Separuh Kisah Perjalanan Sang Pencari Keadilan

id separuh kisah, perjalanan sang, pencari keadilan

Separuh Kisah Perjalanan Sang Pencari Keadilan

Keadilan adalah harga mati. Kalimat ini yang selalu diumbar Indra Azwan, pria 53 tahun kelahiran Malang, Jawa Timur kepada wartawan ANTARA yang menemuinya saat beristirahat di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang berlokasi di Jalan Harapan Raya, Pekanbaru, Riau.

Ketika itu, Indra ditemani oleh seorang rekannya, Poedji Kristijanto (45), juga warga asal Malang. Namun berlahan, puluhan warga berbagai kalangan mengerumuninya. Mereka antre mengantar makanan dan buah-buahan untuk kedua pejuang ini.

Raut wajahnya tampak cerah, meski pakaian yang dikenakan mulai kumuh berselimut debu jalanan. Tubuhnya juga masih terlihat tangguh, meski ratusan kilometer telah dilaluinya dengan berjalan kaki, mencari keadilan atas pelaku tabrak lari terhadap seorang anak laki-lakinya yang malang, Rifki Andika (12).

Sepenggal kisah dari pria berusia lebih setengah abad ini, sang anak tercinta merupakan korban tabrak lari oleh pelaku oknum polisi. Kejadian tersebut berlangsung pada 19 tahun silam, tepatnya 18 Februari 1993.

Dengan kesigapannya, pelaku atas nama Joko Sumantri akhirnya berhasil ditemukan, namun peradilan justru membebaskan pelaku dari jeratan hukum, bahkan saat ini pelaku masih bertugas di Polres Belitar dengan pangkat Kompol.

Tidak terima dan demi keadilan, Indra kemudian memberanikan diri berjalan kaki menuju Jakarta untuk menemui Presiden Republik Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudoyono (SBY) guna mengadukan hal tersebut.

Pascapertemuan itu, Indra mengaku sempat mendapat secercah harapan untuk melihat pelaku dihukum dengan adil. Namun setelah beberapa tahun berselang, janji tersebut tak kunjung jelas.

"Anak saya meninggal dunia setelah ditabrak oleh seorang oknum polisi 19 tahun lalu. Tapi sampai sekarang belum saya temukan keadilan atas kasus itu," kata Indra.

Baginya, keadilan adalah harga mati yang tidak bisa diganggugugat meski dengan uang miliaran rupiah sekalipun. "Tidak akan membutakan saya. Keadilan adalah harga mati bagi saya. Tidak bisa tergantikan dengan apapun," katanya.

Indra tiba di Ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru, pada Minggu (3/6) malam, sekitar pukul 19.30 WIB. Sebelumnya, beliau telah melintasi dan menyinggahi ratusan kota di Pulau Jawa dan Sumatra dengan rute tujuan yang telah dipetakan.

Beranjak dari Malang, Jawa Timur, Indra terlebih dahulu menuju Ibukota Negara, Jakarta sebelum akhirnya mengarah ke kota lainnya yang berada pada satu pulau. Menyeberangi lautan menuju Pulau Sumatra, Indra dan seorang rekannya, Poedji Kristijanto kemudian menyinggahi Palembang, Sumatra Selatan.

Sempat menginap beberapa hari di sana, pria beranak empat ini kemudian melanjutkan perjalanan ke Jambi dan beberapa kota lainnya sebelum akhirnya tiba di Bumi Lancang Kuning, Pekanbaru.

Indra berkisah, ketika tiba di Ibukota Provinsi Riau, dirinya dan Poedji sempat terpaksa menempatkan tubuh di tengah jalan sambil melangkahkan kaki menuju arah tujuan.

Hal itu terpaksa dilakukannya setelah beberapa pengendara mencoba untuk menyingkirkan kedua pria ini dari tepian jalan yang penuh dengan serpihan debu.

"Memang siapa mereka yang berada di dalam mobil. Orang kaya tapi bukan berarti jalanan milik mereka. Makanya saya terpaksa berjalan di tengah biar mereka sadar kalau jalan ini juga ada hak bagi pejalan kaki seperti saya," kata Indra dengan nada cukup tinggi.

