Begini Seharusnya Menentukan Patokan Pajak Pertalite di Riau Menurut Pengamat Ekonomi UNRI ini

id begini seharusnya, menentukan patokan, pajak pertalite, di riau, menurut pengamat, ekonomi unri ini

Begini Seharusnya Menentukan Patokan Pajak Pertalite di Riau Menurut Pengamat Ekonomi UNRI ini

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Banyak instrumen yang menjadi pendorong dan perangsang pertumbuhan ekonomi suatu daerah, salah satunya sektor pajak.

Termasuk Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yakni Bahan Bakar Khusus (BBK) seperti Pertalite, Pertamax dan sebagainya.

"Ketika ekonomi Riau tumbuh pesat seperti zaman keemasan Migas 2012, pajak menjadi instrumen untuk menjaga agar tidak "overheat" atau kelebihan," kata Pengamat Ekonomi dari Universitas Riau (UR) Dahlan Tampubolon di Pekanbaru, Selasa.

Dahlan Tampubolon menyatakan besaran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor bagi Bahan Bakar Khusus seperti Pertalite, Pertamax dan sebagainya oleh pemerintah Provinsi Riau harusnya jadi instrumen perangsang pertumbuhan ekonomi setempat.

Oleh karenanya nilai yang dipatok harus menyesuaikan setiap tahunnya sehingga tidak membebani masyarakat ekonomi lemah menjadi semakin tidak miliki daya beli.

Di lain waktu saat ekonomi Riau melambat seperti saat ini, pajak juga menjadi instrumen yang mampu menjadi perangsang ekonomi melalui penurunan tarif.

Namun hal itu tidak terjadi justru nilai yang dibebankan Pemprov Riau terhadap PBB BK konstan alias stabil, sehingga inilah yang jadi polemik saat ada perubahan harga minyak non subsidi BBK oleh Pertamina, seperti yang dilakukan per tanggal 20 Januari 2018 lalu.

Ia menegaskan pemerintah daerah sebenarnya dapat merevisi Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor selama dalam batas yang ditetapkan di dalam UU no 28 tahun 2009.

Misalkan seperti kondisi saat ini tarif yang dikenakan Pemprov Riau adalah 10 persen, atau mematok nilai maksimal. Sementara wilayah lain masih berkutat di 5 persen.

Sehingga memunculkan pertanyaan masyarakat mengapa ketika pertumbuhan ekonomi melambat saat ini PBB KB masih tetap tinggi.

"Bahkan menjadi salah satu provinsi dengan tarif PBBKB tertinggi, dibanding Papua," ujarnya.

Padahal hakikatnya Pajak daerah, seperti halnya pajak secara umum dapat berfungsi sebagai built in stabilizer. Dimana basis pajak minimum 5 persen dan maksimum 10 persen tetap harus dipertahankan sesuai dengan undang-undang.

Melalui mekanisme "built in stabilizer" untuk kondisi ekonomi Riau seperti saat ini besaran tarif pajak meskinya harus sesuai dengan perumusan "5 + g/2".

Artinya ketika pertumbuhan ekonomi (g) nol atau negatif, maka tarif PBB KB tetap sebesar 5 persen dan ketika pertumbuhan ekonomi 10 persen atau lebih, tarifnya PBB KB tetap 10 persen.

"Fluktuasi pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan dasar di dalam penetapan tarif," tegasnya.

Makanya sambung dia dalam kondisi saat ini jika dilihat data estimasi pertumbuhan ekonomi mendatang yang dikeluarkan oleh BPS, BI dan Bappeda boleh dijadikan acuan.

Misalnya estimasi pertumbuhan ekonomi tahun tertentu (biasanya bulan Oktober tahun sebelumnya sudah dipublikasi) diestimasi sebesar tiga persen, maka tarif PBB KB diestimasi sekitar 5 + 3/2 atau sekitar 6,5 persen.

Ketika ekonomi tumbuh lebih pesat, misal sekitar 8 persen, maka tarifnya pajaknya menjadi 9 persen.

