Soal "Gubernur Konten" Dedi Mulyadi, ini tanggapan pengamat

id Media Sosial,gubernur,konten

Soal "Gubernur Konten" Dedi Mulyadi, ini tanggapan pengamat

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait (kiri) menyaksikan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (kanan) mengecat rumah tidak layak huni saat peluncuran program bebenah kampung di Pagarsih, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/5/2025). Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman meluncurkan program Bebenah Kampung dari Yayasan Buddha Tzu Chi yang merupakan bagian dari program tiga juta rumah dengan membangun dan merenovasi. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa.

Pekanbaru (ANTARA) - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Nasional, Jakarta, Mego Widi Hakoso, menanggapi fenomena "Gubernur Konten" yang belakangan menjadi sorotan publik. Hal ini mencuat setelah Gubernur Dedi Mulyadi disebut sebagai "Gubernur Konten" oleh gubernur lain dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI.

Mego menilai, penggunaan kanal media sosial pribadi oleh Gubernur Dedi membawa sisi positif dan negatif dalam konteks komunikasi politik di era demokrasi saat ini. "Efisiensi anggaran menjadi salah satu manfaatnya. Dengan memanfaatkan media sosial pribadinya, Gubernur Dedi mampu menghemat kas Pemerintah Daerah Jawa Barat, salah satunya dengan mengurangi ketergantungan pada media tradisional," ujar Mego, kepada Antara Riau, Selasa.

Menurut Mego, keaktifan Dedi Mulyadi di media sosial efektif memperlihatkan proses kerja langsung kepada masyarakat. Namun di sisi lain, ia mengingatkan adanya risiko pencitraan berlebihan. "Stempel 'Gubernur Konten' bisa melemahkan esensi peran gubernur. Konten yang menarik biasanya dramatik dan heroik, sehingga masyarakat hanya disuguhi sisi baik tanpa melihat realita di lapangan secara utuh," jelasnya.

Dalam demokrasi, lanjut Widi, komunikasi politik tidak boleh berjalan satu arah. Dialog antara penguasa politik dengan rakyat harus tetap terbuka, termasuk memberi ruang kritik dan aspirasi.

"Peran pers sebagai pilar keempat demokrasi menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan informasi. Kanal media sosial pribadi cenderung minim verifikasi, satu arah, dan rawan pencitraan," tegasnya.

Mego menyarankan agar dalam setiap kegiatan inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Gubernur Dedi bersama tim kontennya, juga melibatkan media massa. "Dengan melibatkan pers, dialog dan kontrol terhadap kinerja kepala daerah bisa terjaga. Informasi yang disajikan kepada publik pun akan lebih berimbang karena dilihat dari berbagai sudut pandang," jelas Mego.

Ia menekankan bahwa dalam demokrasi, komunikasi tentang kinerja kepala daerah idealnya tidak hanya berasal dari kepala daerah itu sendiri, tetapi juga dari pers sebagai representasi suara rakyat.