Menjaga tuah sektor ekonomi kreatif seiring dengan pengesahan PP No. 24/2022

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara,ekraf

Menjaga tuah sektor ekonomi kreatif seiring dengan pengesahan PP No. 24/2022

Perajin menyelesaikan pembuatan miniatur lampu lenit Baduy di Kriya Bambu Lebak (Kabale) di Lebak, Banten, Rabu (22/6/2022). (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/nym)

Jakarta (ANTARA) - 12 Juli 2022, Presiden Joko Widodo mengesahkan aturan terkait pembiayaan usaha ekonomi kreatif (ekraf) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Ekonomi Kreatif.

Peraturan itu ditujukan demi mempermudah pelaku usaha ekraf memperoleh pembiayaan dengan jaminan produk kekayaan intelektual.

Aturan tersebut berlaku bagi 17 subsektor ekraf yang terdiri dari aplikasi, musik, periklanan, arsitektur, kriya, permainan interaktif, desain komunikasi visual, kuliner, seni pertunjukan, desain produk, fesyen, seni rupa, desain interior, penerbitan, TV dan radio, fotografi, dan film, animasi, serta video.

Di dalam PP No. 24/2022, terdapat empat skema pembiayaan yang dipaparkan. Pertama ialah pelaku ekraf mengajukan pembiayaan kepada lembaga keuangan bank/nonbank, lalu lembaga keuangan bank/nonbank melakukan verifikasi dan menilai kekayaan intelektual yang dijadikan agunan.

Setelah melakukan verifikasi maupun penilaian, pembiayaan akan dicairkan kepada pelaku ekraf. Terakhir, pelaku ekraf mengembalikan pembiayaan sesuai perjanjian.

Ada dua syarat yang patut dipenuhi oleh pelaku ekraf agar kekayaan intelektual menjadi agunan, yaitu telah tercatat/terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), serta dikelola sendiri dan/atau dialihkan hanya kepada pihak lain.

Sebelum menelisik lebih jauh pelbagai kandungan dalam PP No. 24/2022, kiranya lebih tepat untuk meninjau data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tahun 2020 yang mencatatkan 98,02 persen industri kreatif belum memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).

Adapun 1,98 persen industri ekraf yang telah memiliki HAKI terdiri dari 39,39 persen merek, 33,74 persen hak cipta, 33,46 persen paten, 30,17 persen rahasia dagang, 30,2 persen desain industri, dan 25,92 persen desain tata letak sirkuit terpadu.

Jika dilihat berdasarkan subsektor, tidak ada usaha ekraf yang memiliki HAKI mencapai persentase 13 persen di setiap subsektor.

Subsektor film, animasi, dan video merupakan subsektor dengan persentase kepemilikan HAKI tertinggi sebesar 12,21 persen, sedangkan subsektor fotografi memiliki persentase kepemilikan HAKI terendah yang sebesar 1,07 persen.

Data Kemenparekraf juga mencatatkan informasi yang cukup mencengangkan, bahwa hanya 27,63 persen usaha ekraf menganggap HAKI penting dengan subsektor desain komunikasi visual yang paling merasakan urgensi itu, yakni sebesar 70,92 persen dari total seluruh pelaku usaha di subsektor tersebut.

Kemudian, 72,37 persen pelaku ekraf belum merasakan urgensi memiliki hak untuk memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual dengan subsektor kuliner yang paling tidak terlalu menganggap memiliki HAKI itu penting, yaitu sekitar 23,15 persen dari total seluruh pelaku kuliner.

Paparan data di atas memberikan petunjuk bahwa persoalan utama yang perlu diatasi terlebih dahulu ialah meningkatkan kesadaran pelaku ekraf terhadap HAKI.

Dalam konteks itu, tak heran Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyatakan problem tersebut menjadi pekerjaan rumah terbesar Kemenparekraf.

"Kita harus terus sosialisasi dan edukasi. Kemenparekraf melakukan program fasilitasi kekayaan intelektual (secara gratis) mulai dari sosialisasi dan fasilitasi pendaftaran kekayaan intelektual, indikasi geografis produk-produk yang memiliki keunggulan karena faktor geografis seperti kopi arabika Samosir dari Sumatera Utara, bareh/beras Solok dari Sumatera Barat, dan gula aren Atinggola dari Gorontalo Utara," ujar dia.

Selain itu, diperlukan pula pelatihan melalui metode training of trainer (ToT) yang membahas tentang kekayaan intelektual kepada komunitas ekraf maupun institusi pendidikan.

Kehadiran PP No. 24/2022 membuka ruang pembicaraan dari pelbagai kalangan terutama berkaitan dengan HAKI. Hal itu dapat dikatakan sebagai momen yang penting untuk digarisbawahi mengingat kesadaran pelaku usaha ekraf terhadap HAKI masih rendah.

Fenomena CFW

Perbincangan terkait urgensi hak kekayaan intelektual semakin menyeruak setelah kemunculan Citayam Fashion Week (CFW), yakni fenomena kumpulan remaja "Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok” (SCBD) yang melakukan pelbagai aktivitas terutama dalam memamerkan beragam jenis fesyen di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat.

Tren itu yang diistilahkan Menparekraf sebagai demokratisasi subsektor fesyen rupanya mengundang minat artis Baim Wong untuk mendaftarkan HAKI atas nama CFW ke Kemenkumham sebagai merek jasa peragaan busana melalui perusahaan PT Tiger Wong Entertainment agar nama CFW bernilai ekonomi.

