Siak Sri Indrapura Destinasi Zaman Doeloe

id siak sri, indrapura destinasi, zaman doeloe

Siak Sri Indrapura Destinasi Zaman Doeloe

Kesan dan nuansa kebesaran zaman kerajaan sangat terasa jika anda untuk pertama kali berkunjung ke Siak Sri Indrapura, Riau.

Istana Siak, itulah destinasi yang pertama kali menarik untuk dilihat. Istana yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Siak masih terpelihara sesuai aslinya dan tertata dengan rapi.

Sebenarnya, Kerajaan Siak bermula dari suatu daerah yang dinamakan Buantan. Disinilah pada tahun 1723 M didirikan Kerajaan Siak oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah seorang putera Raja Johor, Malaysia. Kemudian Sultan ini mangkat pada tahun 1746 M dan diberi gelar Marhum Buantan.

Tampuk pemerintahan kerajaan diteruskan oleh Tengku Buang Asmara bergelar Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765 M). Pada masa pemerintahan ini, sultan memindahkan ibukota dari Buantan ke Mempura pada tahun 1750 M.

Pada masa sultan ke IX pemerintahan Kerajaan Siak dipimpin oleh Said Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1827-1864). Pada masa beliau pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke Kota Siak Sri Indrapura di tepian Sungai Siak. Dan disinilah kita akan menemukan Istana Siak yang merupakan bukti kebesaran Kerajaan Melayu di Riau.

Perjalanan saya ke Kota Siak Sri Indrapura cukup mendebarkan, betapa tidak melewati Sungai Siak selama dua jam dengan speed boat. Sudah lama saya tidak melewati sungai, ada sedikit rasa takut, apalagi sungai Siak adalah sungai terdalam, itulah kabar yang saya dengar.

Sepanjang perjalanan dari Kota Pekanbaru, Riau saya membayangkan sebuah sstana nan megah. Dan layaknya kerajaan zaman dulu yang penuh dengan ornamen-ornamen antik dan barang-barang serba ‘wah’ serba kuno.

Tak sabar rasanya, berbekal sedikit pengetahuan tentang Kerajaan Siak saya mulai menapaki kota yang terkenal dengan wisata sejarah ini. Apalagi, ketika saya melewati sebuah jembatan nan indah tampak dari jauh dan melewatinya tepat dibawahnya Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah.

Tengku Agung Sultanah Latifah merupakan permaisuri pertama dari raja terakhir Kerajaan Siak, yakni Tengku Sulung Syarif Kasim yang ditabalkan sebagai sultan ke – 12 pada tahun 1915 dengan gelar Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin atau lebih dikenal sebagai Sultan Syarif Kasim II. Bagi yang sering berpergian ke Riau, tentunya nama ini tidak asing, karena merupakan nama bandara di Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau dan dinobatkan sebagai pahlawan nasional.

Pemerintahannya berakhir pada tahun 1945 bersamaan diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia. Sultan ini menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menyerahkan mahkota kerajaan serta uang sebesar sepuluh ribu Gulden.

Sejak itu, bersama dengan Permaisuri Mahratu, sultan hijrah ke Jakarta dan bermukim di sana hingga tahun 1960. Pada tahun 1968, sultan mangkat tanpa meninggalkan keturunan baik dari permaisuri pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Mahratu. Silsilah Kerajaan Siak pun terputus.

Pelabuhan sudah dekat. Tak lama mata sayapun tertuju ke sebuah bangunan yang kemudian saya tahu adalah Balai Kerapatan Tinggi ataupun Balairung Sri yang dijadikan ruang kerja sultan, aparatur pemerintahan serta tempat penobatan dan mahkamah pengadilan. Tepat berada di sebelah pelabuhan ketika saya menginjakkan kaki di tanah Melayu.

Pagi, Senin 23 Agustus 2010. Waktu terasa lama berputar, seorang teman tak kunjung datang menjemput. Lirikan mata ke arah jam dan celingukan mencari transportasi tiada terjumpa. Akhirnya, saya beranikan diri meminta jasa seorang yang tak dikenal, naluri kewartawanan saya tepat.

Sayapun diantar hingga ke gerbang istana. Arigato...tiba-tiba saya berbahasa Jepang. Nah lho!

