Jakarta (ANTARA) - Jika Anda menonton siaran langsung Olimpiade Tokyo, baik lewat streaming maupun televisi biasa, atau cuplikannya di internet, Anda mungkin tak asing dengan pemandangan atlet yang mengenakan masker begitu selesai berkompetisi.
Dari perenang yang masih basah kuyup karena baru keluar kolam renang Tokyo Aquatics Centre sampai atlet bulu tangkis termasuk juara ganda putri Greysia Polli/Apriyani Rahayu yang mesti bermasker begitu laga selesai padahal keringat belum kering. Semua harus bermasker sebelum dan setelah bertanding.
Baca juga: Amerika pecahkan rekor dunia menangi gaya ganti estafet putra Olimpiade
Di berbagai arena, atletik misalnya, para atlet mesti berbicara keras-keras saat berkonsultasi mengenai strategi lomba dengan pelatihnya, karena aturan jaga jarak sosial melarang mereka berdekatan.
Atlet-atlet atletik itu bolak balik menuju salah satu sisi lapangan yang dipisahkan ruang kosong selebar 3-4 meter. Di sini, atlet dan pelatih merundingkan strategi bermain.
Protokol kesehatan ini diterapkan ketat sekali oleh panitia Olimpiade yang bahkan liga-liga elite sepak bola profesional Eropa dan turnamen Euro 2020 pun tak bisa melakukannya.
Jepang memang berbeda. Apa yang ditulis dengan apa yang dipraktikkan sangat sebangun, nyaris tak ada deviasi sedikit pun antara aturan dan praktik di lapangan, sampai atlet pun dipaksa mengenakan masker sekalipun masih berkeringat dan air membasahi muka mereka.
Tak ada pengecualian dan tak ada aturan yang hanya dicetak tebal-tebal dalam tulisan namun tak konsisten diterapkan di lapangan yang kerap terjadi pada masyarakat dan di negara yang setengah-setengah menerapkan aturan kesehatan terkait pandemi.
Mulai atlet dari negara miskin di Afrika sampai atlet dari negara kaya seperti Amerika Serikat, semua wajib masker, mesti menjaga jarak, dan tak seorang pun boleh meninggalkan gelembung Olimpiade.
Baca juga: The Daddies ungkap Tokyo sebagai Olimpiade terakhir
Bahkan aturan seketat itu diberlakukan selama kontes adu otot antara atlet-atlet gulat yang menjadi cabang olahraga yang atlet-atletnya mustahil menjaga jarak.
Karate, tinju dan taekwondo ada masanya atlet saling berjauhan, dan kalaupun bertarung dekat pun tak akan terus-terusan saling mencengkeram.
Tapi gulat beda. "Berpegangan lebih kencang lebih dari sepasang kekasih, para pegulat saling bercampur keringat, ludah dan kadang kala darah. Paru-paru kembang kempis, mulut ternganga, nafas mereka terengah-engah sampai ke wajah mereka satu sama lain yang memerah. Dalam tubuh yang mengkilap karena adu keringat, mustahil bisa membedakan mana keringat lawan dan mana keringatnya sendiri".
Itu adalah prolog dari ulasan Associated Press mengenai protokol kesehatan yang diterapkan sangat ketat selama Olimpiade Tokyo.
Menyaksikan para pegulat bertarung, menyembulkan ironi jaga jarak dan protokol kesehatan. Tetapi jangan salah, sebelum pegulat-pegulat ini adu rangkul, mereka sudah melalui mekanisme kesehatan yang ketat sehingga aman untuk saling banting dan saling kunci di atas matras gulat.
Baca juga: China dominasi medali bulu tangkis Olimpiade Tokyo 2020