Tak dapat disangkal, tindakan Baim Wong menimbulkan pro-kontra di kalangan publik. Sebagian berpendapat perbuatan itu merupakan bentuk monopoli dari sekelompok elit, sementara lainnya menilai niat dari Baim ialah memberikan perlindungan hukum terhadap CFW sehingga nantinya dapat menjadi sumber penghasilan bagi para remaja “SCBD”.

Terlepas dari polemik setuju atau tidak setuju, satu hikmah yang bisa diambil adalah timbulnya pemahaman masyarakat berkenaan dengan HAKI secara perlahan.

Karena isu HAKI CFW menggema hingga berbagai daerah di Indonesia, dapat dipastikan sebagian pelaku usaha ekraf mulai menelisik lebih jauh tentang urgensi pendaftaran produk ekraf ke HAKI.

Apalagi, PP No.24/2022 yang baru diteken menjanjikan rasa aman kepada pelaku usaha ekraf sehingga mereka terlindungi dari pelanggaran HAKI.

Sandiaga meyakini kebijakan itu menjadi pijakan awal bagi masa depan industri kreatif karena pelaku ekraf dapat memperoleh sumber pembiayaan dari lembaga keuangan bank atau nonbank jika mendaftarkan produk mereka ke HAKI, sehingga mereka mampu menciptakan pendapatan yang akan memenuhi kewajiban untuk membayar kredit dari lembaga keuangan.

Artinya, produk-produk ekraf kekayaan intelektual seperti lagu, lukisan, film, fesyen, atau seni pertunjukan bisa dijadikan objek jaminan utang/kolateral ke bank.

Namun, ada beberapa keresahan dari berbagai kalangan pelaku ekraf. Sutradara Hanung Bramantyo khawatir PP No. 24/2022 hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar pemilik kekayaan intelektual karena memiliki modal melimpah.

Dia menginginkan aturan itu secara khusus mampu memberikan pembiayaan untuk kreator yang minim dana, tetapi memiliki gagasan inovatif menimbang pelbagai industri kreatif besar pemilik kekayaan intelektual pada umumnya tak membutuhkan bank karena mereka dapat menggandeng private investor yang tidak menuntut bunga sebagaimana bank.

Begitu pula dengan pandangan musikus Anang Hermansyah yang mempertanyakan di antaranya bagaimana sistem pelaksanaan dan acuan penilaian karya kreatif sehingga dapat digunakan sebagai jaminan utang kepada lembaga keuangan.

Di sisi lain, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mempertimbangkan produk kekayaan intelektual mulai dari konten Youtube, video, hingga musik bisa menjadi jaminan kredit.

Jahja mengaku pihaknya masih terus mempelajari aturan tersebut dan mencari tahu praktik yang serupa kepada beberapa lembaga dan perbankan internasional, seperti JP Morgan dan Citibank.

Dari beberapa temuan, Indonesia tercatat menjadi salah satu negara pionir dalam implementasi kebijakan penerimaan produk kekayaan intelektual untuk jaminan kredit.

Ia pun turut mempelajari lebih lanjut terkait penilaian pihak independen terhadap jaminan kredit yang diberikan jika nantinya dalam bentuk produk kekayaan intelektual.

"Apakah lembaga penilaian nantinya bisa siap memberi penilaian pada produk kekayaan intelektual, berapa nilainya, arus kasnya seperti apa, akan kami dalami. Jadi, kalau harus mengeksekusi apa yang harus dieksekusi, apa yang akan kami dapatkan kami akan pelajari lebih mendalam," sebut Jahja.

Terkait harapan maupun kecemasan dari pelaku usaha ekraf dan pihak perbankan, Sandiaga mengaku sedang menunggu petunjuk pelaksanaan dan teknis yang harus melalui koordinasi lintar kementerian/lembaga.

Dirinya sudah memerintahkan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanoesoedibjo untuk menyiapkan beberapa pilot project supaya para pelaku ekraf merasakan kehadiran PP No. 24/2022 dengan pembiayaan terhadap sejumlah produk ekraf yang siap dibiayai.

Lebih jauh, pemerintah berkomitmen memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha ekraf bermodal minim sehingga memiliki akses ke lembaga keuangan guna memperoleh pembiayaan. Juga, mendapat kemudahan insentif fiskal atau non fiskal dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagaimana tertera dalam PP No. 24/2022 pasal 33 hingga 35.

"Saya harapkan pemerintah daerah memberikan dukungan infrastruktur ruang kreatif dan mengembangkan creative hub-creative hub yang ada di level kabupaten dan kota. Dengan sistem yang lebih terintegrasi berbasis data, dengan program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), nanti produk-produk ekraf yang selama ini tak bisa dibiayai akan bisa dibiayai oleh perbankan,” kata Sandiaga.

Manuver pemerintah untuk menghidupkan masa depan usaha ekraf melalui pembiayaan dari lembaga keuangan tampaknya tak mudah dilakukan.

Meskipun begitu, cita-cita tersebut mesti dijaga oleh siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap nasib sektor ekraf supaya berhasil mewujudkan ekosistem kreatif dengan produk berdaya saing tinggi, mudah diakses, dan terlindungi secara hukum.

Baca juga: Dukung pelaku ekraf autis, Menparekraf Sandiaga Uno borong jaket hingga tas

Baca juga: Investasi teknologi kelola krisis di sektor parekraf penting dilakukan untuk pemulihan