Restorasi mangrove untuk menebus dosa masa lalu di Lalombi, Sulteng

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara, mangrove

Restorasi mangrove untuk menebus dosa masa lalu di Lalombi, Sulteng

Mansyur Amien (76), tokoh masyarakat sekaligus Ketua Koperasi Tambak Sari menanam bibit mangrove bersama para peneliti di Desa Lalombi, Banawa Selatan, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (19/2/2025) (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Jakarta (ANTARA) - Mansyur Amien tidak mempedulikan terik matahari yang membakar kulit kepalanya yang mulai gundul. Pagi itu, lebak berlumpur di pesisir pantai barat Sulawesi diterobosnya begitu saja hanya menggunakan sepatu karet jenama Jepang yang sudah usang itu.

Pria berusia 76 tahun ini rela sepatu kesayangannya itu tertancap dalam lumpur semata karena tak mau ketinggalan rombongan peneliti dan para pelaku usaha menanam bibit mangrove bersama di Desa Lalombi, Kecamatan Banawa Selatan, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu 19 Februari 2025.

Baginya kegiatan itu bukan semata seremonial tetapi momentum sangat bersejarah.

Demi mengembalikan kelestarian ekosistem mangrove Desa Lalombi yang telah lama hilang korban program eksplorasi pertambakan udang masa lalu. Desa Lalombi merupakan desa bahari yang berjarak sekitar 64 kilomter dari Kota Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah.

Pria yang juga Ketua Koperasi Tambak Sari, itu menceritakan bagaimana pada dekade 70-an sampai 80-an, mangrove di Desa Lalombi masih tumbuh subur. Kala itu masyarakat desa yang mayoritas dari suku Kaili, Bugis, dan Mandar bisa dengan mudah mendapatkan puluhan kilogram ikan, kepiting bakau, hanya dengan sekali serokan jaring jala.

Hasil tangkapan itu bahkan cukup untuk mencukupi pasokan makanan bergizi untuk anak-anak se-Kabupaten Donggala.

Namun semua berubah ketika datang janji manis program pembangunan daerah yang menghalalkan pembabatan hutan mangrove secara besar-besaran, mengubahnya menjadi tambak-tambak udang.

Gelombang kerusakan dimulai sekitar awal 1990-an ketika budidaya udang dengan cepat menjelma menjadi mata pencaharian utama bagi sekitar 634 kepala keluarga di desa yang asri ini. Sebelumnya, mereka adalah nelayan dan petani.

Mansyur mengakui bahwa minimnya pengetahuan warga dan disokong adanya kebijakan pemerintah yang membolehkan masyarakat desa mengkonversi lahan untuk budidaya, kala itu, kian memperparah kerusakan ekosistem mangrove.

Seiring berjalannya waktu, masalah lingkungan semakin terasa. Aktivitas pembukaan mangrove untuk tambak udang Program Bina Bahari yang dijalankan pada masa itu mangkrak, dan masyarakat pun berjalan sendiri tanpa dukungan yang memadai.

Setelah mangrove hilang, ternyata tambak udang rakyat menjadi tak produktif dan usaha semakin merugi. Masa keemasan budidaya tambak udang rakyat di Desa Lalombi rata-rata hanya mampu bertahan selama 5 hingga 7 tahun pertama, setelah itu, tambak menjadi rusak akibat penyakit yang menyerang udang pancet atau udang windu.

Hutan mangrove yang tersisa di Lalombi hanya sekitar 50,86 hektare, sementara luas tambak sudah mencapai 300 hektare, mencakup tiga desa: Lalombi, Suromana, dan Tanahmea di Kecamatan Banawa Selatan, Donggala. Akibatnya, saat ini sebagian besar tambak rakyat tidak produktif bahkan banyak yang hiatus.

“Sejak mangrove itu tidak ada, penambak rugi, tidak bisa dijadikan sumber pendapatan. Pematang ini puluhan tahun tidak dapat diolah, hanya air yang kami pelihara tidak ada udangnya,” kata Mansyur yang sekujur badannya dibasahi keringat.

Tiga tahun terakhir, Mansyur mulai aktif menggerakkan puluhan anggota Koperasi Tambak Sari yang sudah kadung menyerah untuk bangkit. Pijakan pertama mereka adalah menanami kembali mangrove demi memperbaiki ratusan hektare tambak yang ada, tetapi pemulihan lamban kerena terbatasnya modal masyarakat.

Peneliti dari Universitas Tadulako Dr. Bau Toknok ditemui seusai peluncuran Program Climate Smart Shrimp Farming dan penanaman mangrove Yayasan Konservasi Indonesia (KI) di Desa Lalombi, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (19/2/2025) (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Dr Bau Toknok, peneliti mangrove dari Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, membenarkan bahwa dampak kerusakan mangrove yang parah membuat ekosistem pesisir di Desa Lalombi semakin tidak seimbang.

Tim peneliti sudah menyadari kondisi tersebut sejak lama. Mereka mengingatkan untuk tidak sembarang membuka lahan mangrove, dan juga jangan membuat pematang dengan cara dibendung karena akan menutup sirkulasi air tawar dengan air laut.

Cara tersebut dinilai memudahkan masyarakat yang memanfaatkan pasang laut untuk mengaliri tambak udang. Tetapi terputusnya aliran air tawar dan laut akibat bendungan juga menyebabkan mangrove semakin banyak yang mati.

