Pemerintah Kota Pekanbaru belum optimal atasi banjir, begini penjelasannya
Pekanbaru (ANTARA) - Pengamat Tata Kota dari Universitas Islam Riau, Idham Nugraha, mengatakan Pemerintah Kota Pekanbaru belum optimal dalam penanganan banjir, sehingga masalah di Ibu Kota Provinsi Riau itu menjadi makin parah, kompleks serta sulit diselesaikan secara cepat.
“Saya nilai sekarang banjir makin parah, drainase parah, dan pemerintah belum optimal dari sisi pengelolaan ruang dan perencanaan,” kata Idham Nugraha di Pekanbaru, Kamis.
Hujan deras pada awal pekan ini mengakibatkan banjir di sebagian besar wilayah di Kota Pekanbaru, bahkan menyebabkan seorang warga meninggal dunia karena terseret arus banjir akibat parit yang meluap.
Dosen Teknik Perencanaan Wilayah Kota dari Universitas Islam Riau ini mengatakan, banjir di Pekanbaru tergolong banjir lokal dan luapan dari sungai. Faktor cuaca dan pengaruh perubahan iklim yang memicu musim hujan tidak menentu, tidak bisa disalahkan melainkan harus disikapi pemerintah dengan perencanaan tata kota yang memadai.
“Air tidak salah karena mengalir dari tempat tinggi ke yang rendah. Kita harus sediakan saluran-saluran yang optimal untuk alirkan air itu. Kondisi drainase banyak yang tidak optimal di Pekanbaru, contoh ketika hujan durasi tidak lama, air langsung tergenang di beberapa titik. Jadi masalah ada di drainase kita,” katanya.
Menurut dia, masalah hampir ditemui di setiap daerah karena pemerintah setempat tidak memiliki perencanaan drainase dan daerah serapan air untuk jangka panjang. Pembangunan drainase hanya memperkirakan periode 10 tahun ke depan, kemudian diperbaiki lagi ketika sudah parah banjirnya.
“Di negara-negara berkembang dengan sumber daya memadai, biaya dan teknologinya seperti di Belanda, perencanaan drainase maupun kanal memperhitungkan debit air sudah ratusan tahun jadi awet,” katanya.
Selain itu, ia juga mengakui ada perencanaan tata kota yang memperkecil daya serap air ke tanah seperti semenisasi trotoar. Banjir juga diperparah karena fungsi pengawasan dan penegakan hukum pemerintah daerah lemah terhadap pembangunan kota.
Ia mengatakan akibatnya pembangunan permukiman dan bangunan banyak mengokupansi kawasan daerah aliran sungai, dan pembuatan drainase oleh pihak pengembang asal jadi saja.
“Kembali lagi ini adalah peran penegakan hukum dari pemerintah daerah kurang optimal. Padahal dalam aturan sudah ada, pemerintah bisa memberikan sanksi, insentif, dan disinsentif dalam penggunaan ruang. Kembali lagi pada penegakan hukumnya,” ujar Idham.
Menurut dia, upaya jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah daerah guna menanggulangi banjir adalah dengan melakukan normalisasi sungai dan drainase, seperti di Sungai Sail dalam kurun 2000-2014 permukaan air sungai meningkat akibat pendangkalan dan perubahan fungsi kawasan lindung serta bagian hulu sungai berubah jadi permukiman dan perkebunan kelapa sawit.
“Sungai Sail terakhir kali dikeruk sekitar tahun 2000, sekarang sudah sangat dangkal,” katanya.
Kemudian, pemerintah daerah juga harus menambah daerah resapan air. Pembangunan taman kota bisa sekaligus berfungsi memperindah dan menjadi lokasi resapan air.
Selain itu, pemerintah perlu dengan tegas mengajak masyarakat berperan menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan menggiatkan gotong royong.
“Drainase juga kapasitasnya jauh berkurang karena ada endapan sedimentasi pasir dan sampah. Peran masyarakat penting untuk jaga lingkungan. Budaya gotong-royong hanya beberapa tempat saja, sekarang sudah mulai hilang. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan lagi jangan ketika banjir hanya menyalahkan pemerintah saja,” kata Idham.
