Menyelami Hobi Yang Buntung Dihari Tua

id menyelami hobi, yang buntung, dihari tua

Langit "Kota Bertuah" siang itu, 19 September 2012, terlihat mendung berkabut asap, akibat kebakaran hutan dan lahan.

Kala itu, di dalam sebuah kedai berukuran kecil dan sederhana, dua pria renta asyik merajut rotan, berusaha membentuknya hingga menghasilkan barang untuk laku dipasarkan.

Tiap jemari kedua pria ini begitu lihai membentuk rajutan hingga tercipta ragam produk unggulan mulai dari keranjang, tutupan lauk pauk (sange), kursi, meja, bahkan ayunan bayi.

"Semuanya bisa dihasilkan dengan bahan dasar rotan ini," kata Syafrizal, seorang pria berumur 60 tahun yang tengah merajut rotan itu.

Ayah dua anak dari seorang isteri bernama Kartini (54) ini memulai usaha sederhananya itu dengan menyewa sebuah rumah toko mungil di Pekanbaru, Riau, dan tidak pernah menetap.

"Kedai sekarang ini, entah yang ke berapa kalinya saya pindah. Namun nasib tetap saja seperti ini dan tak pernah berubah," katanya.

Syafrizal ketika itu bersama dengan seorang perajin rotan bayaran yakni Sugianto (53). Pria ini telah bekerjasama sebagai perajin honor bersama Syafrizal sejak belasan tahun silam.

Di rumah toko yang disebutnya kedai rotan dengan ukuran bangunan kurang dari setengah lapangan badminton itu, Syafrizal memberdayakan sebanyak tiga karyawan. Selain Sugianto, juga ada dua karyawan lainnya yang saat itu tengah libur bekerja karena minimnya bahan baku utama.

Sambil terus bekerja, Syafrizal yang merupakan perajin rotan sejak tahun 1975 di Pekanbaru mengakui usahanya itu saat ini kian "terjepit".

Perkembangan kota yang kian pesat dengan berdirinya sejumlah gedung dan menara pencakar langit di "Kota Bertuah" membuat usaha yang dikelolanya semakin tersisih.

"Tidak ada perhatian ke kami para pengusaha kecil yang semakin tertinggal. Hasil kerajinan kami pun semakin mengempis karena minimnya minat masyarakat serta kendala pemasaran," katanya.

Pria kelahiran Sumatra Barat ini mengakui, penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII/2012 di Riau khususnya Pekanbaru sejauh ini tidak memberi dampak positif terhadap pengembangan usaha kerajinan yang dia kelola bersama sang istri.

"Bahkan selama PON, usaha saya semakin terjepit. Pembangunan jalan layang di pusat kota membuat jumlah pembeli semakin berkurang," ujarnya.

Berkebetulan, kedai yang menjadi lokasi usaha Syafrizal itu berada tepat di pinggir Jalan Sudirman bahkan berada persis bersebelahan dengan infrastruktur jalan layang yang baru saja selesai dan difungsikan saat awal penyelenggaraan PON 9 September silam.

Di lokasi yang sama, tepat berada di samping kiri dan kanan kedai rotan milik Syafrizal, juga terdapat beberapa pengusaha yang sama. Mereka mengaku sebagai korban pembangunan sarana dan prasarana PON XVIIII/2012.

"Dahulu kendaraan melintasi Jalan Sudirman bisa langsung menyinggahi kedai rotan saya. Namun sekarang tidak lagi semenjak adanya jalan layang ini. Karena di lintasan ini, mobil sudah dilarang parkir," katanya.

Omzet Berkurang

Tidak tanggung-tanggung, Syafrizal bahkan mengakui omzet dari hasil penjualan produk kerajinannya menurun drastis. Yang tadinya sempat mencapai Rp25 juta per bulan, sejak setengah tahun terakhir berkurang menjadi maksimal hanya sekitar Rp10 juta per bulan.

Omzet sepuluh juta rupiah itu, diakui Syafrizal tidak sepenuhnya merupakan keuntungan bersih. Perajin tulen ini harus menyisihkan sekitar 60 persennya untuk keperluan berbelanja bahan baku utama yakni berupa rotan petrik.

Kemudian diakuinya pula, sebagian lainnnya atau sebesar 20 persen, juga harus disisihkan untuk menggaji tiga karyawan yang bekerja keras untuk menciptakan ragam produk unggulan.

"Baru sisanya yang sekitar 20 persen, atau sekitar Rp2 juta merupakan keuntungan untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarga," katanya.

Syafrizal mengakui uang sebanyak itu masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang begitu tinggi. Terlebih harga sejumlah bahan kebutuhan pokok terus saja melambung.

Namun ia tetap bersyukur, karena saat ini tanggungan berupa dua orang anak putra dan putri telah terlepas. Putra putrinya itu, sejak beberapa tahun silam telah mencari nafkah sendiri.

"Jadi uang sejumlah itu untuk memenuhi kebutuhan saya dan istri saya saja. Itu pun tak ada sisa. Anak pertama saya yang laki-laki telah menikah dan bekerja sebagai sopir. Sementara anak perempuan saya juga sudah menikah dan hanya jadi ibu rumah tangga," katanya.

Pria dengan rambut penuh uban ini hanya menyayangkan, sejak satu tahun terakhir dirinya tidak lagi mampu pulang ke kampung halaman yakni Sumatra Barat untuk menemui sanak dan kerabat di sana.