Namun saran para peneliti kala itu cenderung tidak dipedulikan karena semua masih terbuai dengan keuntungan yang kini berujung jadi buntung. Pasalnya, tanpa adanya mangrove, potensi air di tambak menjadi tercemar jadi lebih besar dan mengurangi produktivitas budidaya udang.

Bau Toknok mengatakan secara teori mangrove memiliki kemampuan luar biasa untuk menyaring air dari zat sisa pakan - kandungan logam sehingga lingkungan sekitar dapat terlindungi. Jika ekosistem ini dijaga menjadi lebih berkelanjutan bukan tidak mungkin Desa Lalombi jadi sentra udang tambak terkemuka.

Belajar dari pengalaman masa lalu, masyarakat pun tidak bisa dibiarkan bergerak sendiri untuk melakukan pemulihan lingkungan. Pasalnya melihat kerusakan yang ada, misi penyelamatan tambak menjadi perjuangan yang padat modal. Oleh karenanya mereka layak mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan pihak ekstrenal. Seperti yang sedang dilakukan saat ini.

Penanaman bibit mangrove itu adalah buah kolaborasi antara tim peneliti dari Yayasan Konservasi Indonesia, Universitas Tadulako, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan perusahaan rintisan untuk budidaya udang berbasis teknologi, JALA.

Mereka mengembangkan metode budidaya udang vaname yang ramah lingkungan atau disebut Climate Smart Shrimp Farming (CSSF) dalam kolaborasi itu. Metode ini bertujuan untuk mengintegrasikan mangrove dengan budidaya udang, sehingga keduanya bisa berkembang secara berkelanjutan.

Seorang pekerja memeriksa tambak budidaya udang berkelanjutan atau Climate Smart Shrimp Farming (CSSF) yang dikembangkan di Desa Lalombi, Donggala, Sulawesi Tengah. (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Ocean Program Director Yayasan Konservasi Indonesia Budiati Prasetiamartati menjelaskan bahwa pendekatan ini tidak hanya berfokus pada perluasan tambak, tetapi juga pada perlindungan mangrove dan pemulihan konektivitas ekosistem di sekitar tambak.

Seluas 12 hektare lahan bekas tambak udang di Desa Lalombi, yang dikelola perusahaan JALA, itu mereka jadikan proyek percontohan CSSF, yang dianggap sebagai inovasi pertama tambak udang vaname berkelanjutan berbasis teknologi di Indonesia, bahkan di ASEAN.

Berdasarkan desain rencana kerja diketahui dari jumlah keseluruhan lahan itu, hanya sekitar 3,5 hektare lahan yang dibangun untuk tambak pembiakan udang, sementara bagian seluas 6,5 hektare lainnya ditanami mangrove, dan dibuat kolam Instalasi Pengolahan Air Limbah demi memaksimalkan proses penyaringan air alami.

Ada 0,24 hektare luasan mangrove yang eksisting, targetnya sekitar dua tahun ke depan ada 3,5 hektare yang direstorasi. Jika terpenuhi, kata Budiati, bukan cuma jadi biofilter alami tambak budidaya udang tetapi diperkirakan jumlah karbon yang terserap sebesar 7.350 ton CO2e.

Para peneliti, perwakilan pemerintah Kabupaten Donggala, masyarakat dan pelaku usaha menanam bibit mangrove sebagai kompoten penting bagi budidaya tambak udang berkelanjutan atau Climate Smart Shrimp Farming yang dikembangkan di Desa Lalombi, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (19/2/2025) (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Restorasi mangrove ini akan mendukung keberlanjutan produksi tambak udang. Dengan adanya mangrove, air akan disaring dengan baik, dan ekosistem di sekitar tambak, seperti ikan dan kepiting bakau, akan hidup kembali.

Para peneliti juga percaya bahwa model CSSF lebih tepat diterapkan di Desa Lalombi dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia. Berdasarkan hasil pengukuran mulai dari suhu udara, topografi hingga kualitas air baku di sana yang masih baik, selain itu masyarakat setempat juga sangat mendukung upaya ini.

Selama beberapa tahun terakhir, para peneliti mengamati bahwa sedikitnya ada sembilan jenis mangrove tumbuh alami di Desa Lalombi, meskipun sebagian besar sudah terdegradasi. Maka dengan bantuan teknologi berbasis IOT dalam metode baru ini, mangrove bisa direstorasi dan menjadi bagian integral dari budidaya udang yang berkelanjutan.

Pemulihan mangrove di Lalombi merupakan langkah penting dalam mengatasi kerusakan lingkungan yang telah terjadi. Dengan menjaga kelestarian mangrove, bukan hanya ekosistem pesisir yang terjaga, tetapi juga kehidupan masyarakat yang bergantung pada tambak udang dan sumber daya alam lainnya.

Sebagai langkah awal, proyek ini mungkin tidak langsung memberikan dampak besar pada keseluruhan luas mangrove di desa tersebut, tetapi diharapkan menjadi contoh supaya masyarakat juga bisa melakukan hal yang sama.

Mansyur Amien berharap lebih banyak warga Lalombi turut serta dalam upaya pemulihan mangrove. Dia meyakini bahwa inisiatif ini akan membawa masa depan yang lebih baik, tidak hanya bagi tambak udang tetapi juga untuk kelestarian alam di desanya.

Ini adalah upaya menebus dosa masa lalu, mengembalikan yang telah hilang, dan menjaga agar desa ini tetap lestari untuk generasi mendatang.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo