Pekanbaru, (Antarariau.com) - Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, menilai tradisi "Bakar Tongkang" merupakan tradisi yang mengagumkan dan menjadi bukti toleransi bangsa Indonesia terhadap keberagaman etnis dan budaya.
"Bakar Tongkang merupakan bukti adanya penghormatan terhadap keberagaman dan pluraritas. Ini tidak akan bisa berkembang seperti ini tanpa adanya tradisi toleransi di masyarakat," katanya pada acara puncak Bakar Tongkang, di Kota Bagansiapi-api, Sabtu.
Agung mengatakan Bakar Tongkang kini tidak hanya dilihat sebagai sebuah ritual semata, melainkan juga bisa menjadi ikon pariwisata yang bisa meningkatkan pemasukan bagi negara.
"Saya juga mengapresiasi pemerintah daerah yang mendukung tradisi Bakar Tongkang ini," ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Riau Annas Maamun mengatakan pemerintah daerah berkomitmen akan terus mendukung Bakar Tongkang sebagai potensi pariwisata budaya andalan Riau.
Berdasarkan laporan dari Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, sedikitnya 40 ribu wisatawan lokal dan mancanegara menghadiri Bakar Tongkang tahun ini.
"Kita akan terus membantu dari anggaran APBD dan promosi terus ke seluruh penjuru dunia," katanya.
Berdasarkan pantuan Antara, puluhan ribu warga tumpah ruah ke jalan saat puncak ritual Go Gwe Cap Lak atau Bakar Tongkang berlangsung.
Aroma harum hio memenuhi udara saat massa yang membentuk "lautan" manusia mengarak replika kapal Tongkang dari Klenteng In Hok Kiong ke lapangan tempat pembakaran.
Selama perjalanan sejauh sekitar tiga kilometer itu, warga setempat terlihat antusias dengan menyediakan berbagai minuman yang dibagikan gratis kepada semua orang yang ikut dalam iring-iringan Tongkang.
Puluhan ribu orang dengan setia menunggu seluruh Tongkang raksasa itu terbakar untuk melihat kemana arah tiang utama jatuh.
Tokoh masyarakat Tionghoa Bagansiapi-api, Tan Guan Tio (88), mengatakan sudah menjadi tradisi untuk warga setempat yang merantau untuk kembali ke Bagansiapi-api menghadiri Bakar Tongkang sebagai wujud syukur.
Acara tersebut merupakan ritual warga Tionghoa Bagansiapi-api dalam mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Dewa Laut atau Dewa Kie Ong Ya, yang telah memberikan hidup lebih baik kepada leluhur mereka yang pertama menginjakan kaki di Bagansiapi-api.
"Orang-orang tua masih percaya, arah tiang tongkang yang jatuh akan menunjukan rejeki tahun ini. Kalau tiang jatuh ke laut, maka rejeki banyak di usaha di laut dan kalau ke darat maka sebeliknya rejeki banyak di darat," katanya.
Warga Tionghoa terlihat langsung bersorak ketika tiang terakhir tongkang jatuh mengarah ke laut.
Seorang warga setempat, Hasim (35), mengatakan warga Tionghoa Bagansiapi-api memang selalu mengharapkan arah jatuh ke laut karena sejak zaman dahulu kehidupan warga setempat adalah nelayan.
"Ini berarti bagus, karena sudah lama juga tiang tidak jatuh ke arah laut dan semoga rejeki yang berkaitan dengan laut dan air bagus," kata Hasim.
Sementara itu, seorang wisataran dari Kota Pekanbaru, Meri (30), mengatakan sangat terhibur ketika mengikuti ritual Bakar Tongkang.
Meski mengaku kurang mengerti bahasa Tiongkok yang banyak digunakan pada acara itu, ia mengaku takjub melihat keramaian dan keunikan acara tersebut.
"Acaranya unik karena banyaknya mitos dan legenda dibaliknya, justru membuat Bakar Tongkang makin menarik," katanya.
Ritual Bakar Tongkang bermula dari legenda perantauan 18 warga Tionghoa dari Fujian, dipimpin Ang Mie Kui, yang menyeberangi lautan dari daratan Tiongkok pada tahun 1820.
Saat itu, Fujian tengah dilanda krisis pangan dan dikuasai oleh rezim Siam yang tiran. Mereka mengarungi samudra untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka membawa serta patung Dewa Laut, King Ong Ya, di atas kapal.
Para perantauan itu sempat kehilangan arah dan nyaris putus harapan sebelum akhirnya melihat cahaya dari daratan, yang akhirnya menjadi tempat tinggal baru mereka dan diberinama Bagansiapi-api.
Kabarnya, mereka lantas membakar kapal yang mereka gunakan sebagai bentuk sumpah bahwa mereka akan menetap di tanah baru itu. Sejak saat itu, replika tongkang yang terbuat dari bambu, kayu, dan kertas warna-warni dibakar sebagai bentuk syukur.
Tradisi ini terus berlangsung tutun temurun, dan banyak warga asal Bagansiapi-api yang sudah merantau jauh merasa terpanggil untuk menghadiri ritual tersebut.