Hasil keuntungan dari produk rotan yang ia kerjakan, hanya mampu sebatas menutupi kebutuhan keluarga sehari-hari tanpa sisa.

Kondisi itu kata dia jauh berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, di mana dirinya bersama istri setiap tahun, bahkan dua kali dalam setahun selalu pulang ke kampung halaman untuk bersilaturahmi.

"Saat ini kami hanya menunggu belas kasihan pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan kami pengusaha kecil yang selama ini selalu saja terlupakan," katanya.

Kendala Bahan

Selain omzet yang kian menurun, pria kurus perokok ini juga mengakui selalu mengalami kendala di bahan baku utama berupa rotan petrik.

Menurut dia, selain harganya yang selalu saja naik pada momen-momen tertentu, permintaan juga terkadang terkendala dengan berbagai hal.

"Banyak alasan distributor rotan untuk macetnya distribusi bahan baku rotan. Bisa karena faktor cuaca, bisa juga faktor lainnya," kata dia.

Dia pun mengakui pasokan rotan metrik kebanyakan didatangkan dari tiga wilayah. Selain Riau, rotan juga dipasok dari Sumatra Barat dan Jawa.

Biasanya, kata Syafrizal, kalau pasokan rotan dari Riau telah habis, maka alternatifnya yakni dipasok daru Sumatra Barat atau Jawa.

Namun hal tersebut diakuinya selalu justru memberatkan para perajin rotan "Kota Bertuah" seperti dirinya. Karena jika pasokan rotan Riau habis, maka bertanda harga bahan baku produk kerajinan itu akan mengalami kenaikan.

"Biasanya kalau sudah naik, tidak akan turun lagi. Kami paling hanya akan menunggu harga rotan akan naik lagi di kemudian hari," katanya.

Menurut Syafrizal, sinyal kenaikan harga bahan baku rotan itu biasanya terjadi setiap bulan puasa. Hal itu juga terjadi pada Ramadhan 1433 Hijriyah lalu, di mana harga rotan sebelumnya hanya Rp22 ribu naik menjadi Rp30 ribu per kilogram.

"Nah, memang begitu, yang namanya rotan kalau harganya sudah naik tidak akan pernah turun. Yang ada malah akan naik lagi," sahut Sugianto, karyawa Syafrizal yang ketika itu terus sibuk merajut rotan.

Lindungi Hutan

Syafrizal berharap, Pemerintah Dearah Riau dapat melindungi hutan yang tersisa. Karena, rotan hanya dapat tumbuh subur di areal hutan alami.

"Kalau rotan di Riau berlimpah, maka kami tidak harus pusing membeli rotan dari daerah luar yang harganya lebih mahal," kata Syafrizal.

Sisa hutan alam di daratan Riau terbilang minim dan tinggal sekitar satu juta hektare. Data ini merupakan hasil analisis Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) kolaborasi dengan data Dinas Kehutanan setempat tahun 2004 silam.

Koordinator Jikalahari Zulfahmi kepada sejumlah wartawan di Pekanbaru menyatakan bahwa jumlah lahan hutan tersebut sama dengan 16 persen dari total luas daratan Riau yang mencapai 9,4 juta hektare. Namun dengan laju degradasi hutan alam yang mencapai 100.000 hektare per tahun, hutan alam Riau saat ini dipastikan hanya kurang dari satu juta hektare saja.

Menipisnya hutan alam, menurut dia, diiringi dengan kerusakan jutaan hektare lahan akibat salah pengelolaan, hingga memiliki korelasi nyata dengan maraknya bencana alam yang terus terjadi di Riau selama 10 tahun terakhir.

Tidak hanya itu, ragam tanaman yang harusnya bisa dimanfaatkan masyarakat khususnya rotan terus saja berkurang.

Kondisi demikian akan lebih menyulitkan para perajin rotan yang berada di Riau terutama di Pekanbaru seperti yang saat ini dialami oleh Syafrizal dan kawan-kawan.

Bantu Pemasaran

Satu masalah lainnya yang saat ini dialami oleh para perajin rotan, yakni strategi pemasaran yang begitu mimin sehingga kebanyakan mereka kebingungan untuk menjual ragam produk unggulan yang dihasilkan.

Seperti diakui Syafrizal, selama ini dirinya dan para perajin rotan lainnya di Pekanbaru hanya mengandalkan pembeli dari kalangan warga setempat.

Artinya, kalangan perajin rotan ini belum memiliki jalur pemasaran yang jelas sehingga banyak dari mereka pada akhirnya harus "gulung tikar" karena terus merugi.

"Untuk itu, kami berharap selain melindungi sisa hutan Riau, pemerintah juga dapat memberikan solusi pemasaran yang luas bagi kami," katanya.

Dengan jalur pemasaran yang cukup luas, menurut Syafrizal, maka dengan sendirinya tingkat pemasukan dari hasil produksi kerajinan itu kian bertambah.

Menurut dia pula, seluruh perajin rotan di Riau bahkan di Tanah Air, sangat mendambakan produk unggulan mereka mampu menembus pangsa pasar internasional.

Namun karena terkendala minimnya pengetahuan terkait jalur distribusi perdagangan produk rotan, para perajin ini akhirnya memilih pasrah, menanti pembeli dari kalangan lokal.

"Kebanyakan yang sampai sekarang bertahan dan masih menjual produk rotan, hanyalah untuk melepas hobi yang memang telah sejak lama ditekuni. Sama seperti atlet, kalau sudah berenang tidak akan bisa main bola kaki," katanya.