Pekanbaru (ANTARA) - Saat bencana kabut asap melanda Kota Pekanbaru dan sekitaranya akibat Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), semua kalangan baik masyarakat biasa hingga pejabat tinggi panik. Bahkan, aksi demonstrasi besar-besaran di Bumi Lancang Kuning itu marak untuk segera mengatasi hal tersebut.
Kala itu Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) atau PM 10 mencapai level berbahaya, mengundang kekhawatiran masyarakat.
Tidak sedikit anak-anak, ibu hamil dan lansia diungsikan untuk mendapatkan udara sehat, serta menghindari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan penyakit lainnya yang rentan kambuh akibat asap.
Kini ketika udara kembali pulih, kebakaran hutan dan lahan sudah tidak ada lagi. Seolah semua masalah polusi udara berlalu. Padahal di luar itu dalam keseharian masyarakat, masih ada hal yang juga perlu diwaspadai sama bahayanya dengan kabut asap yaitu, polusi udara yang diakibatkan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang timbul dari research octane number (RON) rendah atau Oktan rendah.
Pengamat Lingkungan Dr Elviriadi, S.Pi, M.Si
mengatakan polusi yang ditimbulkan oleh penggunaan BBM yang tidak ramah lingkungan atau beroktan rendah, sama bahayanya dengan dampak kabut asap. Karen BBM oktan rendah dapat mengganggu saluran pernafasan, apalagi di jalanan yang padat kendaraan. Yang punya risiko asma bisa lebih memicu asma, sampai jangka panjang bisa menimbulkan kanker paru-paru.
"Emisi kendaraan bermotor menjadi salah satu sumber pencemar udara di samping sumber pencemar lain, seperti asap Karhutla, industri migas, dan lain-lain," kata Elviriadi.
Pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas mengakibatkan gangguan kesehatan.
Hal ini terjadi karena terdapat reaksi hidrokarbon (HC) di udara dan membentuk ikatan baru yaitu plycyclic aromatic hidrocarbon (PAH).
Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker. Kanker akibat pencemaran udara erat kaitannya dengan radikal bebas, yang pada umumnya mengakibatkan ketidaknormalan dalam metabolisme tubuh.
Banyak pakai premium
Ketua Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI ini juga menyatakan masyarakat Indonesia khususnya Riau saat ini masih dominan menggunakan bensin atau premium beroktan 88 atau rendah, sebagai bahan bakar kendaraan, baik roda dua maupun empat. Walau sudah ada pilihan BBM beroktan lebih tinggi seperti Pertamax 92, Pertamax Plus 95, dan Pertalite 90.
Kesadaran untuk beralih ke BBM beroktan tinggi masih rendah, karena menganggap premium lebih murah, bisa menghemat. Padahal sebaliknya, justru menyebabkan biaya tinggi baik bagi dampak kesehatan jangka panjang. Maupun buat kendaraan yang selalu pakai premium butuh ongkos besar untuk servis.
Pengamat menilai hal ini erat kaitannya dengan pola fikir masyarakat yang belum sadar untuk pemanfaatan BBM beroktan tinggi yang masih kurang. Jika dilihat kemampuan rata-rata finansial masyarakat Riau mereka justru di atas dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Sehingga sebenarnya tidak ada alasan lain untuk tidak merubah paradikma penggunaan BBM beroktan rendah ke tinggi.
Apalagi kini tingkat polusi asap kendaraan di Riau mulai tinggi, dan rawan terjadi di area lalulintas padat seperti Jalan Soedirman, Ahmad Yani, dan Nangka dan ruas jalan lainnya.
Sorotan yang sama juga disampaikanKomite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) seperti dikutip antara belum lama ini di Jakarta. Lembaga ini bahkan mengeluarkan data, menunjukkan bahan bakar berkualitas rendah juga ikut menyumbang tingginya emisi gas buang.
Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB, mengatakan, sudah saatnya pemerintah menghentikan produksi dan penjualan Premium 88, Pertalite 90, Solar 48, dan Dexlite.
"Ganti dengan memproduksi dan memasarkan BBM yang memenuhi persyaratan teknis kendaraan bermotor," ujarnya.
Puput demikian sapaan pria itu, juga merekomendasikan pemerintah untuk segera mereformulasi spesifikasi BBM. Sehingga, mampu memicu pengendalian pencemaran udara, terutama dari transportasi.
Di antara negara-negara seperti China, India, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, bahkan Australia dan negara-negara Uni Eropa, hanya Indonesia yang masih menjual bahan bakar dengan RON paling rendah, yakni 88 dan 90.
Bahan bakar beroktan rendah tersebut memiliki kandungan sulfur, benzene, aromatic, dan olefin, yang sangat tinggi. Zat-zat tersebut juga berbahaya bagi kesehatan.
