan selatan," katanya.

Batu "kepala kerbau" hingga kini masih berada di kolam air tempat wudhu jemaah. Batu berwarna hitam dan sudah berlumut itu banyak dipercaya orang mengandung kekuatan gaib, dan air di kolamnya bisa menyembuhkan berbagai penyakit.

"Itu kan kepercayaan orang saja, kesembuhan dari penyakit itu karena Allah," katanya.