Baca juga: Ironis, korban tewas banjir Pekanbaru adalah pengantin baru
Baca juga: Warga Payung Sekaki keluhkan luapan Sungai Air Hitam rendam perumahan
Baca juga: PTPN V santuni keluarga korban banjir Pekanbaru
“Saya nilai sekarang banjir makin parah, drainase parah, dan pemerintah belum optimal dari sisi pengelolaan ruang dan perencanaan,” kata Idham Nugraha di Pekanbaru, Kamis.
Hujan deras pada awal pekan ini mengakibatkan banjir di sebagian besar wilayah di Kota Pekanbaru, bahkan menyebabkan seorang warga meninggal dunia karena terseret arus banjir akibat parit yang meluap.
Dosen Teknik Perencanaan Wilayah Kota dari Universitas Islam Riau ini mengatakan, banjir di Pekanbaru tergolong banjir lokal dan luapan dari sungai. Faktor cuaca dan pengaruh perubahan iklim yang memicu musim hujan tidak menentu, tidak bisa disalahkan melainkan harus disikapi pemerintah dengan perencanaan tata kota yang memadai.
“Air tidak salah karena mengalir dari tempat tinggi ke yang rendah. Kita harus sediakan saluran-saluran yang optimal untuk alirkan air itu. Kondisi drainase banyak yang tidak optimal di Pekanbaru, contoh ketika hujan durasi tidak lama, air langsung tergenang di beberapa titik. Jadi masalah ada di drainase kita,” katanya.
Menurut dia, masalah hampir ditemui di setiap daerah karena pemerintah setempat tidak memiliki perencanaan drainase dan daerah serapan air untuk jangka panjang. Pembangunan drainase hanya memperkirakan periode 10 tahun ke depan, kemudian diperbaiki lagi ketika sudah parah banjirnya.
“Di negara-negara berkembang dengan sumber daya memadai, biaya dan teknologinya seperti di Belanda, perencanaan drainase maupun kanal memperhitungkan debit air sudah ratusan tahun jadi awet,” katanya.
Selain itu, ia juga mengakui ada perencanaan tata kota yang memperkecil daya serap air ke tanah seperti semenisasi trotoar. Banjir juga diperparah karena fungsi pengawasan dan penegakan hukum pemerintah daerah lemah terhadap pembangunan kota.
Ia mengatakan akibatnya pembangunan permukiman dan bangunan banyak mengokupansi kawasan daerah aliran sungai, dan pembuatan drainase oleh pihak pengembang asal jadi saja.
“Kembali lagi ini adalah peran penegakan hukum dari pemerintah daerah kurang optimal. Padahal dalam aturan sudah ada, pemerintah bisa memberikan sanksi, insentif, dan disinsentif dalam penggunaan ruang. Kembali lagi pada penegakan hukumnya,” ujar Idham.
Menurut dia, upaya jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah daerah guna menanggulangi banjir adalah dengan melakukan normalisasi sungai dan drainase, seperti di Sungai Sail dalam kurun 2000-2014 permukaan air sungai meningkat akibat pendangkalan dan perubahan fungsi kawasan lindung serta bagian hulu sungai berubah jadi permukiman dan perkebunan kelapa sawit.
“Sungai Sail terakhir kali dikeruk sekitar tahun 2000, sekarang sudah sangat dangkal,” katanya.
Kemudian, pemerintah daerah juga harus menambah daerah resapan air. Pembangunan taman kota bisa sekaligus berfungsi memperindah dan menjadi lokasi resapan air.
Selain itu, pemerintah perlu dengan tegas mengajak masyarakat berperan menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan menggiatkan gotong royong.
“Drainase juga kapasitasnya jauh berkurang karena ada endapan sedimentasi pasir dan sampah. Peran masyarakat penting untuk jaga lingkungan. Budaya gotong-royong hanya beberapa tempat saja, sekarang sudah mulai hilang. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan lagi jangan ketika banjir hanya menyalahkan pemerintah saja,” kata Idham.
Baca juga: Ironis, korban tewas banjir Pekanbaru adalah pengantin baru
Baca juga: Warga Payung Sekaki keluhkan luapan Sungai Air Hitam rendam perumahan
Baca juga: PTPN V santuni keluarga korban banjir Pekanbaru