Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan Indonesia membutuhkan sembilan satelit pengindraan jauh untuk memantau kondisi kebencanaan di Indonesia.
"Kita butuh sembilan satelit untuk melakukan orbitan tanpa jeda karena wilayah Indonesia yang sangat luas," kata Deputi Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jaringan Komunikasi BMKG Muhamad Sadly pada kuliah umum dalam rangka Hari Meteorologi Dunia Ke-72 secara daring diikuti di Jakarta, Selasa.
Menurut Sadly, wilayah Indonesia punya ancaman bencana yang sangat kompleks dan tidak bisa ditangani secara normatif, ditambah lagi dengan kondisi cuaca yang saat ini semakin ekstrem maka dibutuhkan teknologi.
Menurut dia, jika hanya satu satelit maka ada jeda 100 menit saat mengorbit sehingga tidak bisa dilakukan untuk pemantauan bencana.
Baca juga: Satelit China: pangkalan AU Ukraina dihantam rudal, landas pacu rusak berat
Tanpa satelit, tambah Sadly, maka akan sulit melakukan pemantauan karena butuh waktu lama sebab wilayah Indonesia yang luas dari Sabang sampai Merauke.
"Saat bencana terjadi baik gempa, tsunami atau bencana hidrometeorologi lainnya, sistem komunikasi akan kolaps. Kita tidak bisa gunakan komunikasi berbasis HP, apalagi terjadi gempa besar seperti di Palu pada 2018. Lalu bagaimana orang bisa menyelamatkan diri kalau tidak ada sistem komunikasi yang andal," tambah dia.
Prof Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ahli satelit gelombang mikro dari Universitas Chiba, Jepang dalam kuliah umum tersebut mengatakan Indonesia harus memiliki sensor karena letak wilayah di ekuator dan pertumbuhan awan yang cepat berdampak bencana hidrometeorologi dapat terjadi secara tiba-tiba.
"Saya merekomendasikan full polarimetric spaceborne Syntethic Aperture Radar (SAR) agar lebih detil karena di Indonesia pertumbuhan awan cepat sekali," kata pria yang akrab disapa Prof Josh itu seraya menambahkan perlu resolusi waktu yang memungkinkan kurang dari 10 menit.
Baca juga: BRIN: Satelit LAPAN-A1 masih berfungsi setelah mengudara selama 15 tahun
Full Polarimetric spaceborne adalah metode analisis citra radar dengan mengeksploitasi polarisasi citra dengan radar apertur sintetis (SAR) untuk membuat gambar dua dimensi atau rekonstruksi objek tiga dimensi, seperti lanskap.
Dia juga menyarankan agar Indonesia membuat satelit sendiri sesuai kebutuhan, bahkan jika perlu teknologi yang dibuat melampaui negara lain. Dengan satelit, data yang didapat lebih akurat dan cepat sehingga bencana hidrometeorologi seperti hujan, angin kencang, longsor dan lainnya dapat diprediksi.
Bahkan menurut dia, anggaran yang diperlukan untuk membuat satelit tidak terlalu besar, sekitar Rp150 miliar untuk satu satelit yang pernah ia buat.
"Kita kombinasikan satelit meteorological geostasionary untuk meteorologi yang khas Indonesia, yaitu jumlah gelombang dan aplikasinya. Selain itu, pembangunan satelit meteorologi menggunakan SDM dan material dalam negeri Indonesia," kata Prof Josh.
Baca juga: Indonesia dan Inggris bahas kerja sama pembangunan satelit SATRIA-2
Berita Lainnya
Menag akan batasi perjalanan dinas seluruh jajarannya
15 November 2024 17:12 WIB
PLN dorong mahasiswa perguruan tinggi di Riau berinovasi kembangkan teknologi kendaraan listrik
15 November 2024 16:49 WIB
Rasa autentik rempah khas Indonesia di Vientiane, Laos
15 November 2024 16:15 WIB
Presiden Prabowo sampaikan tekad Indonesia lakukan hilirisasi sumber daya
15 November 2024 15:25 WIB
Reses DPD RI ke Riau, harapkan BRK Syariah terus berkontribusi bagi masyarakat
15 November 2024 14:58 WIB
Erupsi Gunung Lewotobi, 29.323 penumpang di Soetta batal terbang
15 November 2024 14:42 WIB
PPN 12 persen, ekonom minta pemerintah agar buat kebijakan pro daya beli
15 November 2024 14:16 WIB
Dekranasda Riau gelar lomba motif tenun dan batik khas Riau, ini pesan Zuliana Rahman Hadi
15 November 2024 14:10 WIB