Akibat kelakuan Indra dan seorang rekannya itu, jalanan sempat mengalami kemacetan cukup panjang. Ratusan kendaraan terpaksa melaju dengan kecepatan dibawah rata-rata, mengantre persis rajutan batik itik pulang petang.

Peristiwa kemacetan itu sempat bertahan lebih dari 30 menit sebelum akhirnya Indra dan rekanannya menepikan diri, kembali pada posisi semula dirinya menapakan kakinya yang kokoh.

Indra terus berjalan hingga akhirnya berhenti di sebuah SPBU yang berjarak sekitar satu kilometer dari titik pelintasan dimana kendaraan sempat mengantre hingga memanjang lebih dari 600 meter pada dua arah berlawanan.

Indra Azwan kembali berkisah, awal perjalanan dirinya dimulai dari kekecewaannya terhadap hukum di negeri ini. Pelaku penabrak sang anak, dapat lolos dari jeratan hukum, meski telah merenggut nyawa sang buah hati tercinta.

Pengaduan hukum juga telah dilakukannya hingga ke jenjang penegakan hukum tertinggi negeri ini. Namun, menurutnya, semuanya seakan sia-sia. Pelaku masih saja bebas bertugas dalam kedinasannya di lembaga Polisi Republik Indonesia (Polri).

Harusnya, kata Indra, hukum tidak memandang siapa pelakunya, namun bagaimana dan apa yang telah diperbuatnya. "Sama ratakan, sehingga hukum benar-benar tegak sesuai dengan keinginan khalayak, bukan kelompok atau orang-orang tertentu," katanya.

Menurut dia, penegakan hukum atas pelaku penabrak anak kandungnya itu belum sesuai dengan asas keadilan. Keprihatinan ini, kata Indra, adalah keprihatinan seluruh rakyat Indonesia yang bisa-bisa saja akan mengalami nasib sama seperti dirinya.

Kejadian ini memang sudah cukup lama, demikian Indra, tepatnya yakni 19 tahun silam. Namun peristiwa itu diakuinya sangat membekas hingga langkah upaya masih terus diperjuangkannya hingga sakarang.

"Capek saya mengadu kesana-sini, namun hasilnya 'nol besar'. Keadlilan sepertinya memang harus saya cari sendiri hingga ke Mekkah. Niat saya ini sudah tertanamkan. Jadi memang, keadilan adalah harga mati," katanya.

Niat Tulus

Indra kembali berkisah, awal perjalanannya adalah dimulai dari niat yang tulus, tanpa ada tujuan apapun selain menuntut penegakan keadilan sepenuhnya.

Kepergian Indra dari rumahnya di Malang, sebelumnya diakui sempat mendapat pertentangan dari pihak keluarga bahkan sang isteri.

Namun lama kelamaan, semua anggota keluarga justru berbalik memberikan dukungan moral hingga meng-ikhlaskan kepergiannya yang akan memakan waktu panjang.

Tepat tanggal 18 Fabruari 2012 silam, Indra melangkahkan kakinya meninggalkan rumah dan keluarga tercinta. Berbekalkan uang ridak lebih dari Rp700 ribu dan beberapa helai pakaian, pria tua ini berjalan dengan langkah semangatnya mencari keadilan.

Berlahan, niatnya yang tulus kemudian menimbulkan rasa simpatik banyak orang, khususnya sesama warga Malang yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air.

Setiap langkah, Indra mengaku selalu diberikan berbagai kemudahan dan kesehatan. Bahkan setiap perhentian di sudut dan tengah kota, dirinya terus menjadi sorotan khalayak, bahkan hingga berbagai media juga kian menyorot sisi ketulusannya yang dipandang teramat luar biasa.

Rasa simpatik tersebut ditunjukan dengan ragam cara oleh sejumlah orang, mulai dari memberikanan makanan alakadarnya hingga uang sebagai bekal belanja perjalanannya.

"Jika orang tersebut memberikan makanan dan uang alakadar terlebih ikhlas, maka saya akan menerimanya dengan semangat," katanya.

Kendati demikian, Indra mengakui tidak semua pemberian dan tawaran ia terima begitu saja. "Jika pemberia itu memiliki maksud tertentu, saya akan menolaknya," kata dia.

Beberapa sample pemberian yang ditolak mentah-mentah oleh dirinya yakni tawaran untuk mendukung salah satu calon Gubernur Riau atas nama Lukman Edy.