Istana Matahari Timur

Terasa berbeda ketika menapakkan kaki pada tanjakan pertama memasuki pelantaran Istana Asserayyah Al Hasyimah atau lebih dikenal dengan Istana Siak dibangun pada tahun 1889 M pada masa pemerintahan Sultan ke XI yaitu Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 – 1908 M.

Memasuki Istana, rasa takjub tiba-tiba menyergap. Cermin besar berbentuk empet persegi panjang terpasang sedemikian rupa di sekeliling setiap ruangan. Seakan saya diperhatikan dari semua sudut dan bagian, betul kata guide yang memaparkan bahwa cermin itu digunakan sang raja sebagai spion. Wah! Betul-betul strategi yang membuat keder, beranikah ingin sedikit saja berbuat salah?

Istana berdiri megah di atas tanah seluas 3.5 Ha ini, merupakan hasil rancangan Vande Morte seorang arsitek yang didatangkan dari negeri Nazi, yakni Jerman. Namun, sesungguhnya desain Istana Siak merupakan perpaduan arsitektur Eropa, India dan Arab dengan perpaduan Melayu tradisional.

Ciri Melayu ini sangat kental terlihat di tangga berbentuk spiral yang berada tepat sisi kiri dan kanan menuju lantai 2 yang terdiri dari ruang peraduan. Tangga dari besi berhiaskan rangkaian motif Melayu , tampak sangat indah.

Keindahan lainnya terpancar dari sisi dinding keramik motif Melayu berwarna putih dan biru. Nah, mata saya kembali berdecak kagum melihat isi keseluruhan ruang demi ruang, serba kristal! Gelas...barang pecah belah lainnya, hiasan bunga...hingga ke kursi makan pun tak lepas dari yang namanya kristal. Benar-benar wah...tiada kata lain lagi yang dapat saya lukiskan untuk ketakjuban ini.

Belum lagi guci-guci besar nan indah memancarkan warna lukisan dari Cina mempercantik pemandangan sudut-sudut ruangan. Benarlah ungkapan ’’Istana Matahari Timur’’ itu.

Dan sekelebat saya bayangkan hidup pada zaman itu dan menjadi bagian keluarga kerajaan, apakah seperti kisah-kisah cinderella....ah entahlah.

Cermin Awet Muda

Barang antik yang sangat menarik perhatian saya ketika mata dengan takjub memandangi isi demi isi menghiasi ruangan istana. Mata terfokus pada satu benda yang memanculkan cahaya silau...cermin.

Sebuah mitos meluncur dari Zulkarnain, koordinator pengelola Istana Siak. Ia, mengatakan bahwa ini adalah cermin permaisuri, tempat permaisuri berhias diri. Terakhir digunakan oleh Permaisuri Mahratu. Mitosnya jika bercermin di sana dan meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bisa membuat awet muda. Mau percaya?

Mendengar penjelasan tersebut, sontak Ayin (40) wisatawan dari Bengkulu menghadap ke cermin, mana tahu benar...harapnya.

Selain cermin awwt muda yang berbingkaikan perak, di istana itu juga terdapat alat musik yang sangat unik. Namanya pun terasa asing yakni Komet, sejenis gramafon. Konon hanya ada dua di dunia. Yakni di Jerman dan di Istana Siak Sri Indrapura.

Komet tersebut dibawa sultan saat kembali dari kunjungannya ke Jerman dan beberapa negara Eropa.

Cara menggunakannyapun manual dan sampai sekarang masih berfungsi dengan baik. Hanya saja, piringan musiknya itu, berat sekali terbuat dari bahan kuningan dan dari piringan ini mengalun musik merdu karya-karya Beethoven dan Mozart.

Saat raja menikmati hidangan bersama kerabat raja ataupun menjamu tamu raja musik ini akan diperdengarkan.

Brankas Besi Misterius

Brankas berukuran sekitar 1 x 1,5 m berwarna hitam masih menyisakan misteri hingga kini. Menurut Zulkarnain, sudah berbagai upaya dilakukan untuk membukanya. Namun, hasilnya nihil.

Pada brankas tersebut tampak lubang-lubang kecil bekas di bor di beberapa titik, namun brankas tak jua bisa dibuka.

Bahkan sekitar Mei 2009 lalu pernah dilakukan secara kebatinan, tetap tidak menunjukkan hasil. Menurut kisah masyarakat di Siak seperti dituturkan Adi (39), ada seseorang datang ke Istana Siak bernama Wan Ibrahim (25) mengaku menerima wangsit melalui mimpi. Di dalam mimpinya tersebut, Wan Ibrahim-lah yang diutus untuk membuka brankas.

