Jalur pipa minyak sebagai pembuka akses Riau

id PT CPI, sejarah jalan riau,caltex

Jalur pipa minyak sebagai pembuka akses Riau

Bertemunya pembangunan jalan Dumai-Duri dan Minas-Duri pada 19 Maret 1958. (ANTARA/HO-PT CPI)

Pekanbaru (ANTARA) - Dulu Riau mengandalkan sungai-sungai besar untuk jalur transportasi, di antaranya, Sungai Kampar dan Sungai Siak. Ini merupakan jalur yang digunakan untuk perdagangan dari Sumatera Barat atau Riau menuju Selat Malaka.

Untuk memotong jarak, dilakukan transit dari Sungai Kampar ke Sungai Siak dengan akses darat. Yaitu dari Taratak Buluh, Kabupaten Kampar, ke tepian Sungai Siak di Pekanbaru usai perjalanan yang disebut pelayangan. Setelah itu, pada masa kolonial dibangun jalan dari Payakumbuh, Sumatera Barat, ke Pekanbaru, yang merupakan satu-satunya jalan raya di Provinsi Riau pada masa itu.

Kini kondisinya sudah jauh berbeda. Akses di Riau sekarang jauh berkembang, menghubungkan antar kabupaten/kota maupun ke provinsi lain.

Sekretaris Dinas Perhubungan Provinsi Riau Raja Saspi Kurniawan menuturkan, jalan-jalan di Bumi Lancang Kuning beberapa di antaranya berawal dari jalan operasional perusahaan minyak bumi dan gas (migas) PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI), yang dulu bernama Caltex.

Salah satunya adalah jalan Pekanbaru-Dumai yang sekarang berstatus sebagai jalan nasional. Jalan tersebut merupakan jalur lintas ke Provinsi Sumatera Utara. Jalan itu juga menopang berbagai aktivitas ekspor/impor untuk menuju/dari pelabuhan di Dumai. "Akses penting lainnya adalah Jembatan Siak I yang juga dibangun oleh Caltex. Jembatan tersebut turut mendukung perkembangan Kota Pekanbaru," ulasnya saat ditemui belum lama ini. Jalan bekas operasional Caltex juga dapat dilihat pada ruas Minas-Perawang-Tanjung Buton di Kabupaten Siak.

Berawal dari penemuan Lapangan Minas

Penemuan minyak di Provinsi Riau memang menjadi titik sejarah yang menukilkan masa depan Tanah Melayu. Seiring peningkatan kegiatan produksi migas, pembangunan jalan operasional turut membuka akses ke berbagai wilayah di Riau.

Cerita berawal dengan ditemukannya minyak di Minas pada 1939. Richard H Hopper dalam tulisan Penemuan Lapangan Minyak Minas" pada Majalah Oil Progress terbitan Caltex Petroleum Corporation edisi I tahun 1976 mengisahkan, di daerah Minas saat itu belum ada jalan yang dapat dilalui truk.

Oleh karena itu, mau tidak mau, jalan harus dibangun. Caltex kala itu menugaskan Samingun, seorang surveyor utama Perusahaan, untuk menetapkan dan membuat jalan terdekat ke lokasi pemboran dari suatu titik di Sungai Siak. Samingun membuat jalan rintis utara ke arah lokasi pemboran sepanjang kurang lebih 35 kilometer, melintasi bukit-bukit. "Seluruh pekerjaan ini dilakukan dengan tenaga manusia. Menurut ukuran modern, (ini) memakan waktu yang sangat lama. Samingun menyelesaikan pembangunan jalan ini pada bulan September 1941," tulis Hopper.

Mungkin kita tidak begitu kenal dengan sosokSamingun. Tapi tanpa disadari, jalan yang dibuat atas jasa Samingun itulah sekarang yang kita gunakan dari Pekanbaru sampai Minas.

Tak berhenti di situ, pada 20 April 1952 masih menurut Richard H Hopper dalam bukunya berjudul Ribuan Tahun Sumatera Tengah ~ Sejarah Manusia, Rempah, Timah & Emas Hitam (2016), minyak Minas mulai berproduksi dan dialirkan melalui pipa ke Perawang di pinggir Sungai Siak. Dari situ dipindahkan ke kapal-kapal tangki di sungai menuju pelabuhan samudera Sungai Pakning di muara Sungai Siak. Keberadaan pipa penyalur itu turut membuka akses jalan dari Minas ke Perawang.

Pejabat Sementara Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Wilayah Sumatera Bagian Utara Haryanto Syafri mengatakan sisi positif jika kontraktor migas membangun pipa adalah jalan juga harus dibangun. Ini untuk mempermudah akses saat pemasangan dan pemeliharaan pipa. "Semua yang dibangun itu menjadi aset negara atas nama Kementerian Keuangan. Karena dalam kontrak hulu migas dibunyikan semua aset dan hasil belanja jadi milik negara," katanya.