"Saya baru saja sampai di Pekanbaru, langsung dipepet oleh serombongan orang yang mengaku tim suksesnya Lukman Edy. Mereka menawarkan sesuatu namun untuk kepentingan politik. Saya langsung menolaknya," kata dia.

Indra mengakui, pemanfataan politik seperti itu tidak sekali itu saja dialaminya. Sejumlah pihak bahkan hingga para pejabat tinggi negara dan daerah juga mencoba untuk menyusup mempengaruhinya dengan berbagai tawaran demi kepentingan politik tertentu.

Namun Indra mengaku tegar dan akan selalu berada pada lintasan yang menjadi komitmen dirinya sejak awal. Yakni mencari keadilan meski harus menuju Mekkah dengan cara berjalan kaki.

Disangka Dukun

Indra pun melanjutkan rekam jejak langkahnya menuju Mekkah. Selain disinggahi godaan politis, pria 53 tahun ini juga mengaku sempat disangka dukun oleh sejumlah masyarakat yang menaruh simpatik atas prilakunya itu.

"Banyak yang menyangka saya dukun. Mereka meminta sesuatu dari saya. Macam-macam, ada yang meminta pelaris agar dagangannya laku, dan ada juga yang meminta agar cepat mendapatkan jodoh," katanya.

Namun semuanya itu tetap ditolak, karena Indra mengakui dirinya hanyalah manusia biasa yang ingin mencari keadilan di negeri tercinta.

Kejadian-kejadian aneh itu terus saja mengalir dan menyinggahi dirinya ketika tengah beristirahat di satu kota dan pelintasan perkampungan padat penduduk.

Sesekali diakui, hal itu menjadi bahan penggelitik yang membuat dirinya sadar, bahwa uang memang kerap membuat orang tak lagi mampu berfikir logika. Ketika harkat dan martabat lenyap, katanya, pelaku pencari uang tidak akan lagi bisa tegar menghadapinya.

Tapi hal itu kata Indra, tidak berlaku pada seorang pencari keadilan. Harkat dan martabat sepenuhnya ada pada diri dan jiwa, bukan semata-mata materi yang hanya mendatangkan kenikmatan sesaat. Baginya, uang tidak lebih sebagai pelengkap hidup guna mempertahankan hidup dan ekonomi keluarga.

Satu hal yang tak bisa dilupakan Indra, ternyata sisi baik dari perjalanan panjangnya juga membuat khlayak semakin mengidolakannya.

Hal itu dibuktikan ketika dirinya menyinggahi salah satu SPBU yang berlokasi di Bayu Selincir, tepatnya di wilayah perbatasan antara Provinsi Jambi dengan Sumatra Selatan.

"Waktu itu, ada seorang wanita yang tengah hamil tua, bersama suaminya mendatangi saya untuk meminta saya memberikan nama anaknya," kata dia.

"Tidak ada yang bisa saya berikan selain warisan. Warisannya adalah sebuah nama. Akhirnya, karena waktu itu suami isteri itu memaksa, akhirnya saya memberikan anaknya yang masih berada dalam kandungan sebuah nama. Saya beri nama waktu itu Bayu Prasetyo. Sesuai dengan tempat yang saya singgahi, nama SPBU-nya juga Bayu, tapi Bayu Selincir," ujar Indra dengan guyonnya.

Arema Kesayangan

Lebih satu jam bercerita, Indra kemudian seakan melupakan sesuatu. Ia menoleh ke belakang punggungnya dan mengambil sebatang rokok yang tersimpan pada bungkusan kantong kresek. Sambil menyalakan api rokok yang telah terselip pada bibirnya yang hitam pucat, Indra menyambung kisahnya kembali.

Kali ini, Indra bersama rekan seperjuangan, Poedji Kristijanto, mengulas tentang ragam perlengkapan yang dibawanya saat menempuh perjalanan jauh.

Sesuatu yang tidak aneh bagi Indra dan Poedji, perbekalan yang dibawa dalam melintasi berbagai cobaan di perjalanan yang tidak singkat hanyalah sebuah minyak tawon dan alkhohol kompres sebagai penyejuk luka ringan pada tubuhnya yang mulai tampak keriput.

Selain itu, pria sang pencari keadilan ini juga hanya membawa sehelai kemeja batik kesayangan dan empat lembar kaos dan tiga lembar jelana panjang.

