Jakarta (ANTARA) - Pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober kemarin meresmikan dimulainya pemerintahan baru, yang disusul oleh pelantikan pemimpin tiap kementerian sehari setelahnya. Sebanyak 11 kementerian bertahan dengan kepala yang sama, termasuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Presiden Prabowo Subianto tampaknya belum bisa memercayakan kementerian strategis itu untuk dipegang oleh orang lain. Sri Mulyani, menteri keuangan yang telah menjabat sejak era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, kembali diminta untuk menakhodai institusi bendahara negara. Kendati telah berkali-kali memberikan sinyal berhenti, Sri Mulyani setuju untuk melanjutkan jabatannya itu.
Sehari berselang dari pelantikan menteri, Prabowo langsung mengeluarkan dokumen peraturan yang menyatakan Kemenkeu tak lagi di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 yang diteken Prabowo pada 21 Oktober menyebutkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengoordinasikan tujuh kementerian teknis, di mana Kemenkeu tidak termasuk di dalamnya. Ketetapan ini berbeda dengan pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan konfirmasi Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro, perubahan itu mempertimbangkan kapasitas kewenangan Kemenkeu yang mengoordinasikan lintas sektor. Alhasil, Prabowo memilih untuk mengalihkan kedudukan Kemenkeu langsung di bawah komandonya.
Muncul pertanyaan dari keputusan itu, apakah ada sinyal institusi keuangan negara bakal diintervensi langsung oleh presiden? Bagaimana reaksi pasar terhadap penerbitan Perpres itu?
Sebetulnya, kementerian yang membidangi keuangan negara berkedudukan langsung di bawah presiden merupakan hal yang awam di banyak negara, terutama negara dengan sistem presidensial, Amerika Serikat contohnya.
Namun, bila ingin menjawab pertanyaan sebelumnya, kekhawatiran yang kedua dihalau oleh Kepala Ekonom Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto. Dia yakin tak ada perubahan signifikan dari sikap pasar terhadap keputusan Perpres 139/2024, lantaran kendali Kemenkeu masih dipegang oleh sosok Sri Mulyani.
Menurutnya, ada kepercayaan kuat dari pelaku pasar terhadap tokoh bendahara yang namanya cukup kondang di dunia internasional itu, di mana fiskal negara diyakini akan tetap baik-baik saja.
Adapun untuk pertanyaan yang pertama, perlu adanya pengawasan terhadap langkah-langkah yang akan diambil oleh Prabowo dan Kemenkeu dalam beberapa waktu ke depan, guna membuktikan apakah pertanyaan itu hanya kekhawatiran semata atau bukan.
Dilema pajak
Perpajakan menjadi salah satu isu utama yang paling disorot oleh masyarakat. Ambisi mengejar rasio pajak, rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen, hingga reformasi perpajakan menjadi deretan soal yang dinanti jawabannya oleh publik.
Pendapatan negara pada tahun pertama masa jabatan Prabowo ditargetkan mencapai Rp3.005,1 triliun. Ini pertama kalinya target penerimaan melampaui Rp3 ribu triliun, dengan selisih terhadap target penerimaan tahun ini berkisar Rp300 triliun.
Artinya, perlu ada upaya ekstra dari Kemenkeu agar bisa memenuhi impian tersebut. Tingginya target pemerintahan Prabowo diakui oleh Sri Mulyani. Saat rapat pimpinan (rapim) pekan lalu, ia bergurau kepada jajarannya, “Tak ada yang berubah (dari Kemenkeu), kecuali targetnya makin tinggi.”
Salah satu manuver yang paling santer dibicarakan adalah rencana kenaikan PPN 12 persen. Kebijakan ini sebetulnya diatur oleh Kabinet Indonesia Maju pimpinan Jokowi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pasal 7 ayat 1 beleid itu menyebut, PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Maksud dari kenaikan itu, jelas, untuk meningkatkan pendapatan negara. Dengan bertambahnya kas negara, pemerintah bisa mempunyai kendali yang lebih baik dalam menangani kondisi perekonomian, termasuk bila ada gejolak atau krisis tak terduga yang terjadi.
Pandemi COVID-19 menjadi inspirasi lahirnya kebijakan ini. Kebutuhan belanja alat kesehatan dan dukungan bantuan sosial (bansos) yang melonjak drastis mendorong pemerintah saat itu mencari solusi agar dana kas negara cukup untuk membuat APBN bisa meredam dampak krisis.
Tak hanya kemampuan belanja yang bakal terdampak positif, tetapi juga kemampuan membayar utang. Terlebih, pemerintah perlu membayar utang jatuh tempo senilai Rp1.353,2 triliun pada tahun depan, yang terdiri dari Rp800,3 triliun pokok utang dan Rp552,9 triliun bunga utang.
Akan tetapi, masyarakat kini tidak dalam kondisi yang cukup baik untuk menerima kebijakan tersebut. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masif hingga deflasi beruntun berdampak pada pelemahan daya beli, terutama pada kelompok kelas menengah yang tak menerima bantalan sebanyak kelompok miskin dan rentan.
