Enam Abad Lalu Pinisi Berlayar Hingga Australia

id enam, abad lalu, pinisi berlayar, hingga australia

 Enam Abad Lalu Pinisi Berlayar Hingga Australia

Jakarta, (Antarariau.com) - Abad ke-13 hingga ke-16 merupakan masa kejayaan pelayaran Eropa saat para pelaut Spanyol, Portugis dan Italia menjelajahi benua-benua di luar negeri-negeri mereka dalam ekspedisi mencari "dunia baru".

Marco Polo, seorang pedagang, penjelajah dan penulis dari Venisia, Italia yang hidup pada 1254-1324 diyakini menjadi orang Eropa pertama yang menjejakkan kaki di negeri China, sedangkan Christopher Columbus dikenal sebagai pelaut Spanyol dan orang Eropa pertama yang tiba di Kepulauan Bahama, Benua Amerika pada 1492.

Sementara itu, ekspedisi laut Portugis yang dilakukan oleh Vasco da Gama pada 1497-1499 mengantarkannya hingga tiba di India. Bahkan, pelaut Portugis Ferdinand Magellan dalam ekspedisi laut hingga ke Hindia Timur pada 1519-1522, yang mencakup wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, menyeberangi Laut Banda dari arah utara, kemudian ke selatan melewati Nusa Tenggara.

Dalam catatan perjalanannya, Magellan sempat singgah di Tidore pada 8 November 1521, di Kepulauan Ambon pada 29 Desember 1521, dan pada 25 Januari 1522 kapalnya yang bernama "Victoria" bersandar di Timor.

Para pelaut Eropa pada masa itu mengelilingi dunia dengan kapal-kapal layar yang dilengkapi peralatan dan kemampuan navigasi laut yang masih sederhana. Tujuan utamanya, mencari "dunia baru" yang konon kabarnya kaya akan rempah-rempah khas daerah tropis dan menguasai kekayaan alam yang tak ada bandingannya di wilayah Eropa yang dingin tersebut.

Di masa yang sama, para pelaut dari masyarakat Konjo, yang merupakan suku Bugis dari Sulawesi Selatan sesungguhnya pun telah mengarungi samudera yang tak hanya sebatas wilayah Nusantara, namun mereka juga berlayar hingga Asia Tenggara dan Australia. Bahkan, Madagaskar di Afrika pernah menjadi persinggahan pelaut Bugis.

Lain halnya dengan para pelaut Eropa yang memiliki misi penjajahan atas dunia timur, tujuan pelayaran para pelaut Bugis adalah untuk berdagang dengan para saudagar dari daerah lain sembari mengangkut hasil bumi dari Sulawesi.

Pinisi

Para pelaut Bugis tidak hanya dikenal tangkas dan berani dalam berlayar karena mereka juga telah mengenal kehidupan pelayaran sekitar tahun 1000-an yang ditandai dengan pembuatan perahu berlayar segiempat.

Perahu yang berkapasitas tidak lebih dari lima ton tersebut digunakan untuk menangkap ikan dengan jaring, dan terkadang dipakai juga untuk urusan perniagaan dalam jarak dekat.

Catatan dari seorang pengembara Portugis, Tome Pires yang menetap di Malaka pada 1512-1515 menunjukkan bahwa para pelaut Bugis melakukan perdagangan dengan Malaka (termasuk Malaysia dan Singapura), Jawa, Borneo, Filipina dan Siam (kini Thailand) dengan perahu-perahu layar besar dengan konstruksi yang bagus dan kokoh yang dinamakan pinisi.

Guru Besar Antropologi, Usman Pelly menjelaskan beberapa versi mengenai asal usul nama Pinisi. Sebuah cerita menyebutkan bahwa nama tersebut berasal dari nama sebuah kota pelabuhan di Italia, Venisia (Venicia). Dalam dialek Konjo nama tersebut disebut "penisi" yang akhirnya mengalami penyesuaian menjadi pinisi.

Versi lain menyebutkan bahwa pinisi berasal dari sebuah kata dalam Bahasa Bugis yakni "panisi" yang berarti sisip. Bentuk lain dari kata itu adalah "mappanisi" yang artinya menyisip dan sesuai dengan teknologi yang digunakan dalam membangun kapal pinisi, yaitu menyumbat semua sambungan papan dinding dan lantai kapal dengan bahan tertentu agar air tidak dapat masuk ke dalam kapal.

