Siak (ANTARA) - Melintasi jalan Pekanbaru menuju Dumai, daerah luar pertama yang dilewati adalah Minas, dalam administrasi sekarang masuk wilayah Kabupaten Siak. Pada jalanan sana akan terlihat Gathering Station Minyak dan Bumi PT Chevron Pasific Indonesia.
Selain aktivitas migas, di tempat tersebut terdapat juga sebuah monumen sumur pertama ladang minyak tersebut. Disebut MinasNo 1. Siapa sangka perjuangannya untuk itu tidak main-main, melibatkan manusia dari sejumlah negara.
Cerita berawal dari zaman penjajahan Belanda dimana geliat revolusi industri juga muncul di daerah koloni. Akhir abad ke-19 dan awal abad 20 era penambangan, Pulau Sumatera menjadi konsentrasi kolonialisme di samping perkebunan.
Seorang geolog atau ahli batuan asal AS, Richard H Hopper dalam bukunya berjudul Ribuan Tahun Sumatera Tengah ~ Sejarah Manusia, Rempah, Timah & Emas Hitam (2016) mengisahkan ada enam mineral di Sumatera Tengah yang sudah digali yakni emas, perak, timah,batu bara, semen, dan bauksit. Minyak bumi yang menjadi mineralkomersial ketujuh.
Akhir abad ke-19, sejumlah perusahaan kecil Belanda didirikan untuk memproduksi dan menyuling minyak di di Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Konsesi produksi minyak yang paling awal adalah sebagaimana terjadi di Telaga Said yang diberikan oleh Sultan Langkat (Sumatera Utara) pada 8 Agustus 1883 kepada A.J. Zijlker.
Konsesi pertama inilah yang kemudian membentuk Royal Dutch Petroleum Company. Beberapa tahun kemudian, perusahaan ini juga memulai usaha di Sumatera Selatan di Palembang, Muara Enim, dan Musi Ilir. Pada 1907, dilakukan merger dengan Shell Transport dan Trading Company membentuk Bataafsche Petroleum Mij. (BPM).
Akhirnya BPM inilah yang melakukan monopoli usaha minyak dan kilang di Indonesia termasuk di Jawa dan Kalimantan. Hingga akhirnya gabungan perusahaan Amerika pada 1912—yang mengendalikan Nederlandsche Koloniale Petroleum Mij.(NKPM) maramaikan kegiatan migas dengan wilayah di Sumatera Selatan juga.
Terlihat aktivitas migas hanya terkonsentrasi pada Sumut dan Sumsel, sementara Sumatera Bagian Tengah belum dilirik. Meskipun BPM maupun NKPM mendirikan terminal-terminal tanker dalam air di Pulau Sambu dan Tanjung Uban pada 1920.
Selanjutnya memang ada kunjungan singkat R.N. Nelson—seorang geolog dari Standard Oil Company of California ke Pekanbaru dan wilayah selatannya pada Juni 1924. Namun tidak membuat perusahaan ini langsung menunjukkan ketertarikan untuk melakukan eksplorasi di Sumatera Tengah.
Sementara Perusahaan Belanda BPM melalui penelitian geologi Sumatera Tengah Arnold Heim pada 1928 malah menyimpulkan secara pasti bahwa daerah itu tidak memiliki prospek yang menguntungkan sebagai wilayah penghasil minyak. Ditambah lagi dengan adanya publikasi sebuah peta pada 1930 yang digambar oleh L.J.C. van Es, seorang geolog dari Netherlands Indies Mining Service atau Dinas Pertambangan Hindia Belanda.
"Peta ini menunjukkan singkapan granit pra-Tersier di Lapangan Udara Pekanbaru serta singkapan endapan zaman Trias dan granit pada perbukitan rendah di hilir Sungai Rokan, dekat Sintong. Salah satu sampel diidentifikasi sebagai granit yang membusuk di tempat. Padahal, sebenarnya material itu adalah lempung—batuan tuff Pleistosen berwarna cokelat kemerah-merahan atau yang sekarang dinamakan sebagai formasi Minas," tulis Hopper.
