Pekanbaru, (Antarariau.com) - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Migas (SKK Migas) menyatakan bertekad untuk mengoptimalkan pengendalian pengembalian biaya operasi atau yang dikenal "cost recovery".
Sebagaimana ditanyakan lewat pesan elektronik, Sabtu, "cost recovery" terlanjur dipakai untuk menjelaskan pengembalian biaya operasi pada industri hulu migas. Bagaimana negara mengendalikan pengembalian biaya operasi atau Cost Recovery ini?
Kepala SKK Migas Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) Hanif Rusdi menjawab Sabtu, bahwa hal pertama yang penting untuk diketahui pada industri hulu minyak dan gas bumi (migas) adalah biaya operasi tidak dikembalikan pemerintah dalam bentuk dana atau uang, tapi dalam bentuk produksi migas.
Artinya, lanjut dia, tidak ada aliran dana yang dikeluarkan secara fisik, baik oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun oleh SKK Migas.
Pengembalian itu katanya langsung dipotong dari produksi migas saat perhitungan jatah negara versus jatah perusahaan migas yang menjadi kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS), misalnya PT Pertamina EP, PT Chevron Pacific Indonesia, dan Total E&P Indonesia, dilakukan.
Namun, demikian Hanif, negara sadar pengembalian biaya operasi jadi salah satu faktor pengurang penerimaan negara sehingga perlu dikendalikan dan diawasi.
SKK Migas sebagai wakil negara dalam kontrak itu menurut dia berperan dominan dalam pengendalian dan pengawasan tersebut. Layaknya organisasi modern, pengendalian dan pengawasan ini tidak semata-mata mengandalkan pengawasan fisik, tetapi, lebih penting dari itu adalah memastikan setiap proses bisnis memiliki pengendalian internal (internal control).
"Pengendalian internal ini harus ada di SKK Migas, dalam interaksi bisnis SKK Migas dan Kontraktor KKS, maupun di Kontraktor KKS. SKK Migas memiliki pedoman tata kerja yang baku untuk setiap titik simpul-simpul interaksi dengan Kontraktor KKS," katanya.
Pada prinsipnya, lanjut dia, SKK Migas melakukan pengendalian dan pengawasan dalam tiga tahapan, yaitu saat awal akan terjadinya biaya (pre audit); saat eksekusi biaya dan pelaksanaan pekerjaan (current audit); dan terakhir, setelah biaya terjadi dan pekerjaan selesai dilakukan (post audit).
Pre audit dilakukan melalui pengawasan terhadap perencanaan yang dilakukan Kontraktor KKS. Pengawasan perencanaan antara lain kata dia dilakukan melalui persetujuan rencana pengembangan lapangan atau Plan of Development (POD) yang mencerminkan rencana jangka panjang Kontraktor KKS.
Pengawasan menurutnya juga dilakukan pada saat penyusunan program kerja dan anggaran tahunan, yaitu melalui persetujuan Work Program and Budget (WP&B), dan juga ketika anggaran tersebut dilaksanakan dalam proyek-proyek.
"Pengawasan proyek itu dilakukan saat pertama kali kontraktor menyampaikan rencana proyek yang dituangkan dalam Authorization for Expenditure (AFE) yang juga mensyaratkan persetujuan SKK Migas," kata dia.
Current audit kata Hanif dilakukan melalui pengawasan atas mekanisme pengadaan dan pelaksanaan proyek. Pengawasan terhadap pengadaan dilakukan dengan menerapkan pedoman tata kerja yang menjadi acuan bagi Kontraktor KKS dalam pengadaan barang dan jasa.
Sementara itu, kata Hanif, untuk proyek-proyek besar, pengawasan dilakukan oleh unit khusus yang melakukan monitor dan pengawasan secara intensif.
Post audit katanya dilaksanakan dengan menggunakan prosedur auditing yang secara umum digunakan. Kontraktor KKS secara internal melakukan audit atas laporan keuangan mereka.
"Sedangkan audit terhadap Kontraktor KKS yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah dilakukan oleh SKK Migas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Direktorat Jenderal Pajak," katanya.
Bagaimana jika setelah post audit dilakukan terdapat temuan pengembalian biaya operasi yang tidak seharusnya?
Hanif menjawab, kelebihan pengembalian ini akan dikoreksi pada proses bagi hasil berikutnya yaitu dengan mengurangi bagian Kontraktor KKS sebesar kelebihan pengembalian biaya operasi tersebut. Hal yang sama berlaku apabila pengembalian justru lebih rendah dari seharusnya. Jatah pemerintah pada bagi hasil berikutnya kata dia akan berkurang sebesar kekurangan pengembalian. Mekanisme koreksi ini dikenal dengan istilah over/under lifting. Hal ini dapat diterapkan dalam industri hulu migas karena siklus bisnisnya yang panjang yaitu selama kontrak berlaku atau 30 tahun.
"Tata kelola untuk mengendalikan pengembalian biaya operasi atau cost recovery sudah dibangun sebagai bagian upaya memaksimalkan penerimaan hulu migas bagi negara. Tentu saja ruang perbaikan masih terbuka. Input yang konstruktif hanya bisa dihasilkan dari pemahaman yang benar dan menyeluruh tentang kegiatan usaha hulu migas di Indonesia," demikian Hanif.