Dengan kapal-kapal itu para pelaut pedagang Bugis membawa beras yang berwarna sangat putih dan emas yang ditukarkan dengan barang-barang dagangan berupa pakaian dari Cambay, Benggali dan Keling yang merupakan bagian dari India.

Seperti sistem pelayaran pada zaman itu, para pelaut Bugis mengandalkan kemampuan membaca angin musim timur dan angin musim barat, posisi matahari dan rasi bintang untuk membantu navigasi maritim yang memungkinkan mereka berlayar mengelilingi dunia.

Selain itu, para pelaut juga mengandalkan pengamatan karakteristik laut yang diarungi, seperti gerakan ombak dan gelombang, perubahan warna dan suhu air laut, jenis ikan yang mereka temui pada suatu perarian, bahkan pola terbang burung.

Pengakuan UNESCO

Walau enam abad telah berlalu riwayat pinisi dan pelaut Bugis tetap hidup. Bahkan, pada 7 Desember 2017, Sidang ke-12 Komite Warisan Budaya Tak Benda Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan seni pembuatan kapal pinisi dari Sulawesi Selatan sebagai Warisa Budaya Dunia Tak Benda, atau "Intangible Cultural Heritage of Humanity".

Penetapan tersebut merupakan pengakuan UNESCO atas pinisi sebagai bagian dari seni berlayar di wilayah kepulauan yang tak ternilai mengingat proses pembuatan kapal tersebut kaya akan nilai budaya dan spiritual, selain memiliki teknologi dan bentuk yang canggih dan unik pada zamannya hingga di masa kini.

Perahu pinisi memiliki dua tiang layar utama dengan tujuh buah layar yang terdiri atas tiga layar kecil berbentuk segitiga, disebut "tanpasere" dipasang antara "anjong" (segitiga penyeimbang di sisi depan kapal) dengan tiang utama, dua layar bantu di tengah yang disebut "cocoro tangnga", dan dua layar bantu di belakang, disebut "tarengke".

Sementara dua layar utama berukuran besar dan berbentuk trapesium dipasang di tengah. Layar utama pada tiang depan disebut "sombala bakka" sedangkan layar pada tiang belakang dinamakan "sombala riboko". Tujuh layar inilah merupakan ciri khas kapal pinisi.

Proses pembuatan kapal selalu diawali dengan ritual tertentu. Tahap pertama adalah menghitung hari baik untuk mencari kayu sebagai bahan baku yang biasanya jatuh pada hari ke lima dan ke tujuh pada bulan berjalan. Masing-masing hari tersebut mengandung arti yang baik yakni "rezeki sudah di tangan" dan "selalu mendapatkan rezeki".

Proses pencarian kayu dipimpin oleh punggawa atau kepala tukang. Selanjutnya, saat meletakkan lunas kapal dimulai, kayu harus diletakkan menghadap timur laut. Bagian balok lunas bagian depan menyimbolkan lelaki, sedangkan bagian belakang diartikan sebagai wanita.

Setelah dimanterai, proses pemotongan dimulai dengan menggunakan gergaji yang harus terus bergerak hingga balok lunas terpotong.

Tahap selanjutnya adalah pembuatan badan kapal, dek, bilik kapal, pemasangan tiang dan layar serta proses penyelesaian dan peluncuran pertama kali di laut. Semua tahapan ini selalu selalu didahului dengan ritual yang mencerminkan nilai sosial dan budaya kehidupan sehari-hari, yaitu kerja bersama, bekerja keras, keindahan, serta penghargaan terhadap lingkungan alam.

Pembuatan perahu Pinisi secara tradisional masih bisa ditemui di beberapa wilayah Sulawesi Selatan, yaitu di Tana Beru, Bira, dan Batu Licin di Kabupaten Bulukumba.

Kini, pinisi merupakan andalan kegiatan ekonomi di Indonesia, terutama dalam sektor transportasi hasil bumi antarpulau. Pelabuhan-pelabuhan utama seperti di Makassar, Surabaya, Jakarta, Semarang, Pontianak, dan Banjarmasin selalu dipadati oleh kapal pinisi.