Begitulah kenyataannya BPM sebagai representasi Belanda mengabaikan Sumatera Tengah dan menganggapnya sebagai wilayah yang tak menguntungkan. Padahal usahanya hanya menggali lubang dangkal yang dikerjakan sambilan ketika membuat landasan pacu Bandara Pekanbaru di Simpang Tiga.
Pencarian oleh Amerika
Setelah kunjungan singkat dari Richard N. Nelson pada tahun 1924, Socal berusaha mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan migas di Indonesia. Namun lebih memilih Kalimantan Timur karena dianggap lebih baik setelah dilakukan penelitian geologi selama empat tahun.
Hingga akhirnya pada 1935, perusahaan itu menerima tawaran Pemerintah Hindia Belanda untuk mengekplorasi Sumatera Tengah seluas 600 ribu hektare. Richard H Hopper dalam "Penemuan Lapangan Minyak Minas" pada Majalah Oil Progres terbitan Caltex Petroleum Coorporation edisi pertama tahun 1976 menuturkan Socal juga mengirim James P. Bailey, seorang ahli geologi berasal dari California, ke Sumatra.
Selama enam bulan dengan dibantu oleh empat orang, ia menyarankan suatu daerah yang kemudian dikenal dengan nama "Rokan Block". Sebuah perusahaan yang telah dibentuk di Belanda pada 1930 sebagai cabang Socal, Nederlandsche Pacific Petroleum Mij. (NPPM) yang kemudian mengambil izin penambangan tersebut. Sedangkan saudara tuanya NKPM mulai datang ke Sumatera Tengah dari Palembang untuk wilayah Lirik, Rengat.
Sementara penyelidikan geologis tahun-tahun 1936 dan 1937, terdapat keyakinan yang semakin kuat bahwa prospek minyak yang lebih besar terletak agak ke sebelah selatan. Blok Rokan yang awalnya memanjang kemudian menjadi seperti Kangguru dengan kaki-kakinya di bagian selatan. Pada masa itu pula Texaco menggabungkan diri dalam operasi di Indonesia, maka lahirlah Caltex.
Dalam tahun 1938, seorang ahli geologi Amerika bernama Walter E. Nygren dikirim untuk menyelidiki bagian selatan. Diapun bersama anggotanya dari Hulu Sungai Siak kemudian merintis jalan dari Palas, menebas hutan belantara, menggali tiga ribu lubang dengan gurdi yang diputar dengan setiap 200 meter untuk mengambil contoh batuan.
"Daerah ini dinamakannya Minas, mengambil nama sebuah perkampungan Sakai yang berdekatan dengan daerah itu. Konon nama itu berasal dari nama pohon minei, yang buahnya digunakan sebagai bahan minyak goreng," sebut Hopper.
Meski begitu, kesimpulan Nygren belum bisa dieksekusi sepenuhnya dan diputuskan dengan menggunakan bor tangan counterflush yang mampu menembus sampai sedalam 1.500 kaki. Dalam hal inilah kemudian Richard H Hopper dikirim ke Minas pada tahun 1939.
Hopper membawa perlengkapan bor dan logistik itu dari Palas selama dua hari dengan beban. Bor yang memiliki tiga kaki baja bisa dipikul dua orang dan menjalankannya berdelapan tenaga manusia bekerja selama tujuh bulan, tapi untuk memastikan minyak diperlukan seismograf refleksi.
Sementara pengerjaan di Minas masih berjalan, suatu keberhasilan pengeboran pertama terjadi di Sumur Sebanga, timur laut hulu Sungai Mandau yang ditemukan oleh NPPM pada Juni 1939. Di kemudian hari, minyak juga ditemukan di Lirik, dekat Rengat, oleh NKPM tahun 1940.
Maka dari itu, salah satu rombongan seismik ini dipindahkan ke Minas tahun 1940. Selang menunggu hasil Minas, ladang minyak ketiga ditemukan di Duri, dekat Sebanga, oleh NPPM pada Januari 1941. Sementara Hopper juga meninggalkan Minas dan tak kembali hingga usai Perang Dunia II.
