Pekanbaru (Antarariau.com) - Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan Iklim di Maroko pada 7-18 November 2016 sudah di depan mata, dan peran Pemerintah Indonesia untuk "unjuk gigi" dalam menentukan kebijakan dunia akan sangat dinantikan rakyatnya. Apakah pemerintah nanti bisa bersuara lantang untuk membawa manfaat bagi pelestarian hutan di Tanah Air, atau hanya jadi penonton saja?
Setelah DPR menyutujui untuk meratifikasi Kesepakatan Paris atas Konvensi Kerja PBB tentang Perubahan Iklim menjadi undang-undang pada pertengahan Oktober 2016, maka Pemerintah Indonesia sudah memiliki modal suara dalam perundingan di forum global itu.
Sebabnya, Indonesia telah menunjukkan komitmen melalui ratifikasi dalam berkontribusi mengurangi 29 persen emisi gas rumah kaca dengan upaya sendiri, dan 41 persen jika ada kerja sama dengan internasional.
Ada lima poin penting yang menjadi acuan bagi Indonesia sesuai isi Kesepakatan Paris hasil konferensi perubahan iklim 2015. Pertama, Indonesia harus melakukan upaya mitigasi dengan mengurangi emisi karbon dengan cepat, untuk menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah dua derajat celcius, dan berupaya menekan hingga 1,5 celcius.
Kedua, Indonesia harus secara transparan menerapkan sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi. Ketiga, harus ada upaya adaptasi dengan memperkuat kemampuan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Keempat, Indonesia harus memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Dan kelima, dalam Kesepakatan Paris ada poin pendanaan bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Poin terakhir terkait pendanaan, sepertinya akan menjadi fokus utama bagi diplomasi Indonesia di Konferensi Maroko. Karena sejak skema pendanaan yang awalnya dikenal dengan perdagangan karbon menjadi kesepakatan pada KTT Perubahan Iklim 1997 melalui Protokol Kyoto, sampai dua dasawarsa terakhir belum ada wujud nyatanya.
Perdagangan karbon ibarat mimpi utopia semata yang tertuang dalam dokumen untuk menyenangkan negara berkembang agar menjaga hutan tetap lestari.
"Delegasi Indonesia harus berani jualan, dalam arti harus memaksimalkan Konferensi Maroko untuk menagih komitmen negara-negara maju. Karena sudah 20 tahun yang namanya pendanaan dari perdagangan karbon itu hanya seperti mimpi yang membuai kita saja, tapi saya tidak pernah lihat itu bentuknya seperti apa," kata anggota Komisi IV DPR yang membidangi kehutanan, KRT Darori Wonodipuro ketika dihubungi Antara di Pekanbaru, Kamis (3/11).
Penilaian mantan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan ini masuk akal, karena Pemerintah Indonesia pasti kewalahan untuk menjalankan isi Kesepakatan Paris dengan kondisi keuangan negara yang sedang sulit.
Politisi Partai Gerinda ini mengatakan bahwa kemampuan negara untuk menjaga kawasan hutan konservasi sangat lemah karena alokasi anggaran tidak sebanding dengan luas hutan yang ada. Masalah yang mengancam kawasan konservasi, seperti perambahan, pembalakan liar dan pembakaran lahan, juga sangat kompleks untuk diselesaikan.
"Anggaran konservasi kita sangat kecil karena hutan yang harus dilindungi luasnya 27 hingga 30 juta hektare. Jadi kalau dibagi rata hanya sekitar 3 sampai 4 dolar AS per hektarenya setahun," ucapnya.
Menurut dia, dalam APBN Perubahan 2016, anggaran untuk Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memang mencapai Rp1,2 triliun, dan paling besar dibandingkan unit lainnya.
Namun, karena kawasan hutan konservasi yang mesti dilindungi sangat luas, maka anggaran yang nyata untuk perlindungan hanya sekitar Rp45 ribu hingga Rp52 ribu per Ha setahun, dengan asumsi krus 1 dolar AS Rp13.000.
Dana itu juga tidak cukup untuk menyediakan sumber daya manusia yang memadai, sehingga masih banyak kawasan konservasi tidak dijaga oleh jagawana yang khusus berpatroli di sana.
"Karena dari Rp1,2 triliun itu setengahnya juga untuk gaji pegawai, makanya yang tersisa paling hanya 3-4 dolar AS untuk satu hektare per tahun," ujarnya.
Bahkan, untuk Badan Restorasi Gambut (BRG), alokasi anggaran di APBN 2017 hanya Rp1 triliun. Anggaran itu tidak cukup untuk mencapai target restorasi yang tahun ini saja dicanangkan mencapai 600 ribu Ha, dengan estimasi biaya restorasi gambut per Ha Rp12 juta.
