Memahami prinsip-prinsip komunikasi

id komunikasi,prinsip komunikasi, dr biryanto, bpsdm Riau

Memahami prinsip-prinsip komunikasi

Ilustrasi orang berkomunikasi. (ANTARA/HO-pngwing.com)

Pekanbaru (ANTARA) - Komunikasi merupakan proses pengiriman pesan (encoding) dan penerimaan pesan (decoding) yang berlangsung secara simultan. Melalui komunikasi, kita dapat menyampaikan apa yang kita pikirkan dan apa yang kita inginkan kepada orang lain.

Begitu pula sebaliknya, dengan berkomunikasi kita dapat mengetahui apa yang dimaksudkan orang lain dan apa pula yang menjadi harapannya.

Sebagai suatu kebutuhan hidup, setiap hari kita memang tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi, baik yang terjadi dengan diri sendiri (intrapersonal), orang lain (interpersonal), kelompok, organisasi, maupun komunikasi yang dilakukan kepada publik.

Pentingnya komunikasi dalam keberlangsungan hidup manusia menjadikannya sebagai salah satu hak dasar yang diakui oleh negara. Di Indonesia, hak berkomunikasi dijamin dalam konstitusi, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 28F yaitu: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".

Adanya hak setiap orang untuk berkomunikasi, tidak berarti pemenuhan hak tersebut dapat dilaksanakan semaunya tanpa batasan. Hak berkomunikasi seseorang yang berkaitan dengan orang lain tetap harus menerapkan asas saling menghormati dan menghargai, serta mengedepankan etika dalam berkomunikasi.

Sebagai makhluk sosial, berkomunikasi tentunya merupakan bagian dari rutinitas yang selalu kita kerjakan. Komunikasi pada konteks ini seperti tali yang menghubungkan dan mengikat setiap orang yang terlibat. Karenanya, sangat perlu dipahami prinsip-prinsip dari komunikasi itu sendiri agar dapat membantu kita dalam melaksanakan komunikasi yang baik.

Berikut ini lima prinsip komunikasi yang perlu diperhatikan. Pertama, efek komunikasi melintasi ruang dan waktu. Komunikasi sebagai suatu proses memiliki efek yang mencakup kepada semua pihak yang terlibat di dalamnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Efek suatu proses komunikasi itu sendiri tidak terikat pada ruang dan waktu saat komunikasi terjadi. Artinya, proses komunikasi yang dilakukan seseorang dapat memiliki keterkaitan dengan semua orang yang menjadi bagian dalam pesan komunikasi yang disampaikannya, baik pada saat proses komunikasi itu terjadi maupun waktu setelahnya.

Komunikasi yang terjadi secara langsung (face to face) ataupun melalui penggunaan media juga terikat pada prinsip ini. Sebagai contoh, ketika pesan yang disampaikan oleh komunikator berisi tentang penilaiannya terhadap agama atau suku tertentu dalam sebuah forum diskusi, maka efek komunikasi yang disampaikannya tidak hanya terjadi pada saat itu dan berdampak pada peserta yang mengikuti forum itu saja.

Efek dari pesan yang disampaikan oleh komunikator tadi bisa juga terjadi setelah selesainya acara forum tersebut, dan dapat berdampak pada orang-orang dari agama atau suku yang dibahas dalam forum dimaksud, walaupun sebenarnya mereka tidak ikut dan tidak berada di ruang forum diskusi.

Ini semua dapat terjadi ketika pesan yang disampaikan komunikator menyebar ke luar forum diskusi, baik melalui media, ataupun disampaikan secara lisan oleh peserta forum kepada orang lain.

Dengan memahami prinsip pertama ini, maka sangat perlu kehati-hatian bagi para komunikator dalam menyusun pesan dan bagaimana pula cara menyampaikannya. Bila kita contohkan dalam kehidupan sehari-hari, maka sangat perlu bagi kita untuk selalu menjaga lisan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Karena efek dari pesan yang kita sampaikan tersebut tidak saja terjadi saat kejadian, tetapi juga dapat melintasi ruang dan waktu.

