Siak (ANTARA) - Menjadi pilot mungkin dianggap bukan wilayah cita-cita seorang anak perempuan. Terlebih lagi di konsensus masyarakat yang masih patriarki, menjadi pilot itu seakan-akan adalah wilayah yang sudah dikapling kaum laki-laki.
Memang sosok yang sering diidentikkan gagah dan macho ini masih didominasi kaum Adam. Data menyebut pilot perempuan masih di bawah 1.000 orang dibanding lelaki yang jumlahnya puluhan ribu di Indonesia.
Satu dari yang sedikit itu yakni
Pilot PT Arara Abadi, unit usaha Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas di Riau, Capt. Jeanette Febrina. Lahir di Jakarta 5 Februari 1988 dari Ayah asal Manokwari dan Ibu dari Semarang.
Pada momen "International Women's Day" 8 Maret 2022 di Helipad PT Arara Abadi APP Sinar Mas, Perawang, Siak, Jeanette membagikan ceritanya hingga bisa menjadi pilot. Dirinya tumbuh di Jakarta dengan pendidikan SD dan SMP Tunas Jaka Sampurna, lalu SMA 5 Bekasi. Selepas sekolah, Jeanette diharapkan bisa melanjutkan di Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), namun kandas tak diterima.
Suatu momen titik balik tiba, tatkala dia mengantarkan temannya untuk melamar menjadi pramugari di Batavia Air tahun 2007. Ia pun iseng ikut juga melamar hingga garis nasib mengarahkannya menjadi pramugari.
Untung hobinya bermain basket mampu menunjang tinggi badannya menjadi 167 centimeter. Ia pun memenuhi kualifikasi menjadi pramugari, namun malangnya kawan yang ditemani itu malah tidak diterima. Begitulah hidup kadang yang tidak begitu diprioritaskan justru menjadi jalan hidup kita.
Tiga tahun menjadi Pramugari Batavia Air, dia kemudian mencoba peruntungan di Garuda Indonesia. Alasan utamanya adalah ingin merasakan penerbangan internasional karena kemampuannya berbahasa Inggris dan Jepang.
Ayahnya yang seorang analis pertambangan membuat Janette bergaul dengan lingkungan ekspatriat sehingga lancar berbahasa Inggris. Sedangkan Bahasa Jepang didapatnya ketika SMA di Jurusan Bahasa.
"Ya kalau tidak dipraktekkan, kemampuan bahasa itu akan hilang. Dengan Garuda bisa praktek karena penerbangannya ada rute ke Tokyo dan Osaka," ungkap Jeanette didampingi Public Relation PT Arara Abadi, Nurul Huda.
Saat berproses di Garuda, tiba-tiba saja keluar regulasi yang mengatur umur pramugari hanya sampai 36 tahun. Padahal menurutnya umur segitu bisa dibilang masih produktif dan terlalu dini karir diputus. Terus memikirkan ini Jeanette pun penasaran melihat kerja seorang pilot yang selalu dilihatnya di kabin pesawat. Ia pun berminat dan merasa bisa.
Akhirnya pada 2015, ia membulatkan tekad menempuh pendidikan di Deraya Flying School, Jakarta. Ia pun mendapati memang sangat sedikit kaum perempuan yang belajar di sana. Bahkan di angkatannya, dia menjadi satu-satunya perempuan.
Namun menurutnya, kompetensi yang diminta untuk menjadi pilot tak ada membedakan laki-laki atau perempuan. Hanya masalah kodrati saja perempuan mempunyai suatu periode tertentu.
Saat pendidikan latihannya menerbangkan Cessna 400 Business Jet 400. Ya, setelah lulus pada tahun 2015 perdana menerbangkan pesawat dan berkarir pada penerbangan tersebut.
Dia menuturkan untuk mencari pekerjaan sebagai pilot dirinya masih kerap menemui perusahaan yang menuliskan untuk pilot rekrutmennya langsung menyebutkan laki-laki. Jadi bahasa tersebut masih menunjukkan adanya diskriminasi gender.
"Tapi saya harap ke depan tak ada perbedaan pilot laki-laki dan perempuan. Tapi yang dilihat prestasinya," ujarnya.
Usai dua tahun pada pesawat bersayap, ia pun bergeser menjadi pilot helikopter. Berawal dari teman yang mengajaknya seleksi beasiswa pada 2017. Ia pun lulus dan mendapatkan penempatan untuk Yayasan Helivida Indonesia, dengan menerbangkan helikopter AS350 untuk kemanusiaan ke Wamena, Papua.
Takdir berkata lain. Pada 2019 suasana tidak memungkinkan lagi di Papua, hingga ia pun kembali ke Jakarta dan melamar ke sebuah perusahaan jasa penerbangan. Jeanette diterima, menjalani training, dan aktif bekerja Januari 2020.
