Pekanbaru (Antarariau.com) - Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas, Benny Dwika Leonanda Indonesia sebaiknya segera meninggalkan sistem ekonomi neo liberal dengan ciri dan bertumpu pada pengembangan hutang sehingga menyulitkan negara untuk maju.
"Negara sulit maju karena sistem neo liberal ini lebih mengutamakan mekanisme permintaan dan penawaran pasar bukan berasal dari pendapatan sendiri bersumber dari penggalian SDA dan lainnya," kata Benny dihubungi dari Riau, Selasa.
Pendapat demikian disampaikanya berdasarkan analisanya karena adanya kecenderungan Pemerintah RI mengikuti sistem neo-liberal yang didasarkan teori ekonomi neo-klasik yang bertumpu kepada mekanisme permintaan dan penawaran pasar.
Menurut dia, penawaran dan permintaan pasar bukan tumbuh dari hasil produksi dan kebutuhan riil, akan tetapi tumbuh berasal dari penambahan hutang, dampaknya, setiap negara dan masyarakat terjerat dengan hutang dan hari ke hari terus bertambah.
Jika Indonesia mengikuti sistem ekonomi neo-liberal, ini maka sistem ekonomi ini berada dalam kondisi sekarat. Tidak heran ekonomi Indonesia menjadi cepat terpuruk dalam beberapa tahun terakhir, katanya.
Ia menjelaskan bahwa sistem ekonomi neo liberal adalah sebuah sistem ekonomi modern yang dipakai sebagai dasar kemajuan negara-negara barat sejak awal tahun 1980-an. Namun sejak krisis ekonomi tahun 2007-2008 sistem ini terbukti telah mengalami kegagalan.
Setelah berjalan tiga dekade sistem tersebut tidak stabil dan cenderung merusak sumber daya alam dan sumber daya manusia. Berbagai negara maju di timur dan barat yang menganut sistem ekonomi neo liberal itu justru terperangkap pada rendahnya inflasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi.
"Kondisi ini menyulitkan negara-negara maju untuk berkembang lebih jauh, karena ketergantungan terhadap inflasi tinggi merupakan hal utama untuk meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan suatu negara, namun akhir-akhir ini, hal tersebut sulit tercapai," katanya.
Sementara itu, berbagai stimulus dan aneka deregulasi yang telah diberikan pemerintah berbagai negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tidak terbukti efektif.
Sementara hutang-hutang berbagai negara di dunia terus bertambah. Pendapatan pemerintah semakin hari-semakin berkurang.
Akibatnya, kata Beni, berbagai pemerintah mencari alternatif menambah penghasilan negara dengan meningkatkan pajak dan mencari sumber ekonomi baru untuk diberi pajak.
Parahnya merujuk data BPS RI, inflasi pada Agustus 2016 sebesar 0,02 persen. Inflasi dari dari tahun ke tahun (year on year) sebesar 2,79 persen. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan asumsi pada APBN-P 2016 dan APBN 2016 yang berada pada angka 4 dan 4,7 persen.
"Deflasi terjadi pada 55 kota dan inflasi terjadi pada 33 kota seperti yang dicatat oleh BPS. Pada bulan-bulan mendatang angka-angka ini terus mengecil sejalannya melambatnya ekonomi dunia," katanya dan menekankan bahwa gejala rendahnya inflasi ini merupakan indikasi bahwa permintaan dan konsumsi masyarakat terus menurun.
Pada kebijakan pemerintah pun telah memutuskan memangkas anggaran sebesar Rp188,2 triliun tahun ini dan hal ini akan terus menurunkan inflasi di berbagai kota di Indonesia, sekaligus kota yang mengalami deflasi akan terus bertambah.
Ia memandang bahwa kondisi tersebut tentu saja menyulitkan pemerintah untuk mencapai target penerimaan negara. Apalagi sistem yang ekonomi yang telah dibangun pemerintah saat ini bertumpu pada pendapatan pajak dari pada sumber-sumber lain.
"Ketika konsumsi dan investasi masyarakat berkurang, maka pendapatan pemerintah pun pasti akan berkurang. Saat ini pemerintah Indonesia berada pada krisis finansial (keuangan). Pendapatan negara dalam Dollar Amerika Serikat pada tahun 2013, 2014, 2015 berturut-turut turun sebesar minus 4,16, 5,38, dan 13,9 persen," katanya.
Sama halnya, pajak pun mengalami penurunan 1,5, 6,43, dan 4,04 persen pada tahun yang sama. Demikian juga dengan GDP sejak tahun 2013 sampai tahun 2015 terus turun. Penurun GDP riil Indonesia turun sebesar minus 0,5, 2,61, dan 3,11 persen.
Ekspor ke luar negeri dalam setahun terakhir turun sebesar 12,02 persen. Sementara impor dari luar negeri juga mengalami penurunan 10,85 persen pada masa yang sama.
Indonesia sejak 2000 telah mengadopsi sebahagian paham ekonomi neo-liberal. Berbagai Undang-Undang telah diubah untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi negara. Berbagai perusahaan negara dan BUMN satu per satu diprivatisasi.
Selain itu, berbagai aturan dideregulasi. Pajak dan tarif diubah dan dihilangkan untuk melancarkan pemasaran produk-produk asing ke dalam negeri. Semua itu dilakukan atas dasar pengembangan teknologi dan mencapai kesejahteraan.
Oleh karena itu Indonesia harus meninggalkan praktik ekonomi neo liberal dan mencari dan membentuk sistem ekonomi baru yang lebih mandiri serta melepaskan ketergantungan dari pada ekonomi global.
Berita Lainnya
Begini tanggapan PSSI soal permintaan Bahrain untuk main di luar Indonesia
17 October 2024 10:44 WIB
Agensi YG Entertainment beri tanggapan soal reuni 2NE1
26 June 2024 10:48 WIB
Disebut sabu dan ekstasi dikendalikan napi Bengkalis, Ini tanggapan Kalapas
21 June 2024 15:47 WIB
Kemarin, Benih Padi Super Genjah hingga tanggapan Dirut Garuda Indonesia
25 May 2024 11:39 WIB
Bandara SSK II Pekanbaru akan pindah ke Siak, ini tanggapan Bupati
22 May 2024 20:02 WIB
Caleg di Pekanbaru diduga bagi-bagi paket ke KPPS, ini tanggapan Bawaslu
12 February 2024 15:57 WIB
Ini tanggapan Ganjar soal pertemuan Jokowi dengan kepala desa
31 December 2023 15:52 WIB
Kapolsek Bungaraya bawa tahanan korupsi keluar sel, ini tanggapan Kapolres dan Kajari Siak
17 October 2023 0:00 WIB