Kalau dana tersebut seluruhnya digunakan untuk pemulihan gambut yang rusak, maka hanya cukup untuk sekitar 8.300 Ha saja.
"Itu pun saya dengar anggaran BRG masih akan dipotong lagi ke depannya karena kondisi keuangan negara. Mau kerja apa mereka nanti untuk target jangka panjang restorasi gambut dua juta hektare, sungguh kasihan kawan-kawan BRG," katanya.
Solusi Kolaborasi
Sejak 2004 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan sebenarnya sudah membuka pintu bagi investor untuk upaya merestorasi ekosistem di hutan alam produksi. Kebijakan ini terus diperbarui dari awalnya izin pengelolaan restorasi ekosistem hanya berlaku 10 tahun, kini diperpanjang hingga 60 tahun, dan yang semula hanya untuk izin 50 ribu Ha kini bisa diperluas pada bentang alam yang sama.
Ini artinya, pemulihan hutan produksi karena aktivitas perusahaan yang menebang kayu log dari hutan alam selama puluhan tahun, ditanggung oleh pihak swasta dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Dari izin itu, investor dapat memanfaatkan kayu, hasil hutan nonkayu, jasa lingkungan seperti air dan pariwisata.
Berdasarkan data KLHK, kini ada 15 unit manajemen IUPHHK-RE dengan luas total 573.455 Ha. Pemerintah mengalokasikan sekitar 1,6 juta Ha hutan produksi untuk konsesi RE, yang artinya masih banyak yang bisa ditawarkan Indonesia pada Konferensi Maroko untuk mendapatkan komitmen pendanaan untuk RE dari negara maju.
Dalam penerapan RE terlihat jelas bahwa untuk menjaga, apalagi merestorasi hutan Indonesia, butuh biaya tidak sedikit. PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), adalah salah satu contoh entitas swasta yang sudah delapan tahun menjalankannya. Mereka juga menjadi bagian dari Delegasi Indonesia di Konferensi Maroko.
"Untuk REKI dalam mengelola restorasi ekosistem Hutan Harapan di Jambi dan Sumatera Selatan seluas sekitar 100 ribu hektare, biaya dasar operasional rata-rata mencapai Rp800 juta sampai Rp1 miliar per bulan," kata Pelaksana Tugas Kepala Kemitraan Strategis PT REKI Mangara Silalahi.
Dalam setahun REKI membutuhkan investasi berkisar Rp10 miliar sampai Rp12 miliar yang artinya ada sekitar Rp1 juta per Ha untuk seluruh total konsesi restorasi ekosistemnya. Biaya dasar operasional itu untuk menggaji 260 staf, termasuk 60 jagawana, pendanaan program penanaman, perencanaan, kemitraan masyarakat, dan perlindungan kawasan dari pembukaan lahan serta migrasi warga ke dalam. Namun, semua biaya operasional itu belum termasuk dana apabila akan mengembangkan investasi untuk ekowisata, iuran izin per 20 tahun dan pajak.
Ia mengatakan pendanaan Hutan Harapan didapatkan dari berbagai pihak, seperti dari Uni Eropa, Pemerintah Denmark, dan Jerman. "Itu merupakan bantuan dari negara lain untuk mengurangi dampak perubahan iklim, tapi bukan perdagangan karbon," kata Mangara.
Contoh lain tentang mahalnya menjaga hutan bisa dilihat pada pengelolaan Restorasi Ekosistem Riau (RER) seluas 150 ribu Ha, yang dilakukan PT Gemilang Cipta Nusantara (GCN). Untuk restorasi ekosistem lanskap Semenanjung Kampar dan Pulau Padang, PT GCN mendapat suntikan dana hingga 100 juta dolar AS dari induk perusahaannya APRIL Group. Itu artinya, investasi perlindungan satu Ha RER mencapai Rp866 ribu per tahun.
"Ya, memang mahal biaya untuk menjaga hutan. Untuk mengurangi gangguan pada kawasan saja kita menggunakan helikopter untuk patroli, 68 jagawana yang berkerja bergiliran, penerapan teknologi seperti citra satelit dan pesawat tanpa awak atau drone kalau dibutuhkan," kata Direktur Konservasi RER Petrus Gunarso.
Selain itu, ia mengatakan upaya restorasi pada intinya tidak hanya melakukan penjagaan dan penerapan aturan yang ketat, melainkan juga upaya mengubah pola pikir masyarakat sekitarnya untuk merasa memiliki dan menjaga hutan dengan memberikan alternatif mata pencaharian.
"Karena itu, kami juga melakukan program pemberdayaan dengan membantu membentuk kelompok nelayan dan memberi bantuan keranda ikan, dan melatih warga bercocok tanam seperti cabai keriting supaya tidak lagi bercocok tanam dengan lahan berpindah," kata Petrus.