Seperti ungkapan yang familiar kita dengar "dinding pun punya telinga" dan begitu juga dengan mitra bicara kita, tidak ada jaminan ia akan diam, dan tidak meneruskan pesan tersebut kepada orang lain yang tidak ikut dalam proses komunikasi.

Ketika pesan tersebarluaskan melalui media, maka sangat mungkin pesan tersebut menjadi tidak lengkap atau sepotong-potong. Bila ini terjadi maka akan mungkin terjadi kesalahan dalam menafsirkan pesan tersebut karena pesan tidak diterima secara utuh. Begitu pula bila pesan diteruskan melalui orang per orang, tentu akan sulit menghindari terjadinya penambahan ataupun pengurangan dari pesan aslinya, sehingga penafsiran pesan menjadi tidak akurat.

Terkait dengan hal tersebut, maka sangat dianjurkan untuk mendesain pesan sesederhana mungkin namun efektif sehingga dapat meminimalkan risiko terjadinya kesalahan penafsiran pesan komunikasi.

Kedua, proses komunikasi rentan terhadap gangguan. Perbedaan penafsiran terhadap suatu pesan dalam komunikasi adalah sesuatu yang biasa dan sangat mungkin terjadi karena sejatinya proses komunikasi itu memang rentan terhadap gangguan (noise). Inilah prinsip komunikasi yang kedua.

Definisi gangguan dalam ilmu komunikasi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat mendistorsi pesan sehingga tidak terdapat kesamaan makna pesan antara pihak-pihak yang berkomunikasi (partisipan). Segala sesuatu di sini menunjukkan bahwa banyak faktor yang dapat mengganggu proses komunikasi.

Akibatnya, masing-masing partisipan memberikan tanggapan atau respons (feedback) yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bila hal ini terus terjadi maka tentu saja tujuan dari komunikasi itu sendiri tidak akan tercapai atau terjadi kegagalan komunikasi (miss communication). Komunikasi yang dilakukan akan menjadi sia-sia dan justru bisa dapat berdampak negatif.

Gangguan dalam proses komunikasi memang sulit dihindari, namun setidaknya kita dapat meminimalisirnya sehingga proses komunikasi dapat berlangsung dengan efektif. Salah satu sumber utama dari gangguan komunikasi sebenarnya berasal dari dalam diri partisipan itu sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, maka semua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang baik, guna menyusun isi pesan yang efektif, sekaligus mampu menerjemahkan isi pesan (content) yang diterimanya.

Gangguan yang berasal dari komunikan ini tentu akan berpengaruh pada feedback yang diberikan menjadi tidak tepat. Di sinilah pentingnya seorang komunikator memahami teknik umpan maju (feedforward) yaitu terlebih dahulu menjelaskan informasi terhadap pesan yang dianggap sensitif, sehingga pesan selanjutnya dapat diterima dengan baik, dan feedback yang diterima sesuai dengan harapan.

Prinsip komunikasi yang ketiga yaitu komunikasi merupakan kesatuan proses. Artinya, proses komunikasi tidak hanya didasarkan pada apa yang diucapkan (verbal), tetapi juga keseluruhan pesan yang diterima oleh komunikan, baik itu dalam bentuk nonverbal maupun juga karakteristik yang melekat pada diri komunikator.

Isi pesan yang bersifat perintah, misalnya, akan menjadi pesan yang membujuk bila disampaikan dengan cara-cara yang humanis dan persuasif. Begitu pula halnya ketika seseorang yang ingin menyampaikan kritik yang konstruktif, akan berubah menjadi hal yang destruktif bila disampaikan dengan cara tak beretika.