Mau percaya atau tidak, setelah ia melakukan prosesi kebatinan tersebut, langit tiba-tiba mendung dan petir menggelegar. Namun, brankas tetap tidak terbuka. Entah sampai kapan brankas tersebut menjadi saksi bisu tentang kebesaran Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Ternyata Istana Siak tak cukup hanya membuat saya takjub dengan kemegahan dan kemewahan, keanehan dan satu lagi yang membuat saya bertambah heran. Sumur tua yang tak pernah kering dengan air yang jernih.

Konon air yang ada di sumur tersebut mampu mengobati penyakit kulit.

Sungguh mukjizat jika benar demikian. Wisatawan dari Jawa Barat yang dijumpai tengah memasukkan air dengan cara menimba ke dalam botol agua. ’’Saya akan bawa pulang ke Jawa Barat,’’ ucapnya yakin.

Sang Permaisuri yang Heroik

Salah seorang permaisuri Sultan Syarif Kasim adalah Mahratu. Kisah tentang permaisuri sultan ini terukir dalam untaian syair :

Tengku Mahratu permaisuri terpilih

Menyematkan simbol merah putih

Di lengan baju Sultan nan bersih

Sebagai pengayom TKR tanpa pamrih

Syair tersebut melukiskan betapa ksatria yang dilakukan oleh Permaisuri Mahratu, yakni menaikkan bendera merah putih untuk pertama kalinya di Istana Siak. Kerajaan Siak Sri Indrapura kala itu. Dapat dibayangkan keberanian seorang perempuan masa itu menengadahkan kepala dan wajah ke langit serta tangan menarik tali yang mengikat erat sang merah putih, siap mati tertembak oleh Belanda.

Kerajaan Siak pada masa itu di bawah kekuasaan Belanda yang berpusat di seberang sungai, tepatnya di Benteng Hilir. Walaupun takluk pada Belanda melalui ”traktak Siak” pada masa pemerintahan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalalluddin (1827-1864), namun Belanda tidak diperkenankan menguasai kawasan Istana Siak. Karena itulah pusat pemerintahan Belanda berada di seberang sungai.

Adalah Tengku Fatimah Fadlun menggantikan permaisuri pertama bernama Tengku Agong Sultanah Latifah yang wafat dalam usia muda yang tak lain kakak kandung dari Tengku Fatimah Fadlun. Kemudian, Tengku Fatimah Fadlun diberi nama oleh Sultan Syarif Kasim II dengan Gelar Permaisuri Mahratu.

Tengku Romainur (55) sebagai seorang anak dari veteran Kabupaten Siak bernama Tengku Nazar kembali mengisahkan asal muasal sang merah putih merupakan selendang dari Permaisuri Mahratu yang berwarna putih dan merah dan digabungkan dengan menggunakan peniti. Dapatlah kita bayangkan, saat-saat yang mengharukan sekaligus mencekam.

Peristiwa ini terjadi pada akhir September 1945 bendera merah putih berkibar di halaman Istana Siak, Kerajaan Siak Sri Indrapura saat itu. Heroik!

Kebenaran ini juga diungkapkan oleh tokoh masyarakat Kabupaten Siak, Abdul Manan (70) yang menceritakan bahwa yang menaikkan bendera merah putih tersebut tak lain adalah Permaisuri Mahratu.

”Kenyataan itu saya peroleh dari ayahanda saya sendiri yang dipercaya Sultan Syarif Kasim sebagai penasehat Sultan kala itu yang bernama Lebay Abdul Muthalib Harahap,’’ tutur Manan saat ditemui di Siak.

Kebenaran lain terungkap juga tentang Permaisuri Maharatu yang menaikkan bendera merah putih dalam buku catatan serang pejuang karya Letkol Hasan Basri yang berjudul “Menegakkan Merah Putih di Daerah Riau” (1985).

Tertulis dalam buku tersebut, Tengku Mahratu permaisuri Sultan Siak menaikkan bendera merah putih di halaman Istana Siak Sri Indrapura pada akhir September 1945.

Mahratu didampingi oleh Ketua Wanita Siak T. Atfah dan pemuka-pemuka masyarakat lainnya di dalam Kerajaan Istana. Sejak itu, mulailah bergelora semangat revolusi di daerah Kerajaan Siak Sri Indrapura.