Ia mengatakan pihaknya juga akan ikut melakukan presentasi tentang RER di Konferensi Maroko. "Tapi bukan untuk mencari dana karena dalam 10 tahun tahun akan danai sendiri dari industri kehutanan supaya tidak sibuk nyari dana kesana-kemari. Kita lebih menekankan ke kerja sama penelitian hasil pendayagunaan RER, kajian yang pasti, karena kita tidak ingin terikat oleh kepentingan pendonor," ujarnya.
Anggota Komisi IV DPR KRT Darori Wonodipuro menambahkan bahwa kolaborasi dengan sektor swasta yang sudah ada di Tanah Air, sebenarnya adalah solusi yang bisa diterapkan untuk mengatasi kelemahan dana pemerintah yang terbatas. Namun, sayangnya ada sentimen di sejumlah elit di KLHK untuk menerima dana dari perusahaan, ditambah adanya "bumbu" kampanye negatif dari LSM lingkungan, membuat upaya itu tak pernah direalisasikan.
Padahal, ia mengatakan ada dana kepedulian sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) di Indonesia hingga Rp20 triliun per tahun, yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan konservasi. Kontribusi swasta untuk kawasan konservasi tidak perlu diterima langsung berupa uang oleh pemerintah, melainkan dengan membentuk yayasan atau kolaborasi swasta dengan LSM membuat entitas sendiri untuk menjaga taman nasional dan kawasan konservasi lainnya.
Dengan begitu, risiko terjadi korupsi dan rawan konflik kepentingan bisa dihindari dan dana untuk menjaga kawasan konservasi meningkat.
"Tapi sentimen yang muncul adalah kenapa kita harus menerima uang dari maling yang sudah merusak hutan? Lalu saya katakan, apa salah? Kalau mereka (perusahaan) punya kesalahan, ya uangnya harus sebanyak-banyaknya kembali untuk memperbaiki yang sudah dirusaknya," tegas Darori.
Insentif untuk Investor
Pemerintah Indonesia juga perlu memberikan insentif bagi calon investor untuk mendanai kawasan RE, karena investasi jangka panjang untuk kelestarian lingkungan ini bukan berorientasi profit.
"Selama delapan tahun REKI berjalan, kami sebenarnya belum mendapat keuntungan. Seharusnya, investasi lingkungan seperti ini jangan dikenakan pajak, tapi Dirjen Keuangan tidak sependapat sehingga kami tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan yang mencapai setengah miliar Rupiah," kata Pelaksana Tugas Kepala Kemitraan Strategis PT REKI Mangara Silalahi.
Padahal, adanya investor di restorasi ekosistem sudah meringankan tugas negara yang seharusnya bertanggung jawab menjaga dan merehabilitasi hutan yang rusak. Keberadaan REKI juga bermanfaat secara sosial ke masyarakat setempat karena menyediakan fasilitas dasar seperti sanitasi air bersih, klinik kesehatan, dan sekolah dasar bersama yang menampung 40-50 murid per tahun.
"Dan yang paling penting untuk diubah adalah perilaku birokrasi pemerintah, karena kita tidak mau nyogok (menyuap), jadi pengurusan izin dipersulit. Ubah perilaku ini demi kemaslahatan masyarakat," ucap Mangara.
Sementara itu, Direktur Eksekutif RER Petrus Gunarso mengatakan KLHK perlu memperjelas regulasi terkait defenisi keseimbangan ekosistem yang dibebankan pada investor. Hal ini diperlukan sebagai parameter pasti untuk pencapaian investor sehingga diperbolehkan menggunakan kayu hasil hutan RE. Investasi yang besar untuk memulihkan hutan dengan menanam bibit pohon asli seperti habitatnya, butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa kembali seperti aslinya.
"Sebelumnya pemerintah buat aturan referensi restorasi ekosistem itu sebagus apa sih? Itu yang masih diperdebatkan. Karena tidak ada catatan persis bagaimana rupa hutan itu sebelum ditebang, dan kita juga tidak bisa membuat bagusnya seperti ciptaan Tuhan. Dan regulasi untuk masyarakat setempat bisa memanfaatkan kayu untuk keperluan rumah tangganya juga belum ada," katanya.
Jadi, Konferensi Maroko bukan akhir dari mencari solusi untuk melestarikan hutan Indonesia yang butuh biaya besar. Yang diperlukan adalah pemimpin dengan pemikiran besar untuk mengesampingkan ego dan mengubah perilaku birokrat kita bahwa kalau ingin hasil maksimal untuk jangka panjang, kita tidak bisa berlari sendirian. Seharusnya dengan modal itulah kita bisa bersuara lantang di kancah global.