Pekanbaru, (antarariau) - Kronologi kerusuhan di Universitas Riau (UR) yang menyebabkan terlukanya sejumlah wartawan dan belasan mahasiswa pada Rabu (13/6) lalu dikabarkan berawal dari kemunculan dua kubu pro dan kontra atas Pemilihan Raya (Pemira) Presiden Mahasiswa.
"Dengan adanya dua pandangan berbeda ini, pihak yang mendukung diadakannya Pemira Presiden Mahasiswa kemudian berinisiatif untuk menggelarnya di luar kampus," kata Pembantu Rektor Empat pada Universitas Riau Dr Adhy Prayitno yang ditemui ANTARA di ruang kerjanya, Kamis.
Para pendukung Pemira ini, demikian Adhy, akhirnya menemukan tempat yang dianggap aman, yakni menggunakan ruangan milik TNI yang berlokasi tidak jauh dari kampus.
Sejumlah mahasiswa, kata dia, sebelumnya juga telah menemukan komandan TNI setempat untuk meminta izin menggunakan ruangan tersebut.
"Pihak komandan TNI yang merasa nyaman, kemudian mengizinkannya. Nah, mahasiswa pendukung Pemira ini kemudian menggelar rapat di Arhanud yang digelar Rabu (13/6) lalu sekitar pukul 08.30 WIB," katanya.
Namun informasi tersebut diketahui oleh pihak yang tidak menginginkan diselenggarakannya Pemira Presiden Mahasiswa UR tersebut yang kemudian mendatangi lokasi acara itu.
"Ketika itu, sejumlah pihak mahasiswa yang kontra dengan Pemira menghadap komandan Arhanud dan sempat timbul perdebatan serius. Pihak Arhanud kemudian mengalah dan meminta agar acara Pemira dilakukan tidak di ruangan Arhanud," katanya.
Tidak senang dengan perlakuan itu, demikian Adhy, pihak pendukung Pemira kemudian mendatangi gedung rektorat UR yang berada di dalam area kampus.
"Ketika itu kalau tidak salah sekitar pukul 10.00 atau pukul 10.30 WIB (Rabu 13/6). Mahasiswa ini sempat menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung rektorat," katanya.
Namun dikarenakan Rektor UR ketika itu sedang tidak berada di tempat, katanya, aksi mahasiswa kian memanas hingga akhirnya terjadi kericuhan pada pukul 11.00 WIB.
Jumlah mahasiswa pro penyelenggaraan Pemira kala itu menurutnya masih sekitar 80 orang. Kerusuhan tersebut, lanjutnya, bertahan hingga sore bahkan dengan jumlah massa yang terus bertambah.
Memasuki malam harinya, demikian Adhy, mahasiswa yang terlibat pada kerusuhan itu menjadi ratusan orang dan semakin "membabibuta" dengan melempari gedung rektorat.
"Ketika itu petugas keamanan tidak banyak, kami kemudian berinisiatif untuk melaporkan kasus itu ke pihak kepolisian setempat," katanya.
Tidak lama kemudian, sekitar pukul 21.00 WIB, kata Adhy, puluhan personel kepolisian kemudian menyusul untuk membantu pengamanan.
Namun akibat jumlah yang tidak sebanding, katanya, kerusuhan terus berlangsung hingga Kamis (14/6) dini hari dan menyebabkan sejumlah barang-barang rusak serta kaca-kaca jendela berpesahan.
Malam itu menurutnya situasi begitu memanas dan massa mahasiswa mengamuk dengan melibatkan sejumlah senjata tumpul dan tajam serta terus melempari gedung rektorat.
Terlebih, kata dia, ketika itu sejumlah massa dan pihak manajemen yang tidak mendukung diselenggarakannya Pemira Presiden Mahasiswa juga menyusul berada di lokasi keributan hingga akhirnya bentrok.
"Kekacauan semakin parah dan korban luka dari dua kubu itu cukup banyak waktu itu. Kerusuhan ini bertahan hingga Kamis dini hari sekitar pukul 02.00 WIB," katanya.
Secara terpisah, Koordinator Keamanan Kampus, Suko Nurdin mengakui ketika peristiwa itu berlangsung dirinya sempat melihat terlukanya sejumlah mahasiswa bahkan beberapa wartawan.
"Banyak yang luka, tidak hanya dua kubu yang tengah bentrok tapi juga wartawan yang meliput juga sempat terlihat mengalami pendarahan di bagian kepala," katanya.
Akibat dari peristiwa kerusuhan itu, gedung rektorat UR terpantau mengalami kerusakan cukup parah. Pantauan ANTARA terkini, terlihat serpihan kaca masih berserakan di lantai dasar hingga lantai III gedung tersebut.
Sejumlah arsif penting bahkan dikabarkan hilang serta barang-barang inventaris juga tampak mengalami kerusakan. Kendati demikian, aktivitas kampus masih tampak berjalan seperti biasanya.