Jakarta (ANTARA) - Prancis tengah melompat ke dalam ketidakpastian. Demikian inti komentar dari salah satu pengamat politik Prancis, Nicolas Baverez, seperti dikutip media BBC.
Pernyataan tersebut dikemukakan setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan tentang pemilu dipercepat yang digelar di Prancis pada 30 Juni 2024 untuk putaran pertama.
Putaran pertama yang dimaksud karena sistem pemilu Prancis mengharuskan caleg untuk dapat memenangi mayoritas absolut (lebih dari 50 persen) dari dapil konstituen yang hanya mewakili satu kursi.
Seluruh area milik Prancis--termasuk wilayah di luar daratan Eropa yang menjadi bagian dari Prancis--secara total memiliki 577 dapil.
Bila pada putaran pertama tidak ada caleg yang meraih mayoritas absolut, maka dilanjutkan dengan putaran kedua pada 7 Juli 2024.
Mengapa Macron memutuskan untuk menggelar pemilu tahun ini? Hal tersebut karena kemenangan besar Partai Barisan Nasional (Rassemblement National/RN) dalam pemilu Parlemen Eropa yang telah diselenggarakan di Benua Biru tersebut pada 6--9 Juni lalu.
Dalam pemilu Eropa itu, RN menjadi partai dengan suara terbanyak dan memenangi 30 kursi, sedangkan Prancis sendiri memiliki 81 kursi untuk diperebutkan. Sementara itu, hasil untuk koalisi tengah Ensemble yang diusung Macron hanya meraih 13 kursi.
Dengan kemenangan di awal Juni itu, maka banyak pihak terperangah mengapa Macron "berjudi" dengan berupaya menggelar pemilu legislatif Prancis pada akhir Juni dan awal Juli ini bila hasilnya relatif akan serupa dengan hasil dalam pemilu Eropa?
Prediksi itu bisa terlihat nyata dari hasil sementara pemilu Prancis putaran pertama. Hasil dari data Kementerian Dalam Negeri Prancis pada Senin (1/7) menunjukkan bahwa RN meraih 33,4 persen, disusul gabungan sayap kiri Front Rakyat dengan 27,99 persen, dan Ensemble di posisi ketiga dengan 20,04 persen.
Keunggulan partai sayap kanan RN membuat banyak pihak cemas karena sejumlah program yang akan ditawarkannya, misalnya, rencana untuk tidak akan menyertakan orang dengan dwikebangsaan guna dapat menjabat di posisi strategis kenegaraan, yang hanya diperuntukkan bagi warga Prancis tanpa dua kewarganegaraan.
Dengan demikian, diperkirakan jutaan orang yang memiliki kewarganegaraan lain, seperti Prancis-Aljazair, Prancis-Maroko, atau Prancis-Tunisia akan dikesampingkan atau bahkan bisa didiskreditkan.
Seorang senator sayap kiri Prancis, Pierre Ouzoulias, dalam platform X seperti dikutip dari media Guardian, menyatakan bahwa gagasan bahwa sejumlah jabatan tertentu akan mengecualikan orang-orang dengan kewarganegaraan ganda menunjukkan "visi berbasis etnis dalam bangsa yang membeda-bedakan orang Prancis yang baik atau buruk berdasarkan asal muasalnya".
Sebelumnya pada 2022, capres RN Marine Le Pen mengusulkan agar menghentikan hak "reunifikasi anggota keluarga" bagi orang asing yang memiliki izin tinggal di Prancis, serta mengusulkan untuk menghentikan hak kewarganegaraan otomatis bagi setiap bayi yang dilahirkan oleh orang asing yang bertempat tinggal di Prancis.
Le Pen juga beberapa kali telah mengusulkan pelarangan penggunaan hijab di tempat publik, serta mengusulkan pelarangan produksi daging halal sehingga sejumlah kalangan menilai RN sebagai islamofobia.
Sayap kanan di Eropa kerap disebut sebagai gerakan yang anti-imigran serta mengkritik multikulturalisme sehingga ingin agar "budaya asli" Eropa yang bisa untuk dilestarikan serta dijunjung tinggi sehingga kerap tuduhan rasisme disematkan ke kelompok ini.
