Pekanbaru, 3/8 (ANTARA) - Sejumlah organisasi lingkungan hidup meminta pemerintah sungguh-sungguh menjalankan komitmen untuk menyelamatkan hutan alam di Provinsi Riau, terkait dengan penegakan hukum kasus dugaan pembalakan liar yang melibatkan perusahaan industri kehutanan.
"Pemerintah harus menunjukan keseriusannya dalam upaya menyelamatkan hutan alam yang tersisa," kata Walhi Eksekutif Nasional, Muhammad Teguh Surya, Rabu.
Organisasi pemerhati lingkungan itu mengecam terhentinya penegakan hukum atas tindak perusakan hutan yang terjadi secara masif di Indonesia, khususnya di Riau, yang diduga melibatkan 14 perusahaan industrik kehutanan.
Sedangkan, keluarnya Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut sebagai komitmen Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mengurangi emisi sebanyak 26 persen hingga 41 persen dinilai belum diterapkan dan belum menghasilkan tindakan nyata.
Karena pada saat yang bersamaan dua grup perusahaan industri kehutanan besar yakni Asian Pulp and Paper (APP) dan Asia Pasific Resources International Limited (APRIL) masih meneruskan konversi hutan alam dan lahan gambut di Propinsi Riau seluas 243.672 hektare atau setara dengan 23.753.599 meter kubik kayu alam.
"Kebijakan moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut harusnya mampu menjawab permasalahan kesemrawutan tata kelola kehutanan ini, namun sejauh ini hanya basa-basi dan tetap memberi ruang penghancuran hutan yang terus terjadi selama tiga dekade terakhir," ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Muslim, mengatakan keseriusan pemerintah untuk penegakan hukum kasus pengrusakan lingkungan seharusnya bisa dibuktikan dengan membuka kembali kasus 14 perusahaan terlibat pembalakan liar yang dihentikan penyidikannya (SP3) pada 2008 oleh kepolisian.
Ia menyayangkanrekomendasi Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk membuka kembali kasus itu juga tak diindahkan oleh penegak hukum.
"Para pihak secara nyata memahami sangat banyak kejanggalan yang terjadi, diantaranya Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 atas perkara tindak pidana korupsi Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar, memunculkan petunjuk sekaligus bukti baru bahwa penerbitan IUPHHK-HT PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukuro adalah melawan hukum dan oleh karenanya tidak sah, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak membuka kasus SP3 terhadap 14 perusahaan," katanya.
Menurut dia, perusahaan-perusahaan yang diduga terlibat dalam tindak kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup tersebut telah membabat hutan alam seluas 51.469 hektare sepanjang 2009?2010 di Riau.
"Membuka kembali kasus SP3 pembalakan liar 14 perusahaan di Riau sangat mendesak untuk dilakukan oleh Kapolri. Hal ini dimaksudkan agar kepercayaan masyarakat akan proses penegakan hukum yang adil dan tegas masih bisa diharapkan di negeri ini," katanya.
Muslim menambahkan, Kementerian Lingkungan Hidup juga perlu memainkan perannya sebagaimana yang diatur oleh UU No. 32 tahun 2009 Pasal 90, yaitu melakukan gugatan ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup.
"Kerugian Negara yang ditimbulkan dari kejahatan kehutanan ini sebanding dengan 17 kali lebih besar dari APBD Provinsi Riau 2010 atau tujuh persen dari APBN 2010, dan jika dilihat dari total biaya kerusakan lingkungannya menjadi 190 persen atau hampir dua kali lipat dari APBN 2010," katanya.
Berita Lainnya
WALHI dorong pemerintah untuk optimalkan upaya pengurangan sampah
14 November 2024 17:02 WIB
Walhi Desak Pemerintah Berikan Efek Jera Pada Pelaku Pembakaran Hutan
19 November 2016 15:20 WIB
Walhi Riau Minta Direspon Pemerintah Soal Gugatan Asap
16 February 2016 15:05 WIB
Walhi Ragu Pemerintah Berani Lawan Perusahaan Besar
22 October 2015 0:07 WIB
Walhi Ingin Pemerintah Beri Sanksi Pemegang Konsesi Sawit
03 September 2015 11:22 WIB
WALHI: Pemerintah Keliru Dalam Pengalihan BBM Ke BBN
10 February 2015 20:59 WIB
Walhi: Pemerintah Akui Tidak Mampu Jaga Biosfer
24 March 2014 11:45 WIB
Sentil kepala daerah di Riau agar serius tangani Karhutla, Kepala BNPB: kalau perlu tidur dilapangan
02 August 2019 12:01 WIB