Pangkalan Kerinci (Antarariau.com) Tahun 2000 warga Bangkinang ini hanya melewati sebuah gedung di Jalan Lintas Timur, Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan untuk menuntut ilmu di Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang. Lalu semakin sering ia lewati jalan tersebut, ia bertanya-tanya kepada temannya, bangunan apakah itu. Tanpa disangka, tahun 2007, bangunan tersebut merupakan tempat ia mencari nafkah.
Bahkan, tak disangka, Sri Wahdini Rahmi (34) tak menyangka bisa dikirim PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) untuk melanjutkan pendidikan magisternya di Asian Institute of Technology, Thailand tahun 2010 silam.
Sewaktu kuliah bahkan saya belum pernah lihat pabrik sebesar ini. Baru kera di RAPP baru melihat bagaimana industri itu benar-benar bekerja. Walau saya kuliah Teknik Kimia, pabriknya (yang biasa dilihat) itu kayak pabrik tekstil. Kalau yang pabrik pulp and paper ini baru pertama. Yang paling terkesan ya bagian recovery boiler-nya. Oo kayak begini," kata perempuan kelahiran April 1983 ini.
Nani, sapaan akrab Sri, beruntung bisa diterima bekerja lewat program Graduate Trainee. Ditambah, beberapa tahun kemudian, ia ditunjuk atasannya sebagai satu-satunya perempuan dari lima kandidat yang diajukan untuk memperoleh program beasiswa penuh S-2 ke negeri Gajah Putih.
Bisa bekerja di RAPP adalah sesuatu yang menguntungkan karena menurut saya tempat ini merupakan incaran mahasiswa Riau yang baru lulus kuliah. Saya juga beruntung bisa S-2, keluar negeri pula, kata Nani.
Apa yang ia raih, ternyata menguji mental Nani saat itu. Menempuh pendidikan tinggi di luar negeri sangatlah menguji mental Nani. Ia pergi keluar negeri tidak confident karena tidak mengetahui bagaimana negeri orang. Terlebih, bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris.
Jadi terpikir apa bisa mengejar target-target pendidikan itu, ya? Sementara itu, ibu saya tinggal sendiri," ujarnya.
Namun, karena beasiswa itu pula, Nani kemudian bisa melihat dunia lain dengan pola pikir yang tidak sama dengan di Indonesia. Menurut Nani, kultur orang Indonesia berbeda dengan di luar negeri.
"Misalnya, orang kita kalau tidak cocok dengan suatu ide akan langsung argumen. Kalau orang luar akan bilang, Ok that s good idea, tetapi bisakah kita cari ide yang lebih bagus? Jadi mereka tidak langsung negatif dan membuat orang demotivasi. Mungkin karena pendidikan kita ya," kata Nani.
Meski demikian, menurut Nani, banyak orang Indonesia yang memiliki kemampuan lebih bagus dibanding orang-orang dari negara lain.
"Soalnya di institusi itu ada orang Indonesia, Polandia, Jerman, Thailand. Orang kita itu masuk tiga besarlah di sana, yang mahasiswanya top-top," ujar.
Perihal pekerjaan, Nani berada di divisi yang disebutnya continuous improvement. Dengan kata lain, divisinya berkutat di bidang perbaikan yang bersifat berkelanjutan.
Pekerjaannya adalah bagaimana agar proses produksi bersifat efektif dan efsien seraya meningkatkan kualitas.
Dari semua yang diperolehnya ini, Nani melihat bahwa beasiswa dari perusahaan tempatnya bekerja cukup menyeluruh.
Dulu ia berpikir hanya orang bagian produksi selevel dirinya yang akan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
"Rupanya berlanjut kemarin ada dua orang lagi yang dikirimkan. Mereka dapat di ITB. Jadi, saya pikir beasiswa semacam ini enggak timpang," ujarnya.
Perhatiannya terhadap kesetaraan pendidikan membuatnya ingin menitipkan pesan terutama kepada anak-anak yang masih muda untuk meraih level pendidikan setinggi mungkin selagi ada kesempatan. (rls)