Hasil seismik kemudian menyatakan di Minas itu menunjukkan adanya suatu anticline atau cembung yang besar dan berlipat-lipat yang sangat ideal bagi akumulasi minyak. Dari Kantor Caltex di Medan ditentukan titik tertinggi untuk dilakukan pengeboran No. 1 di Minas.
Untuk itu peralatan Mercu Bor dikirim ke Pekanbaru, namun sebelum itu harus ada jalan yang bisa dilalui truk. Jalan rintis yang digunakandari Palas dianggap terlalu jauh maka dicarilah jalur tercepat. Akhirnya dipilih jalur yang dari Rumbai sekarang kurang lebih 35 kilometer melintasi bukit-bukit dan selesai September 1941.
Tidak lama setelah itu truk-truk dan perlengkapan-perlengkapan pemboran tiba dan didirikan kemah-kemah serta mulai memasang mercu bor. Setelah terpasang, peralatan di lokasi Minas no. 1 bersiap-siap untuk membor namun berakhir malang.
Tiba-tiba Perang Dunia II pecah. Tentara Jepang dengan cepat bergerak ke Kawasan Asia Tenggara. Karyawan-karyawan Caltex diperintahkan meninggalkan Minas serta lapangan-Iapangan minyak Duri, Lirik dan Sebanga yang belum mulai berproduksi. Akhirnya dua perusahaan milik orang Amerika yang mengadakan eksplorasi minyak di Sumatera Tengah belum memperoleh hasil, meski sudah menghabiskan 15 juta US dolar.
Ditemukan Jepang
Kedatangan Jepang di Indonesia masih menurut Hopper secara khusus memang untuk minyak untuk menyokong kebutuhan perang. Di Sumatera, sumur dan kilang minyak langsung diambil alih dan dikomandoi dari Sumatera Selatan. Di Sumatera Tengah dipimpin langsung oleh seorang kolonel yang markas besar di Air Molek—dekat ladang minyak Lirikmilik NPPM yang kemudian direbutnya, begitu juga di Sebanga dan Duri.
Jepang membawa serta unit-unit teknis khusus yang semata-mata dipekerjakan untuk memproduksi dan mengilang minyak sebanyak yang dapat dilakukan. Jepang pun akhirnya menemukan sumur minyak Minas No.1 pada Desember 1943 dengan peralatan dan jalan yang sudah disiapkan NPPM.
Dengan peralatan itu Jepang mengebor minyak hingga kedalaman 2.107 kaki (700 meter) sampai September 1944 dan akhirnya minyak ditemukan, namun kisah lengkapnya baru terungkap oleh Hopper pada 1975. "Syukurlah, tahun 1975 saya bertemu dan berkenalan untuk pertama kalinya dengan seorang ahli geologi Jepang yang ditugaskan di Sumur Minas No. 1 pada waktu dilakukan pemboran tersebut," ujar Hopper.
Ketika itu pada Mei 1974 PT Caltex. Pacific Indonesia mendapat permintaan dari Pertamina untuk menerima kunjungan seorang pengusaha minyak dari Jepang yang sedang berada di Jakarta. Tamu yang tidak begitu dikenal latar belakangnya itu adalah Toru Oki dari Japan Petroleum Exploration Company (Japex) yang juga menjadi salah seorang Direktur Japex Indonesia Ltd beroperasi di Kalimantan Timur berdasarkan kontrak bagi-hasil dengan Pertamina.
Oki mengatakan ia ingin mengunjungi Minas untuk mengenang masa "tempo doeloe" karena ia pernah bekerja di sana 30 tahun sebelumnya. Terungkaplah bahwa ialah ahli geologi yang dulu ditugaskan membor Minas No.1 dan ingin meiihat sumur yang sekarang menjadi tersohor itu. Okipun menyempatkan berfoto di samping pompa pada sumur yang melahirkan lapangan minyak terbesar di Asia Timur itu.
Oki menceritakan suatu hari dalam bulan September 1944, tiba-tiba timbul iIham dalam dirinya. Ia katakan kepada petugas-petugas pemboran bahwa mereka kira-kira tengah malam nanti atau waktu subuh akan menemukan pasir yang mengandung minyak.