Saat diteken pada tiga tahun lalu, UU HPP bisa jadi tak memprediksi pelemahan itu. Makanya, banyak pihak yang mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan PPN 12 persen agar bisa menyesuaikan dengan kondisi terkini.
Sebelum pelantikan, Sri Mulyani berkali-kali menyatakan jadi atau tidaknya wacana itu bergantung pada pemerintahan baru. Kini, dia menjadi salah satu pemain utama yang akan memutuskan kelanjutan dari kebijakan PPN 12 persen.
Manuver pemerintah menggenjot penerimaan sebetulnya tidak hanya menyoal kenaikan PPN. Di lain sisi, Kemenkeu, tepatnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), telah menyiapkan Core Tax Administration System (CTAS) atau coretax untuk menjadi tulang punggung penerimaan negara.
Sistem itu bakal mengotomasi layanan administrasi perpajakan. Harapannya, coretax dapat meningkatkan analisis data kepatuhan wajib pajak berbasis risiko, menciptakan transparansi akun wajib pajak, hingga mendorong laporan keuangan DJP yang lebih akuntabel. Sri Mulyani yakin kehadiran sistem mutakhir itu dapat meningkatkan rasio pajak hingga 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Coretax sebelumnya ditargetkan untuk bisa digunakan pada pertengahan 2024. Namun, demi menyempurnakan fungsi layanan itu, DJP mengundur implementasinya hingga awal 2025. Terakhir kali, DJP merilis simulator coretax pada akhir September lalu sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat.
Reformasi pada sistem perpajakan memang kerap menjadi tuntutan publik. Pasalnya, masih banyak pihak yang mangkir dari kewajibannya membayar pajak. Problem ini pun diakui Prabowo, yang mengistilahkannya sebagai ‘kebocoran pajak’. Dalam konteksnya, kebocoran itu terjadi pada industri sawit. Namun, patut diakui, realitasnya kebocoran pajak itu tidak hanya berlangsung pada satu sektor. Padahal, kepatuhan wajib pajak bakal sangat berdampak terhadap capaian penerimaan negara.
Memang, coretax tidak bisa menjadi upaya tunggal untuk memperbaiki sistem perpajakan. Komitmen Prabowo untuk menutup keran kebocoran pajak pun masih perlu pembuktian. Tapi setidaknya, pemerintah menampilkan kesadaran bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam sistem perpajakan dan menyiapkan regulasi untuk mengakomodasinya. Tugas publik adalah mengawal komitmen ini.
Pengelolaan fiskal
Pajak bukan satu-satunya isu yang perlu diatasi Kemenkeu pada tahun pertama pemerintahan Prabowo. Berkembang-biaknya kementerian (terdapat sembilan kementerian yang dipecah menjadi 21 kementerian, sehingga total ada 48 kementerian) tentu berdampak pada pengelolaan anggaran.
Sri Mulyani sudah mulai merombak Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sisa tahun anggaran (TA) 2024 dan TA 2025. Pihaknya berkoordinasi erat dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) dalam perombakan itu.
Utak-atik anggaran akibat perpecahan kementerian baru juga diakui oleh Menteri Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya. Ia malah mengungkapkan peluang adanya APBN Perubahan (APBN-P) pada awal tahun atau kisaran Maret hingga Juni, yang menjadi kesempatannya untuk membagi alokasi anggaran dengan saudara kementerian pecahannya, yakni Kementerian Pariwisata.
Belum lagi penyesuaian anggaran untuk program prioritas Prabowo. Tim ekonomi Prabowo, Drajad Wibowo, juga menyinggung soal APBN-P ketika ditanya tentang anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut belum ada pembahasan terkait rencana APBN-P dalam kabinet.
Sedangkan Sri Mulyani, sebagai nakhoda utama yang memegang kendali APBN, belum bersuara soal rumor tersebut.
Meski sudah ada tim yang disiapkan untuk memuluskan transisi APBN Jokowi ke Prabowo, termasuk melantik Thomas Djiwandono yang sebelumnya anggota Tim Gugus Sinkronisasi menjadi Wakil Menteri Keuangan, namun ternyata masih butuh penyesuaian kembali terkait pengelolaan fiskal negara.
Banyak pekerjaan rumah (PR) yang perlu diurus oleh Kemenkeu dalam tahun pertama pemerintahan Prabowo. Namun, tak hanya memberikan tugas berat, Presiden ke-8 RI ini juga melengkapi Sri Mulyani dengan tiga wakil sekaligus. Selain Suahasil Nazara dan Thomas yang telah menemani dari kabinet sebelumnya, kini bertambah Anggito Abimanyu yang merupakan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dengan satu menteri dan tiga wakil, diharapkan dapat membuat Kemenkeu mengambil langkah bijak soal fiskal negara pada tahun depan, yang dapat berpihak kepada rakyat dan bangsa.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani sebut pelemahan daya beli perlu lihat banyak indikator
Baca juga: Sah, Menkeu tandatangani ketentuan subject to taxrule