Berikutnya, pesan komunikasi juga selalu terikat dengan sumber atau pihak yang menyampaikannya. Ketika seorang pendusta berbicara, maka publik tidak akan menganggapnya sebagai suatu yang penting. Namun berbeda halnya bila seorang pemimpin atau ulama/tokoh agama yang berbicara maka tentu saja akan menjadi perhatian publik karena ketokohannya yang dapat dipercaya.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran komunikasi nonverbal dan integritas komunikator dalam proses komunikasi. Kedua aspek ini memiliki kedudukan yang sama pentingdengan pesan verbal dan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam suatu proses komunikasi.

Prinsip komunikasi yang keempat adalah komunikasi sebagai proses aksi dan reaksi. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa setiap reaksi muncul dari adanya aksi. Ketika aksi disampaikan dengan cara yang tepat maka peluang munculnya reaksi yang diharapkan pun juga akan semakin besar.

Aksi dalam komunikasi sangat dipengaruhi dari ketepatan pemilihan kata, penggunaan intonasi dan ekspresi yang sesuai, keserasian dalam merangkai pesan, dan kecerdasan membaca situasi. Ketidaktepatan pada aspek-aspek tersebut akan memungkinkan terjadinya perbedaan makna pesan antara komunikator dan komunikan.

Ketika hal itu terjadi maka komunikator adalah pihak pertama yang bertanggungjawab dalam kegagalan komunikasi. Oleh karena itu, setiap komunikator haruslah berhati-hati dan menjaga perkataannya agar pesan yang dimaksudkan diterima dengan baik oleh komunikan, terlebih lagi bila komunikator itu adalah seorang pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat.

Prinsip komunikasi kelima yang sangat perlu diperhatikan bagi setiap komunikator adalah sifat komunikasi yang irreversible sebagaimana yang diungkapkan DeVito (2010). Komunikasi bersifat irreversible diartikan bahwa ketika komunikator menyampaikan pesan maka ia tidak bisa menarik kembali pesan yang telah terlanjur disampaikannya. Komunikan yang menerima pesan akan secara langsung menerjemahkan pesan yang diterimanya secara bertahap. Maksudnya, pesan komunikasi pertama yang diterima akan menentukan pemaknaan pesan komunikasi selanjutnya yang diterima oleh komunikan.

Seorang komunikator tentu saja dapat mengklarifikasi pernyataan yang sudah ia sampaikan, namun hal itu tidak serta merta dapat menghilangkan pesan pertama yang telah terlanjur diterima komunikan.

Mengutip ungkapan orang Inggris sebagaimana yang dikemukakan Mulyana (2010) "to forgive but not to forget". Seseorang tentu saja bisa memaafkan kesalahan kita, tapi tidak untuk melupakannya.

Inilah pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, terutama bagi para pemimpin dan pejabat publik untuk menghindari perkataan kasar, walaupun dimaksudkan untuk menunjukkan ketegasan dan tidak diniatkan pada sesuatu yang buruk. Karena seorang pemimpin adalah teladan bagi yang dipimpinnya, termasuk dalam hal berkomunikasi yang merupakan cerminan dari kepribadian dirinya yang sesungguhnya.

Kelima prinsip komunikasi yang telah diuraikan tersebut menggambarkan bahwa komunikasi yang baik dan efektif itu merupakan rangkaian proses yang memerlukan perencanaan dengan maksud yang jelas, bukan sekedar menyampaikan pesan yang terkesan hanya pelaksanaan hak semata.

Sebagai penutup, saya mengadaptasi teori konsistensi yang menyebutkan bahwa perkataan dan perilaku yang baik terlahir dari pribadi yang baik, begitu pula perkataan dan perilaku yang buruk bersumber dari pribadi yang buruk. Semoga kita dapat menjadi pribadi yang baik dengan membiasakan diri untuk berperilaku santun dan berkomunikasi secara terpuji.

*DrBiryanto merupakan senior trainer BPSDM Provinsi Riau