"Tengah malam saya dibangunkan oleh seorang karyawan. Saya segera menuju lokasi pemboran. Di sana saya lihat berserakan pasir yang berwarna coklat bergelimang minyak. Tiga hari tiga malam saya bekerja keras tanpa tidur untuk membuat catatan lithologis inti dan mempersiapkan contoh untuk dianalisa," ujar Oki dalam Tulisan Hopper.
Ramalan Oki yang jitu, Minas No.1 ditemukan dan menjelang akhir tahun 1944 Jepang membangun sebuah penyulingan kecil di dekatnya dan menghasilkan sejenis bensin yang rendah mutunya serta minyak tanah. Minyak itu diangkut dengan truk pakai drum ke Pekanbaru tapi jumlah keseluruhan minyak bumi yang dipompa dari Minas hanya mencapai beberapa barrel saja.
Begitulah hingga Jepang kalah perusahaan Caltex kembali lagi namun belum dibolehkan Tentara Inggris yang memegang kendali karena kondisi belum aman. Hopper pun hanya bisa meminta sampel dan dua kaleng dikirimkan Tentara Jepang. Setelah diteliti di AS dan Jepang telah pergi, Hopper pun berniat datang lagi ke Minas dengan ditolong oleh Surat Pas Agus Salim, Menteri Luar Negeri saat itu.
Lanjut setelah Indonesia merdeka, PT. Chevron Pacific Indonesia meneruskan kegiatannya di Riau dengan pengeboran sumur Minas ke-2 sebagai sumur pengembangan. Pada tahun 1952, Lapangan Minas mulai berproduksi dan pertama kali dilakukan ekspor sampai sekarang.
Petroleum Engineer PT CPI, Agus Masduki mengatakan teknik awal produksi minyak Lapangan Minas dibagi menjadi tiga tahap. Pertamatahap "Natural Flow" sebagaimana umumnya lapangan minyak adalah menggunakan tenaga alam di mana sejak 20 April 1952 sebanyak 35 sumur pada berproduksi secara "natural flow".
Kemudian menggunakan Pompa Angguk (Sucker Rod Pump, SRP) pada164 sumur. Sistem pengangkatan buatan yaitu pompa angguk adalah untuk menjaga kestabilan produksi sumur-sumur yang tidak mampu lagi berproduksi secara alamiahkarena menurunnya tenaga dorong yang mengangkat minyak ke permukaan.
Selanjutnya tahun 1960 mulai dikembangkan Pompa Listrik Bawah Permukaan (Electric Submersible Pump, ESP). Tahun 1970dimulai teknologi injeksi air di pinggir lapangan atau sistem "peripheral" yang bertujuan untuk menjaga tekanan reservoir.
"Beberapa sumur dibor di area pinggir lapangan kemudian dilakukan injeksi air untuk menjaga tekanan reservoir. Dengan ini produksiminyak mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1973 dengan produksi 440.000 barrel per hari," ungkap Agus.
Akan tetapi teknik itu hanyabertahan sampai tahun 1993hingga kemudian diterapkan konseppengembangan sistem injeksi air berpola tujuh titik terbalik (Inverted Seven-Spots) dimulai pada bulan Desember 1993.Di lapangan Minas, digunakan tujuh "spot inverted" atau satu sumur injeksi untuk enam sumur produksi dan lima "spot inverted", satu sumur injeksi untuk 4 sumur produksi).
"Air yang diinjeksikan ini akan mendorong minyak untuk bergerak ke sumur produksi sehingga terjadi peningkatan produksi. Denganmetode 'waterflood' ini Lapangan Minas bisa meningkatkan perolehannya sampai sekitar 50 persen lebih dari sebelumnya," tambahnya.
Selain metode waterflood lapangan Minas dalam rangka pengembangan ke depan juga telah melaksanakan beberapa uji coba. Terakhir dilakukan adalah injeksi surfaktan yang masih dalam tahap evaluasi untuk pengembangannya.