"Formula seperti ini memecahkan kekakuan tarif PBB BK yang selama ini berlaku, " tambahnya.

Sementara itu PT Pertamina Wilayah Sumatera Bagian Utara (Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Kepri) menyatakan kenaikan harga Bahan Bakan Khusus termasuk Pertalite di Riau sangat dipengaruhi besar kecilnya Pajak Bakar Bakar Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.

Selain juga yang utama ditentukan harga minyak mentah dunia. Pada 22 Desember 2017 harga minyak dunia menyentuh angka 58,47 US Dollar per barrel. Hingga 12 Januari 2018 harga minyak mentah dunia menyentuh angka 64,30 US Dollar per barel.

"Perubahan harga bahan bakar khusus (BBK) termasuk Pertalite dilakukan mengikuti perkembangan harga minyak dunia dan kurs rupiah terhadap dolar," kata Unit Manager Communication and CSR MOR I (Sumatera Bagian Utara) Rudi Arrifianto.

Rudi Arrifanto menjelaskan jika harga minyak dunia naik dan atau kurs rupiah terhadap dolar melemah, pada periode tertentu akan menjadikan harga naik.

Sebaliknya kalau harga minyak turun dan atau kurs rupiah menguat, harga bisa turun.

"Penyesuaian (naik atau turunnya) harga BBK sudah biasa dilakukan selama ini," tuturnya.

Sehingga hal ini bukan lagi menjadi rahasia sebab akan diumumkan secara resmi melalui akun publik Pertamina.com yang bisa diakses setiap saat.

Diakuinya memang harga Pertalite di tiga wilayah tersebut lebih mahal ketimbang provinsi lain misalkan Sumut, Aceh dan Sumbar yang hanya dibandrol Rp7.600/ liter, itu dipengaruhi besaran penetapan pajak bahan bakar oleh Pemda masing-masing.

"Soal kenapa Pertalite di Riau dan Kepri lebih tinggi dari daerah lain, tidak lepas dari penerapan PBBKB di kedua daerah ini yang lebih tinggi dari daerah lain," tegasnya.

Menurut dia memang besaran PBBKB menjadi kewenangan dari Pemda setempat.

Misalkan daerah lain hanya mematok PBBKB sebesar 5 persen, sedangkan Riau, Kepri dan Batam mematok 10 persen.

Data Pertamina mencatat selain Pertalite BBK jenis Pertamax juga naik dari harga perliter Rp8.500 pada bulan Desember 2017, saat ini dibanderol senilai Rp8.700 perliter. Demikian juga untuk Pertamax Turbo yang dibanderol senilai Rp9.450, kini masyarakat Riau dikenai harga Rp9.700.

Sementara Dexlite saat ini sudah dipatok Rp7.800 perliter. Sebelumnya bahan bakar tersebut hanya dihargai Rp7.600 perliter.

Untuk Pertamina Dex saat ini dibanderol senilai Rp9.800 perliter. Pada bulan Desember 2017 dibanderol seharga Rp9.350 perliternya.

Polemik harga Pertalite ini juga yang menyebabkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Riau menjumpai Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman beberapa waktu lalu .

Gubri menyatakan berkomitmen akan menurunkan pajak Bahan Bakar Kendaraan sesuai dengan permintaan masyarakat.

Andi sapaan bagi Gubri menyatakan Ia sudah memerintahkan dinas terkait untuk membuat surat dan melengkapi data terkait menurunkan pajak BBK sesuai Perda yang telah dijalankan sejak tahun 2011 yang lalu.

"Terkait pajak Pertalite kita akan membuat surat usulan dan dilengkapi datanya, lalu dikirimkan ke DPRD untuk dibahas awalnya, dan bagaimana mekanismenya, itu dewan yang tahu, apakah mereka membuat tim sesuai dengan aturan yang ada, " kata Gubri.

Untuk penurunan PBBKB Gubri menjelaskan ia akan berusaha agar pajak tersebut minimal bisa diturunkan 7,5 persen. Kalau memang bisa menjadi 5 persen.***3**