Ekspor migas dari Minas melalui Sungai Pakning berlangsung hingga tahun 1957. Semakin bertambahnya produksi Minas dan keberhasilan pengeboran lapangan minyak baru di Pungut, Kotabatak, dan Bekasap membuat Caltex memikirkan cara baru untuk menyalurkan minyak, termasuk untuk minyak dari Duri.

Kemudian diluncurkanlah proyek pengembangan Duri dan Dumai yang meliputi berbagai pembangunan instalasi minyak, jalan, pipa saluran bergaris tengah 60-75 cm, dan pelabuhan minyak Dumai sebagai gerbang ekspor.

Pengerjaan jaringan pipa ke Dumai

Dalam Pipeline to Progress, the Story of PT. Caltex Pacific Indonesia dijelaskan bahwa situasi Minassaat itu cukup ideal. Punya jalan yang sudah dirintis dan dekat dengan Sungai Siak yang bisa mengapungkan kapal tanker seberat 4.000 ton.

Berbeda dengan Duri, yang lebih dekat dengan Dumai di laut sisi timur Pulau Sumatera dibandingkan dari Sungai Pakning. Pada awal ditemukannya Duri pada 1941, kombinasi jalan dan pipa Duri-Dumai telah dirancang. Namun tertunda karena Perang Dunia II. Hingga akhirnya dilanjutkan kembali pada tahun 1957, ketika produksi Duri yang potensial hendak dihubungkan dengan jalur permanen Minas.

Kegiatan pembangunan pipa dan jalan antara Duri-Dumai dan Minas-Duri dibagi dua tahap. Pertama, jalan sepanjang 150 kilometer untuk pemasangan pipa penyalur utama. Tahap kedua, Pelabuhan Dumai dan tangki penyimpanan di Minas, Duri, serta Dumai.

Pembangunan jalan penuh dengan tantangan karena harus membuka hutan rawa yang lebat dan membuat jalan di atas kondisi tanah yang minim batu keras. Pekerjaan ini memakan waktu setahun penuh dengan dibagi dua kelompok terpisah, yakni Dumai-Duri dan Minas-Duri. Pekerjaan itu juga sesekali diiringi kemunculan harimau, ular, maupun gajah liar. Beberapa seksi bahkan harus dikonstruksi ulang karena lumpur, rawa dan hujan. Parahnya lagi, rawa lumpur itu juga mengancam untuk “menelan” manusia dan mesin.

Tibalah pada 19 Maret 1958, dua kelompok pekerja itu bertemu dengan ditandai dua truk saling membelakangi, artinya jalan sudah terhubung. Dan, pada 15 Juli 1958, minyak pertama dari Duri tiba di Dermaga Dumai.

Pada waktu yang sama terlihat perkembangan yang pesat di Dumai, yang sebelum tahun 1957 hanya berpopulasi 200 penduduk. Selanjutnya berkembang menjadi 5.000 pada tahun 1958 dan 8.000 jiwa pada tahun 1962.

Terkait pipa jaringan Minas-Dumai tersebut, Haryanto Syafri menyampaikan bahwa penyaluran minyak mentah melalui pipa lebih aman dan efisien dibandingkan menggunakan truk. Dengan dibangunnya pipa tersebut, maka dibuat juga jalan di sebelahnya untuk mendukung operasional. "Jalan dan pipa itu satu kesatuan. Memang harus ada ruang untuk perbaikan dan mobilisasi alat, itu istimewanya," ungkapnya.

Jalan di atas gambut

Setelah Minas-Duri-Dumai, Caltex melakukan pengembangan menyusul penemuan minyak di Area Zamrud, yang berada di Kabupaten Siak sekarang ini, pada 1975. Pembangunan jalan cukup menantang karena wilayahnya berupa rawa gambut yang tebal. Pipa penyalur puluhan kilometer juga dibangun menuju Minas.

Pada tahun 1975, Caltex memperkenalkan sistem corduroy (bantalan batang pohon) sebagai tumpuan pembangunan jalan di permukaan tanah bergambut. Batang-batang pohon disusun melintang sedemikian rupa di badan jalan, kemudian di atasnya dilapisi tanah dan digelar sejenis karpet yang kedap air. Selanjutnya, PT CPI juga mengujicobakan pembuatan jalan terapung alternatif menggunakan gabus putih atau expanded polysterene yang disingkat EPS.

Haryanto Syafri menyampaikan, kegiatan operasional di atas permukaan gambut memang membutuhkan teknologi. "Jadi banyak jalan dibuat berpondasi seolah-olah seperti jembatan, seperti rumah ada batangan beton di tiang. Butuh teknologi pilar penyangga di bagian-bagiannya sehingga menjadi konstruksi yang kokoh," ujar Pjs Kepala Perwakilan SKK Migas wilayah Sumbagut itu.

Tak hanya memberikan pendapatan bagi negara dan daerah secara signifikan, perjalanan dan perkembangan industri hulu migas juga menjadi pembuka akses bagi berbagai wilayah/daerah di Riau. Keterbukaan akses tentu turut mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga Riau terus berkembang hingga seperti sekarang.