Dampakjenis BBM
Nilai Oktan Research Octane Number atau yang biasa disebut RON merupakan kekuatan tekanan atau kompresi bahan bakar terhadap mesin. Maka semakin tinggi nilai oktannya semakin baik dampaknya untuk kinerja mesin. Selain itu residu dari sisa pembakaran mesin pun sedikit.
Ada beberapa jenis BBM dan kandungan oktannya yakni Premium 88, Pertamax 92, Pertamax Plus 95, dan Pertalite 90.
Masing-masing dibedakan oleh warna cairan dan dapat dilihat ini memiliki dampak tersendiri bagi mesin. Bahan bakar yang tidak menggunakan zat pewarna tambahan seperti Pertamax akan memberikan dampak pembakaran yang sempurna pada mesin.
Premium misalkan, berwarna kuning cerah yang berasal dari zat perwarna tambahan. Demikian juga Pertamax, berwarna biru kehijauan, Pertamax Plus berwarna merah, dan Pertalite berwarna hijau terang.
Setiap jenis bahan bakar pun memiliki tingkat polusi yang berbeda. Hal ini tentunya dikarenakan oleh kualitas dari bahan bakar itu sendiri. Premium akan mengeluarkan polusi dalam jumlah besar. Pertamax mengeluarkan polusi dalam jumlah sangat sedikit, apalagi Pertamax Plus mengeluarkan polusi dalam jumlah paling sedikit dibandingkan dengan yang lainnya. Sedangkan Pertalite mengeluarkan polusi dalam jumlah sedikit.
AhmadSafrudinmenjelaskan, kendaraan yang menggunakan bensin, sekarang ini harus menggunakan oktan yang minimal 91 atau Pertamax (RON 92). Kalau kurang dari itu, maka akan memicu terjadinya knocking atau menggelitik pada mesin.
"Ketika menggelitik, maka akan ada banyak bahan bakar yang terbuang. Selain boros bahan bakar, juga akan meningkatkan polutant hidrocarbon, karbon monoksida, dan nitrogen dioksida," ujar.
Butuh regulasi daerah
Untuk membumikan penggunaan BBM ramah lingkungan tidak bisa hanya tanggungjawab satu instansi saja, juga perlu adanya kolaborasi antar stakeholder terkait. Bahkan regulasi untuk aturan main juga perlu sebagai acuan dan sanksi hukum bagi yang melanggar perlu dibuat tiap pemda.
Khusus Riau pengamat lingkungan itu menyatakan belum ada aturan yang mendorong penggunaan BBM beroktan tinggi. Hal itu sangat diperlukan karena pemerintah sudah mengatur industri otomotif patuh pada aturan yang ada, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 20/Setjen/Kum.1/3/2017 tanggal 10 Maret 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O.
"Riau kini kita minta pemerintah membuat regulasi yang dapat mengendalikan emisi buangan kendaraan bermotor," tegasnya.
Pemda wajib hukumnya untuk melarang, terhadap peredaran bensin yang RON-nya hanya 88 dan 90. Artinya, tidak memadai dengan kebutuhan mesin kendaraan bermotor sekarang ini.
Kalau solar, maka solar harus dengan kadar belerang maksimum 50 ppm (particle per million). Sementara kalau solar 48, kadar belerangnya masih sangat tinggi, yaitu 2000 ppm. Solar Dexlite, kadar belerangnya 1200 ppm, itu juga termasuk sangat tinggi.
Hal tersebut akan memicu tingginya pencemaran partikel debu. Baik PM 10, PM 2.5, Kemudian juga akan memicu tingginya sulfur dioksida, juga akan meningkatkan tingginya nitrogen dioksida.
Berita Lainnya
BPH Migas kembali ajak mahasiswa aktif cegah penyalahgunaan BBM subsidi
08 November 2024 12:00 WIB
Kementerian ESDM masih dalami terkait mekanisme pembatasan BBM subsidi
27 September 2024 15:53 WIB
Airlangga nilai Indonesia siap untuk terapkan BBM biodiesel B40 pada 2025
24 September 2024 13:02 WIB
Indef minta pemerintah untuk mengkaji ulang pembatasan BBM subsidi
12 September 2024 17:00 WIB
Pertamina turunkan harga BBM non subsidi di Riau
02 September 2024 16:17 WIB
Pengamat nilai saat ini waktu yang tepat naikkan harga BBM nonsubsidi
10 August 2024 16:05 WIB
Pakar ekonomi: Saatnya harga BBM nonsubsidi untuk disesuaikan
26 July 2024 15:16 WIB
Erick Thohir sebut kereta cepat menghemat BBM Rp3,2 triliun per tahun
22 July 2024 10:48 WIB