Kampar (Antarariau.com) Satu-satunya kebun binatang di Provinsi Riau, Kasang Kulim di Kabupaten Kampar, mengalami kesulitan untuk memenuhi biaya operasionalnya karena masih rendahnya tingkat kunjungan ke tempat wisata itu.
Kalau dikatakan saat ini daya beli masyarakat turun, ungkap Laskar Permana pengelola sekaligus pengawas kebun binatang Kasang Kulim, mengenai penyebab rendahnya jumlah pengunjung, Sabtu.
Jumlah pengunjung di kebun binatang itu rata-rata mencapai 100 orang dalam sebulan, dan mayoritas adalah anak-anak. Laskar mengatakan pendapatan Kebun Binatang Kasang Kulim berkisar Rp6 juta hingga Rp7 juta dalam sepekan. Pemasukan itu berasal dari penjualan tiket masuk dan penyewaan beberapa fasilitas, diantaranya seperti kolam renang, penyewaan sepeda dan menunggang gajah.
Dari pendapatan itu, pihak pengelola harus memilah-milah penggunaannya untuk gaji karyawan, perawatan satwa, makan satwa dan biaya operasional lainnya. Saat ini Kasang Kulim memiliki 132 ekor koleksi binatang, termasuk di antaranya binatang langka seperti Gajah Sumatera.
Karyawan kita kerja memang tidak penuh, tapi secara keseluruhan (gaji) per minggu Rp300 ribu namun, untuk yang baru Rp200 ribu. Biaya listrik saja mencapai Rp7 juta, katanya.
Selain itu, Laskar juga menjelaskan ada pengunjung yang mau menawar harga tiket, padahal untuk dapat masuk ke Kasang Kulim hanya memerlukan Rp25 ribu bagi tiap orang dewasa dan Rp20 ribu untuk anak-anak.
Maaf kata, tiket Rp25 ribu saja kadang ada yang nawar. Padahal untuk tempat rekreasi lain harganya sudah mencapai lima puluh ribu rupiah, ungkap Laskar.
Laskar juga sering mengatakan kepada pengunjung jika membayar sesuai harga yang tertera, maka mereka membantu satwa yang ada untuk tetap sehat dan hidup.
Saya bicara fakta saja. Kalau tiket dipotong terus siapa yang menggaji karyawan, dokter hewan, listrik dan lainnya. Kami tetap harus menyejahterakan karyawan dan mau mengembangkan sarana, prasarana dan fasilitas yang ada, tambah Laskar.
Ia mengakui bahwa Kebun Binatang Kasang Kulim belum dikenal masyarakat secara luas. Publikasi pernah dilakukan melalui beberapa media namun, saat ini hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut saja.
Oleh Desiyari Natalia Tambunan, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau