Semarang, (Antarariau.com) - Menumbuhkembangkan semangat kepahlawanan, kepatriotan, dan kejuangan setiap orang untuk kemajuan dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu tujuan penganugerahan gelar pahlawan nasional.
Selain itu, pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan kepada mereka yang berhak juga menumbuhkembangkan sikap keteladanan bagi setiap orang dan mendorong semangat melahirkan karya terbaik bagi kemajuan bangsa dan negara.
Tujuan lainnya, sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yakni menghargai jasa setiap orang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi yang telah mendarmabaktikan diri dan berjasa besar dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan harus benar-benar selektif meski badan yang beranggotakan tujuh orang ini bisa memberikan pertimbangan kepada Presiden RI Joko Widodo mengenai pencabutan tanda jasa dan tanda kehormatan.
Sebelum penerbitan Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, misalnya, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan telah meneliti, membahas, dan memverifikasi usulan, serta memberikan pertimbangan mengenai pemberian gelar tersebut.
Selanjutnya, Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Kamis (9-11-2017), secara resmi menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada ahli waris dari empat tokoh, yakni T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Laksamana Malahayati dari Provinsi Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagaimana diberitakan Antara sebelumnya, Kamis (9/11), keempat tokoh tersebut dianggap pernah memimpin dan berjuang dengan mengangkat senjata atau perjuangan politik untuk merebut, mempertahankan, mengisi kemerdekaan, dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Para tokoh itu dianggap tidak pernah menyerah kepada musuh dalam perjuangan, mengabdi, dan berjuang sepanjang hidupnya, bahkan melebihi tugas yang diembannya, pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara, hingga pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Mereka juga dianggap punya konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi hingga perjuangannya dinilai berdampak luas di tengah masyarakat.
Nasib Dua Tokoh
Nama dua tokoh yang santer menjadi pembicaraan di publik setiap menjelang peringatan Hari Pahlawan Nasional sejak beberapa tahun lalu, tidak masuk dalam daftar penerima gelar pahlawan nasional.
Baik Jenderal Besar TNI Haji Muhammad Soeharto maupun Kiai Haji Abdurrahman Wahid, pada tahun ini namanya belum masuk dalam daftar penerima gelar tersebut meski sejumlah pihak menganggap dua tokoh itu layak.
Pak Harto, sapaan akrab presiden ke-2 RI H.M. Soeharto, menurut anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Sudadi, sangat layak mendapat gelar Pahlawan Nasional. Begitu pula, Gus Dur--sapaan akrab presiden ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid--juga layak menerimanya. Keduanya memiliki kelebihannnya masing-masing.
Sementara itu, Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Dr.Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. menilai pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto menunjukkan Indonesia bangsa pemaaf, bukan pendendam.
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Pak Harto bukan merupakan bentuk rekonsiliasi, melainkan sebuah wujud rasa terima kasih bangsa atas kontribusi beliau. Apalagi, pemberian gelar itu sudah diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Di dalam Pasal 1 Angka 4 disebutkan bahwa pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Sejelek apa pun pria kelahiran Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 8 Juni 1921, menurut Teguh Yuwono, kontribusinya untuk bangsa dan negara tetap besar.
"Pak Harto pada masa pemerintahnya (1967 s.d. 1998) disegani baik pada tingkat nasional maupun internasional," katanya ketika merespons perlu-tidaknya Pemerintah memberi gelar pahlawan kepada Pak Harto yang wafat di Jakarta, 27 Januari 2008.
Semasa hidupnya, kata Teguh, nama Letnan Kolonel Soeharto tidak lepas dari perang merebut kembali Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta, 1 Maret 1949, atau dikenal dengan istilah "Serangan Umum 1 Maret 1949".
Menurut dia, masih relatif banyak hal yang telah dilakukan Pak Harto demi bangsa ini. Misalnya, berhasil menegaskan eksistensi Indonesia sebagai bangsa yang besar.
Jasa Sang Tokoh
Situs infoindonesiakita.com mencatat jasa-jasa-Pak Harto, antara lain, membangun 999 masjid Amal Bakti Muslim Pancasila, memberikan lahan pertanian dan perkebunan bagi jutaan petani lewat program Transmigrasi berikut uang saku hingga setahun penuh.
Selain itu, membangun berbagai tol, seperti Jagorawi, Anyer, dan Cikampek, kemudian membangun Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Soekarno Hatta, memberikan beasiswa Supersemar bagi jutaan siswa dan mahasiswa di seluruh Indonesia.
Membangun dan mengembangkan BUMN, seperti Pertamina, Elnusa, Garuda, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), PT Industri Kereta Api (Inka), PT Penataran Angkatan Laut (PAL) Indonesia, dan sebagainya sehingga bangsa Indonesia bisa membuat kapal dan pesawat sendiri.
Begitu pula, Gus Dur. Web muslimoderat.net mencatat ada enam jasa mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, yakni sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, beberapa kali menyelamatkan tenaga kerja Indonesia (TKI) dari kematian, pernah menampung puluhan TKI yang dideportasi, mendirikan serikat buruh pada masa mencekam, dan membuat peraturan yang proburuh.
Alasan kenapa belum dianugerahi gelar pahlawan nasional? Wakil Ketua Dewan Gelar Jimly Asshiddiqie, sebagaimana yang diwartakan news.okezone.com pada hari Jumat (27/11), menegaskan bahwa pemerintah lebih memilih pahlawan yang berasal dari abad ke-17 dan abad ke-18. Jadi, bukan lantaran tokoh itu tidak memiliki kualifikasi.
Dewan Gelar (bisa dikatakan) selektif dan profesional dalam menentukan siapa saja yang akan mendapat gelar tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Wiranto yang notabene Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pernah menjabat jabatan yang sama pada era pemerintahan Gus Dur.
Di sisi lain, posisi Ketua Umum Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) adalah Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa yang pernah sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada zaman Gus Dur. Tim ini yang mengajukan nama calon pahlawan nasional kepada kepada Presiden RI melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan guna mendapatkan persetujuan penganugerahan pahlawan nasional.
Publik juga tahu bahwa Wiranto pada masa pemerintahan Presiden H.M. Soeharto pernah sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, Panglima ABRI, bahkan sebelumnya pernah sebagai ajudan presiden ke-2 RI itu.
Namun, yang lebih penting dalam penganugerahan gelar pahlawan nasional adalah melahirkan patriot-patriot baru. Makin cinta tanah air, makin tinggi daya juang anak bangsa ini untuk kemajuan dan kejayaan NKRI.