Atasi Karhutla Riau
Berbeda dengan sebelumnya namun masih berkutat di dunia penerbangan. Pada pekerjaan baru ini, ia berurusan dengan penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau. Ia menerbangkan Helikopter Bel 412 untuk patroli udara, membawa tim reaksi cepat PT Arara Abadi hingga melakukan bom air atau waterbombing.
Soal karhutla, ternyata ia punya kenangan traumatis saat menjalani pendidikan penerbangan di Palembang pada 2014. Saat itu, ia melihat langit sampai berwarna oranye akibat kabut asap. Lebih parahnya lagi, ia sempat terpapar Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).
"Waktu itu belum sadar kalau akibat kebakaran hutan bisa sampai separah ini. Bahkan, aku juga jadi korban. Jadi ketika ada program penanggulangan karhutla, menurutku ini bagus, jadi perlu dicegah," katanya.
Awal bertugas, ia melakukan patroli udara bersama kapten dan teknisi. Namun pekerjaan yang menuntut konsentrasi penuh adalah saat membawa dan menurunkan Regu Pemadam Kebakaran TRC(Tim ReaksiCepat). Memilih tempat turun juga sangat penting.
"Kalau jauh (lokasi turun),TRC capek pergi ke lokasi kebakaran. Kalau dekat nanti akan kena api. Jadi harus pilih-pilih tempat mendarat. Makanya kita asesmen dulu, kadang mutar-mutar, di udara," ulasnya.
Sementara untuk water bombing, dirinya juga pernah beberapa kali melakukan misi itu. Kesulitannya saat menyiramkan air karena harus tepat dan serba presisi saat memuntahkan ember besar berisi 500-600 liter itu.
"Pertama takut karena yang dihadapi api, khawatir juga dengan TRC yang turun. Tapi ketika sudah melihat cara penanganannya yang efektif dan tim yang terlatih, kekhawatiran itu hilang," sambungnya.
Bekerja sebagai pilot helikopter karhutla menjadi kenikmatan tersendiri baginya. Meski perempuan, adrenalin kian terpacu. Terbang bersama helikopter sangat memuaskan mata, terlebih bisa melihat alam yang unik.
"Saya sering memotret jika melihat danau, rumah yang lucu, dan masyarakatnya. Kalau sisi susahnya, menjadi pilot memang punya jadwal terbang, dan itu tak bisa dihilangkan meski pada hari-hari besar," sebutnya.
Kepada perempuan di seluruh dunia, dia berpesan bahwa sekarang zamannya sudah terbuka. Sudah banyak perusahaan yang membuka kesempatan untuk perempuan menjadi penerbang. Bagi perempuan jangan capek untuk belajar karena sekolah pertama anak itu dari ibu.
"Jangan sampai berhenti cita-citanya jika sudah punya keluarga atau anak karena pasti ada jalanuntuk mewujudkannya. Tetap semangat menjadi perempuan meski tidak mudah di negara patriarki karena saat ini pola pikir sudah mulai terbuka," pesannya.
Sementara Regional Fire Operation Head PT Arara Abadi Priyo S Utomo menyampaikan saat ini PT Arara Abadi mempunyai fasilitas tiga helikopter. Dua jenis Superpuma khusus untuk melakukan waterbombing, satu Bel 142 untuk patroli bersama TRC serta waterbombing.
Saat ini ada sua pilot ada dua yakniCapt Jeanettedan pilot berpengalaman Capt.Harlan Rubby. Perusahaan tidak membedakan pilot perempuan atau laki-laki karena yang direkrut sudah memenuhi kompetensi yang diminta serta sudah ada pelatihan sebelumnya.
"Untuk dua pilot yang ada saat ini perlakuannya sama dengan yang satunya lagi laki-laki. Secara kinerja lancar karena kita selalu koordinasi," sebutnya.
Untuk pencegahan dan penanganan karhutla di Riau, pihaknya melakukan evaluasi setiap pagi guna mengetahui kadar risiko yang dihadapi. Biasanya, kebakaran itu terjadi menjelang siang dan sore hari, patroli pun dilakukan pada waktu tersebut.
Selanjutnya TRC diturunkan berkoordinasi dengan tim helikopter terkait teknis dan rutenya. Saat ini setiap patroli akan membawa satu regu TRC berjumlah 6-7 orang, berbeda dengan dulu yang hanya membawa dua personel lalu pulang untuk melaporkan.
"Belajar dari situ, kami melihat lama penanganannya sementara api sudah membesar. Jadi setiap patroli langsung dibawa TRC sehingga efektif," imbuhnya.