Persoalan imigran
Partai sayap kanan yang sangat menyorot persoalan imigran di Eropa memang telah lama ada di benua tersebut tetapi baru pada awal abad ke-21 ini saja mereka mulai menunjukkan taji dan cengkeramannya, yang ditandai dengan keberhasilan politikusnya memegang pucuk kepemimpinan negara, antara lain, dimulai di Polandia dan Hungaria.
Pada 2005, partai sayap kanan Hukum dan Keadilan (PiS) memenangkan pemilu (baik legislatif maupun presiden) di Polandia sehingga menjadi kekuatan dominan di negeri tersebut hingga pada 2023 mereka dikalahkan koalisi pihak oposisi. Namun, belum tentu PiS tidak akan kembali berjaya pada masa depan.
Adapun di Hongaria, sejak 2010 negara tersebut telah dipimpin Perdana Menteri Viktor Orban yang memiliki kendaraan politik partai Fidesz. Di bawah arahan Orban, Hongaria telah berkali-kali menghambat masuknya pengungsi dan Orban sendiri menekankan bahayanya bila penduduk "asli" Eropa diganti oleh kaum imigran.
Berdasarkan data yang dihimpun Wikipedia, disebutkan bahwa antara dekade 2010 dan 2020, Hongaria telah turun 69 peringkat dalam Indeks Kebebasan Pers, anjlok 11 peringkat dalam Indeks Demokrasi, dan merosot 16 peringkat dalam Indeks Persepsi Korupsi.
Selain itu, pada 2019 Freedom House menurunkan peringkat negara tersebut dari "bebas" menjadi "sebagian bebas", sedangkan pada 2022, Parlemen Eropa menyatakan bahwa "Hungaria tidak dapat lagi dianggap sebagai negara demokrasi penuh" dan negara tersebut telah menjadi "otokrasi elektoral".
Adapun pada era pascapandemi, kemungkinan pemimpin sayap kanan yang populer di Eropa saat ini adalah Giorgia Meloni, Perdana Menteri Italia sejak 2022.
Meloni berasal dari partai Fratelli d'Italia (FdI) yang memenangi pemilu Italia pada 2022. Meloni telah berkali-kali menyatakan kebijakan nol toleransi terhadap imigran ilegal serta tidak ingin ada dari imigran tersebut yang dapat mencapai daratan Italia.
Dengan ditambah potensi kemenangan RN di Prancis, maka hal ini telah lama menjadi sinyal bahwa pemikiran yang digalang berbagai partai sayap kanan dan tokoh-tokoh dari partai tersebut juga semakin mencengkeram dan menarik kian banyak pemilih di Eropa.
Mengapa pemikiran anti-imigran semakin menguat di Eropa? Hal ini tentu saja memiliki beragam faktor. Akan tetapi, sejumlah varian yang kerap muncul di sejumlah kajian, antara lain, pertimbangan ekonomis, yakni semakin banyak migran akan membuat pasar tenaga kerja kian sukar untuk para penduduknya.
Apalagi, dengan kondisi perekonomian di Eropa yang saat ini kerap dihantui oleh kenaikan tingkat inflasi dan dampak dari konflik antara Rusia dan Ukraina.
Selain itu, imigran juga dianggap tidak bisa berasimiliasi terhadap budaya Eropa, serta kerap dianggap sebagai kambing hitam dalam meningkatnya sejumlah kasus kriminalitas di berbagai negara di Eropa. Apalagi, bila terjadi kasus viral yang mengaitkan antara suatu kejahatan dengan warna kulit dan asal muasal pelakunya.
Untuk itu, tidak heran banyak politikus yang mengeksploitasi sentimen anti-imigran dan menormalkannya di dalam kancah perpolitikan Eropa.
Padahal, taruhannya besar, yakni mengancam kualitas demokrasi yang selama ini menjadi pilar utama mereka dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Presiden Emmanuel Macron optimistis WWF ke-10 di Bali beri solusi masalah air
Baca juga: Menhan Prabowo dan Menlu Retno bertemu Presiden Perancis Emmanuel Macron