Sementara untuk makanan, keduanya mengaku tidak pernah mengkhawatirkannya. Setiap hentian langkah, mereka mengaku selalu mendapat makanan yang berlimbah dari rasa simpatik sejumlah masyarakat di daerah sekitar persinggahan.

"Rasa simpatik masyarakat seakan tidak pernah berhenti," kata Poedji.

Semuanya ini, demikian Poedji, tentu tidak lepas dari rasa kebersamaan antara warga asal Malang yang tergabung dalam komunitas Armea. Komunitas ini berada di seluruh penjuru Tanah Air bahkan hingga manca negara.

Arema menurut dia, adalah sebuah komunitas mirip organisasi tapi tidak diorganisir oleh pihak-pihak tertentu. Arema katanya adalah sebuah organisasi yang berjalan ibarat air mengalir hingga ke dahaga setiap orang yang ada di dalam komunitas itu.

"Jadi kami memang sangat beruntung berada dalam komunitas yang benar-benar menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan keikhlasan antarsesama ini," katanya.

Arema diakui Indra Azwan, juga merupakan komunitas kesayangan bagi masyarakat asal Malang, termasuk dirinya yang juga asli Malang.

Menurut Indra, Arema merupakan sebuah komunitas yang tidak memiliki komando, namun berjalan dengan baik dan rapi. Komando bagi Arema, kata dia, adalah sebuah salam "Satu Jiwa". Sebuah komando yang tidak pernah dimiliki oleh komunitas dan organisasi manampun yang ada di Tanah Air bahkan dunia.

Rasa sayang Indra terhadap Arema diakui juga telah melekat sejak lama. Bahkan, semua perangkat yang dibawanya sebagai bekal perjalanan panjangnya hampir seluruhnya memiliki makna tentang komunitas warga Malang itu.

"Termasuk pakaian yang saya kenakan saat ini. Kaos berlambangkan singa. Singa adalah lambang dari Arema. Begitu juga kerpus (topi penutup kepala) yang saya pakai, juga ada tulisan Arema-nya," kata dia.

Arema, diakuinya juga merupakan sumber rasa simpatik yang ia dapatkan saat ini dalam mencari keadilan. Tanpa Arema yang ada di seluruh penjuru Tanah Air, menurut dia, tidak akan ada rasa simpatik dari khlayak yang selama ini mendukung penuh perjuangannya.

"Hanya celana saja yang tidak ada kaitannya dengan Arema," katanya.

Walau demikian, celana loreng yang dikenakannya memiliki makna tersendiri yang juga melekat erat pada perjalanannya.

Loreng baginya, adalah lambang sebuah berjuangan dan keberanian bagi umat manusia. Loreng menurutnya juga bukan sebuah lambang alat kekuasaan, melainkan tanda demi tercapainnya sebuah keadilan.

"Dengan ini semua, saya tidak pernah takut untuk berjalan sendiri menuju Mekkah dalam mencari keadilan yang se-adil-adilnya bagi anak saya dan masyarakat negeri ini," katanya.

Perjalanan Indra masih sangat panjang. Di Pekanbaru, Indra dan Poedji berencana akan menginap selama tiga hari sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Kota Dumai yang berlokasi di pesisir timur Provinsi Riau.

Kebersamaan keduanya juga terputus sampai di Dumai. Poedji harus kembali bersama keluarganya di Malang menjalani kehidupan normalnya sebagai seniman. Sementara Indra, harus masih berjuag dengan berjalan kaki menuju Mekkah dengan terlebih dahulu melintasi berbagai negara lainnya.

Sebelum mencapai tanah suci, Indra terlebih harus menyebrangi lautan untuk mencapai daratam Malaka, Malaysia dan kemudian mengarah ke Thailand-Myanmar-India-Pakistan-Iran dan Kuwait.

Di Mekkah, Indra megaku hanya akan mendekatkan diri kepada sang pencipta, berdoa guna mendapatkan keadilan yang selama ini tak kunjung diraih.

Harapan yang lebih luas bagi pria pencari keadilan, kedepan bangsa ini agar lebih bijak dalam penegakan hukum, tanpa harus memandang pelaku atas kejahatan tertentu, namun demi penegakan hukum yang se adil-adilnya.